Minggu ini pemerintah mengeluarkan Perpres No. 63 Tahun 2019 Tentang Penggunaan Bahasa Indonesia. Dalam Pasal 35 Perpres tersebut tertera ketentuan yang berbunyi:
“Bahasa Indonesia wajib digunakan pada nama merek dagang yang berupa kata atau gabungan kata yang dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.”
Membaca butir ketentuan itu barangkali dengan bungah kita kemudian berpikir bahwa nantinya kita akan memiliki merek-merek top dunia seperti yang dimiliki Jepang atau Korea seperti: Toyota, Suzuki, Mitsubishi, Samsung, atau Hyundai.
Ya, nama-nama merek itu adalah nama-nama dari kosa kata bahasa asli Jepang dan Korea yang melalui perjuangan brand-building berpuluh tahun kini telah menjadi household brand di seluruh dunia.
Namun apakah memang demikian? Tak segampang itu.
Saya percaya, maksud dikeluarkannya Perpres itu baik dan mulia untuk mempromosikan bahasa kebanggaan kita Bahasa Indonesia di dalam maupun di luar negeri.
Namun jika tidak bijak dijalankan, Perpres tersebut bukannya berbuah manis tapi justru sebaliknya destruktif, kontraproduktif, dan merugikan kepentingan bangsa kita sendiri. Karena kalau kita telisik lebih dalam terdapat beberapa trade-off antara keinginan idealis dan kepentingan praktis.
1 comment
Nama berbahasa Indonesia konyol?
Itu hanya persoalan mental saja. Kalau sudah terbiasa dan kitanya pede, ya baik-baik saja dan bahkan keren. Contohnya Mangga Dua, batik, kompas, studio moral, dan masih banyaj lagi