Pertama, jika Perpres itu diberlakukan untuk merek-merek yang kini sudah eksis. Itu artinya merek Blue Bird misalnya, harus berganti nama menjadi: “Burung Biru”; Indofood menjadi “MakananIndonesia”; IndiHome menjadi “RumahIndonesia”; Citilink menjadi “KotaTerhubung”; mal Pacific Place menjadi “Tempat Pasifik”; dan masih banyak lagi nama-nama merek baru yang penamaannya terdengar konyol.
Dengan pemberlakukan Perpres itu akan ada ribuan merek nasional berbahasa asing yang dalam sekejab menjadi “mutan” yang tiba-tiba tidak dikenali basis konsumennya. Kalau itu terjadi tak terbayang berapa triliuan rupiah kerugian yang bakal ditanggung oleh merek-merek hebat nasional itu.
Membangun merek (brand building) adalah sebuah proses yang membutuhkan waktu amat panjang (bahkan belasan/puluhan tahun) dengan biaya yang amat mahal. Tujuannya adalah menghasilkan apa yang disebut ekuitas merek (brand equity) yang mencakup beberapa elemen yaitu: pengetahuan (brand awareness), asosiasi (brand association), persepsi kualitas (perceived quality), loyalitas konsumen (brand loyalty), dan rekomendasi konsumen (brand advocacy).
Nama merek (brand name) dan logo (brand logo) punya peran amat krusial bagi pembentukan ekuitas merek. Ia seperti halnya “wajah” sebuah merek. Ketika ekuitas merek telah mapan terbentuk selama bertahun-tahun dan kemudian tiba-tiba harus diganti namanya (dan otomatis logonya), maka seluruh ekuitas merek tersebut akan sirna dalam sekejab.
Jadi dampak perubahan nama merek dan logo tersebut akan bersifat disruptif dan dahsyat. Memang ekuitas merek bisa dibangun kembali namun prosesnya akan dari awal lagi dan membutuhkan waktu dan biaya yang amat mahal. Karena begitu dahsyat dampak negatifnya, saya berani katakan skenario ini tak mungkin diambil oleh Pemerintah karena dampak kerugiannya akan luar biasa.
Kedua, lalu bagaimana jika Perpres ini diberlakukan untuk merek baru? Ini pun mengandung konsekuensi negatif yang tidak kecil.
Ini terutama bakal dialami saat kita membangun merek-merek nasional kita di luar negeri. Karena kosa kata Bahasa Indonesia tidak begitu dikenal di dunia, maka upaya brand-building yang kita lakukan menjadi jauh lebih sulit. Begitu juga waktu dan biaya yang dibutuhkan menjadi berlipat-lipat lebih besar. Singkatnya, membangun merek nasional di pasar global bakal lebih sulit, lebih lama, dan lebih mahal.
Banyak dari para pemilik merek nasional kita menggunakan nama merek berbahasa Inggris bukan karena mereka kurang nasionalis atau tidak peduli dengan pengembangan Bahasa Indonesia. Namun karena menggunakan nama merek berbahasa Inggris membuat mereka lebih mudah, murah, dan lebih efektif dalam membangun brand awareness, association, perceived quality, dan loyalty di kalangan konsumen luar negeri.
1 comment
Nama berbahasa Indonesia konyol?
Itu hanya persoalan mental saja. Kalau sudah terbiasa dan kitanya pede, ya baik-baik saja dan bahkan keren. Contohnya Mangga Dua, batik, kompas, studio moral, dan masih banyaj lagi