Indonesia konfidens memasuki era Revolusi Industri 4.0. Itu setidaknya yang tercermin dari peluncuran program Making Indonesia 4.0 oleh presiden awal April lalu.
Angka-angka yang dijanjikan oleh Menteri Peridustrian Airlangga Hartarto begitu fantastis: “Implementasi Making Indonesia 4.0 yang sukses akan mampu mendorong pertumbuhan PDB riil sebesar 1%-2% per tahun, sehingga pertumbuhan PDB per tahun akan naik, dari baseline sebesar 5% menjadi 6%-7% pada periode tahun 2018-2030,” ujarnya.
Inisiatif Making Indonesia 4.0 diyakini akan membawa Indonesia menjadi 10 besar ekonomi di tahun 2030; mengembalikan angka net export industri 10%; menciptakan lapangan pekerjaan sebanyak 7-19 juta; meningkatkan produktivitas tenaga kerja hingga dua kali lipat; serta mengalokasikan 2% dari GDP untuk aktivitas R&D teknologi dan inovasi atau tujuh kali lipat dari saat ini.
Mudah-mudahan angka-angka super optimis tersebut bukan sekedar slogan politik menjelang Pemilu 2019 dan inisiatif luar biasa ini bukan sekedar pencitraan nir-substansi. Tapi betul-betul bisa membangkitkan semangat kita untuk bersama-sama menyukseskan era Revolusi Industri 4.0 dan meraih kejayaan.
Revolusi Industri 4.0 tak hanya menawarkan sisi positif (“the promises”) tapi juga negatif (“the perils”). Dan mau tidak mau, siap tidak siap, Indonesia akan “ditelan” oleh revolusi yang ditopang oleh teknologi-teknologi abad 21 seperti machine learning, artificial intelligence, internet of things, hingga 3D printing ini. So, memang kita harus mempersiapkan diri, merencanakan, dan menyusun strategi di tingkat negara untuk menghadapinya.
Agar kita tidak silau oleh janji-janji Revolusi Industri 4.0 dan angka-angka yang super optimis di atas, tulisan ini mecoba menyajikan “sisi gelap” dan beberapa tantangan yang harus kita hadapi. Bukan bermaksud buruk, tapi justru sebaliknya, untuk mengingatkan kita semua dengan memberikan rambu-rambu agar kita tak gegabah memasukinya.
#1. Transformasi Industri: “Disruptive Effect”
Revolusi Industri 4.0 menghasilkan perubahan yang supercepat, eksponensial, dan disruptif. Industri-industri lama “dirusak” (creative destruction) sehingga menghasilkan industri-industri baru dengan pemain yang baru, model bisnis baru, dan value proposition baru.
Perubahan disruptif Industri 4.0 ini memiliki kekuatan “membilas” industri lama: ritel tradisional dibilas oleh ecommerce; media cetak dibilas oleh media online; layanan taksi tradisional dibilas layanan taksi berbasis sharing economy; layanan telko dibilas oleh layanan OTT (over-the-top) seperti WhatsApp; mass manufacturing bakal dibilas oleh additive manufacturing yang tailor-made dengan adanya teknologi 3D printing; bahkan nilai tukar negara akan dibilas oleh cryptocurrency (Blockchain).
Perubahan sangat mendadak ini bukannya tanpa kerugian ekonomi-sosial. Dampak paling mendasar adalah terjadinya migrasi nilai (value migration) dari pemain inkumben ke pemain-pemain baru (startup). Value migration ini memicu bergugurannya pemain inkumben karena pasarnya digerogoti oleh pemain-pemain baru dengan model bisnis baru berbasis digital. Peritel tradisional mulai berguguran, koran dan majalah tak lagi terbit, dan puluhan industri mengalami pelemahan permintaan.
Strategic Actions: Strategi Industri 4.0 harus secara bijak dan hati-hati menyikapi transformasi industri terutama “masa peralihan” dari industri lama tradisional ke industri baru berbasis digital. Strategi tersebut harus bisa meminimalisir dampak sosial-ekonomi dari peralihan ini agar industri-industri lama bisa melakukan transformasi digital secara smooth, bukannya dibiarkan mati oleh kerasnya persaingan pasar (“Digital Darwinism”).
#2. Ketimpangan Ekonomi: “Platform Effect”
Tantangan paling pelik dari Revolusi Industri 4.0 adalah melebarnya ketimpangan ekonomi (income inequality) antara pemilik modal (capital) baik fisik maupun intelektual, dengan penduduk yang mengandalkan tenaga kerja murah (labor).
Pasar di berbagai sektor Industri 4.0 by-default mengarah ke struktur pasar yang bersifat monopolistik sebagai dampak dari apa yang disebut “platform effect”. Dalam teori ekonomi platform digital menghasilkan increasing return to scale bagi produsen dimana tingkat hasil semakin meningkat seiring meningkatnya skala ekonomi. Ya, karena setelah platform digital (dan software secara umum) tercipta, maka biaya produksi selanjutnya mendekati nol.
Digital giant seperti Google, Facebook, Amazon, eBay, AirBnB, Ali Baba memiliki kekuatan luar biasa dalam mendisrupsi pasar dengan menciptakan model bisnis baru berbasis platform, kemudian “menyerap” nilai di industri lama layaknya vacuum cleaner, dan kemudian mendominasinya.
