Pemerintah, korporasi besar, atau partai yang sedang berkampanye selalu mengatakan bahwa UKM harus ditransformasi dari skala kecil menjadi usaha menengah dan akhirnya menjadi besar.
Karena mereka tak tahu betul persoalan di lapangan, maka bisa ditebak solusinya sembarangan. Layaknya Sinterklas mereka datang memberi bantuan modal, memberikan pelatihan agar skill-nya ter-upgrade, atau memberikan hibah peralatan produksi.
“Pendekatan Sinterklas” semacam itu biasanya gagal total. Kenapa? Karena si UKM bukannya menjadi semakin mandiri dan empowered, tapi justru dididik manja dan tergantung. Begitu bantuan dihentikan mereka kembali tak berdaya dan mengiba-iba minta bantuan berikutnya.
Memang betul UKM perlu discaling-up dari usaha kecil menjadi menengah, dan akhirnya besar. Namun sebelum itu semua dijalankan, ada PR awal besar yang harus dituntaskan yaitu melakukan apa yang saya sebut: transformasi mindset.
Subsistence vs Growth
Secara mudah saya membagi UKM ke dalam dua kelompok besar yaitu: UKM yang memiliki pola pikir subsisten (subsistence mindset) dan UKM yang memiliki pola pikir bertumbuh (growth mindset).
Apa itu pola pikir subsisten? Maksudnya, mereka menjalankan bisnis sebatas hanya untuk menutupi kebutuhan sehari-sehari keluarga (self-sufficiency). Begitu mendapat omset langsung habis dikonsumsi, sehingga usaha tak pernah bertumbuh.
Mereka tak pernah berpikir dan bermimpi besar untuk mengembangbiakkan usaha. Berkembang syukur, tak berkembang ya nggak masalah. Mimpi dan ambisi mereka minimalis.
Kalau sudah begitu, maka hukum self-fulfiling prophecy pun bekerja. Karena mindset-nya serba minimalis, maka bisnis mereka pun terus-terusan minimalis, terus-terusan liliput tak pernah bisa berkembang. Ini membentuk “mental block” yang menghalangi UKM untuk tumbuh dan berkembang.
Dalam menjalankan usaha, wirausahawan UKM subsisten cenderung mengalir saja, layaknya menjalankan rutinitas, dengan selalu menjaga kenyamanan dan status quo. Tak pernah berpikir reinvestasi untuk melipatgandakan usaha. Singkatnya, mereka tak memiliki growth mindset.
Saya menyebut pola pikir subsisten layaknya “penyakit kanker” yang harus diperangi oleh setiap UKM kita. Ketika penyakit kanker ini masih ganas menggerogoti pola pikir mereka, maka sampai kapanpun mereka tak akan bisa maju.
Nah, yang saya maksud dengan transformasi mindset UKM adalah transformasi dari subsistence mindset ke growth mindset. Inilah langkah pertama dan terutama yang harus dilakukan oleh siapapun yang akan memberdayakan UKM.
Karyani dan HM Sampoerna
Berbicara mengenai transformasi dari subsitence mindset ke growth mindset, minggu lalu saya ketemu seorang sosok wanita UKM owners hebat bu Karyani dalam sebuah seminar kewirausahaan minggu lalu.
Usaha bu Karyani adalah minuman herbal mulai dari jahe, temulawak, hingga kunyit. Ia memulai usahanya 18 tahun yang lalu dengan modal hanya Rp 50.000. Usahanya kini maju pesat dengan karyawan hampir 40 orang dan omset ratusan juta rupiah, dan laba Rp 50 juta sebulannya.
Satu hal yang saya lihat menarik dari perkembangan usaha bu Karyani adalah pola pikir wanita asal Pringen Pasuruan ini dalam mengelola usahanya, yaitu transformasi mindset dari subsistence ke growth.
Berbicara sekitar setengah jam, saya melihat getaran-getaran ambisinya dalam mengembangkan bisnis UKM-nya menjadi besar dan semakin besar. Dengan growth mindset semacam ini bu Karyani telah mampu mengekspor minuman herbalnya ke pasar Korea Selatan. Dan kini bu Karyani sudah menyiapkan beragam senjata untuk mengembangkan bisnisnya lebih lanjut.
Yang menarik juga, rupanya transformasi mindset ini tak muncul begitu saja, tapi melalui dorongan korporasi besar yaitu Pusat Pelatihan Kewirausahaan (PPK) HM Sampoerna. “Kalau bukan karena dorongan pihak luar, mungkin saya tak akan bisa berubah seperti sekarang,” ujar bu Karyani.
Alih-alih dengan pendekatan top-down, HM Sampoerna menggunakan pendekatan bottom-up dimana kebutuhan pengembangan bisnis bukan datang dari HM Sampoerna tapi dari si UKM. Artinya, pendekatannya one-on-one mengacu persoalan spesifik dari masing-masing UKM. Jadi bukan nggebyah-uyah menyamaratakan seluruh persoalan dengan program bantuan modal atau pelatihan seperti kebanyakan program CSR perusahaan.
Bu Henny Susanto dari HM Sampoerna yang juga saya temui mendampingi bu Karyani mengatakan HM Sampoerna menggunakan pendekatan capacity building dan community development, jadi bukan “pendekatan Sinterklas” yang membuat UKM kian manja dan tak berdaya.
Dari bu Karyani dan HM Sampoerna kita belajar bahwa untuk mengubah pola pikir UKM kita dari subsistence ke growth, maka pendekatannya harus diubah dari “top-down” ke “bottom-up”; dari “Sinterklas” ke “fasilitasi”; dan dari “menggurui” ke “inspirasi”.
Sumber Foto: Tribun News
1 comment
Prigen, Pasuruan