Survive dari disrupsi itu bukanlah semata masalah teknologi digital atau inovasi model bisnis. Yang terpenting justru adalah masalah mindset. Yaitu mindset yang menganggap bahwa kita telah “tahu semuanya”.
Dan celakanya, ketika kita sudah merasa tahu semuanya maka semakin sulit pula kita menanggalkannya. Bahkan ketka kita paham bahwa apa yang kita tahu itu telah obsolet dan tak relevan lagi. Di situlah bencana berawal.
Itu sebabnya disrupsi di industri otomotif bukan dilakukan oleh Ford atau Toyota yang “tahu semuanya” mengenai dunia otomotif, tapi oleh Tesla dan Google. Itu sebabnya disrupsi di dunia perhotelan bukan dilakukan Hilton atau Aston tapi oleh Airbnb. Itu sebabnya disrupsi di layanan taksi bukan dilakukan oleh Blue Bird tapi oleh Uber.
“Tahu semuanya” tentu saja merupakan berkah tak terhingga. Namun, ketika semua yang kita tahu itu sudah tak relevan lagi, sudah obsolet, sudah menjadi barang usang, maka ia justru menjadi racun mematikan.
Ya, karena mindset “tahu semuanya” telah membutakan mata, hati, dan pikiran kita mengenai hal baru yang tidak kita ketahui.
Di dunia yang sarat disrupsi, mindset yang kini diperlukan bukanlah “tahu semuanya”, tapi justru sebaliknya “tak tahu semuanya”.
Karena itu saya berani mengatakan, di era disrupsi saat ini “unlearning” itu menjadi sangat penting. Untuk adaptif dan cepat merespons datangnya disrupsi, mengosongkan hal-hal usang yang selama berpuluh tahun kita ketahui dan kita yakini kebenarannya menjadi sesuatu yang sangat krusial.
Apa konsekuensinya jika kita merasa tak tahu semua? Dengan menganggap diri kita tak tahu apa-apa mengenai paradigma, formula, dan resep sukses baru akibat datangnya disrupsi maka rasa keingintahuan kita akan begitu menyala-nyala.
Keingintahuan yang membara ini mendorong kita untuk terus-menerus mengeksplorasi, bereksperimen, dan akhirnya menemukan formula untuk sukses melewati disrupsi.
So, ketidaktahuan saja tidak cukup, kita juga perlu keingintahuan.
Karena itu saya berani mengatakan, untuk sukses melewati disrupsi kita harus memiliki dua mindset sekaligus: ketidaktahuan dan keingintahuan.
Ketidaktahuan memungkinkan kita menjadi agile learner. Sementara keingintahuan memungkinkan kita menjadi fast learner.
Agile learner menjadikan kita begitu lincah melahap berbagai pengetahuan yang diperlukan untuk sukses melewati disrupsi. Sementara fast learner memungkinkan kita super cepat menemukan formula sukses melewati disrupsi.
1 comment
[…] tahu, ketidaktahuan itu buntutnya adalah rasa keingintahuan. Menarik banget aku baca salah satu artikel tentang “Ketidaktahuan” yang ditulis oleh pak Yuswohady. Berikut […]