Konsekuensi dari platform effect adalah terkonsentrasinya aset ke segelintir pemain dominan yang mendominasi pasar. Tren ke arah monopoli Industri 4.0 kini sudah terlihat dimana Google misalnya, telah menguasai sekitar 88% bisnis pencarian di internet (online search) dan iklan berbasis pencarian (search ads). Dengan Android, Google juga menguasai 80% sistem operasi ponsel. Amazon telah menguasai 70% seluruh penjualan ebook dunia. Sementara Facebook kini telah menguasai 77% pasar jejaring sosial.
Harap Anda tahu, The Big Four (Google, Amazon, Facebook, Amazon) kini memiliki kapitalisasi pasar sekitar 3 kali lipat GDP Indonesia. Nilai kapitalisasi pasar yang begitu besar tersebut hanya dinikmati sekitar 500 orang (total jumlah karyawan 4 raksasa digital tersebut). Sementara GDP Indonesia “dimakan” sekitar 250 juta manusia. Betapa ketimpangannya begitu dramatis.
Di tingkat mikro, platform effect akan memperlebar jurang yang kaya dan miskin: para pemilik modal (innovators, entrepreneurs, shareholders, investors) akan semakin kaya dan semakin menguasai kekayaan; sementara para pekerja semakin miskin. Celakanya, di Indonesia 99% penduduk masuk di kelompok yang kedua.
Strategic Actions: Strategi Industri 4.0 harus merespons secara baik isu konsentrasi aset oleh global digital giant dengan skema regulasi baru yang kreatif. Cina melakukan hal ini dengan snagat cantik. Sangat menyedihkan melihat kenyataan bahwa semua unicon kita kini telah dimiliki oleh global digital giants seperti Google, Alibaba, atau Tencent, sehingga Indonesia hanya dijadikan pasar bukan pemain aktif dan mandiri.
#3. Pengangguran Massal: “Automation Effect”
Di era Industri 4.0 semakin banyak pekerjaan manusia yang tergantikan oleh robot (otomasi). Tak hanya pekerjaan-pekerjaan yang bersifat repetitif, pekerjaan-pekerjaan analitis dari beragam profesi seperti dokter, pengacara, analis keuangan, konsultan pajak, wartawan, akuntan, hingga penerjemah.
“The fourth industrial revolution seems to be creating fewer jobs in new industries than previous revolutions,” ujar Klaus Schwab pendiri World Economic Forum dan penulis The Fourth Industrial Revolutions (2016).
Dengan kemajuan teknologi machine learning, AI, big data analytics, IoT, hingga 3D printing, maka pekerjaan akan bergeser dari “low-income manual occupations” dan “middle-income routine/repetitive jobs” ke “high-income cognitive/creative jobs”. Ini akan memicu pengangguran massal karena hampir semua pekerjaan akan dilakukan oleh mesin (robot).
Tanda-tanda ke arah “job destructions” ini kini sudah mulai tampak.
* Amazon Go misalnya, akan menghilangkan kasir di gerai-gerai supermarketnya karena sudah tergantikan oleh machine learning.
* Amazon Prime Air bakal menghilangkan pekerjaan kurir karena tergantikan oleh drone dalam mengirimkan barang ke konsumen.
* Driverless car yang dikembangkan oleh Google (Waymo) akan menghilangkan pekerjaan sopir.
* Narrative Science, telah mengembangkan algoritma untuk membuat artikel yang bakal menghilangkan profesi wartawan. Christian Hammond CEO-nya meramalkan di tahun 2025, sekitar 90% berita ditulis oleh algoritma.
* Komputer cerdas Watson milik IBM kini sudah bisa menggantikan peran dokter dalam mendiagnosa pasien.
Kalau Revolusi Industri 1.0 menghasilkan “working class”, maka Revolusi Industri 4.0 menghasilkan “useless class” (Harari, 2016), ya karena tenaga manusia (labor) dalam proses produksi barang dan jasa semakin minimal. Tenaga manusia semakin tidak dibutuhkan lagi karena sebagian besar tergantikan oleh algoritma/robot.
Pertanyaannya, apakah nantinya Industri 4.0 akan mampu menampung jutaan angkatan kerja kita (para petani, pedagang pasar Impres, guru, teller, kasir, sopir, satpam, hingga tukang batu proyek) yang tenaganya tidak dibutuhkan lagi karena tergantikan oleh robot?
Strategic Actions: Strategi Industri 4.0 haruslah tetap pro pada pemerataan lapangan pekerjaan. Skenarionya ada dua. Pertama, industri-industri yang dipilih tetap menggunakan skill set yang sekarang dimiliki oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Kedua, melakukan “skill transformation” menuju skill set baru yang dibutuhkan Revolusi Industri 4.0.
Prerequisite: “Agile Government”
Untuk bisa mengelola Revolusi Industri 4.0 diperlukan gaya pemerintahan yang kreatif, adaptif, cepat, dan mumpuni dalam mengelola perubahan eksponensial yang dihasilkan oleh Revolusi Industri 4.0. Inilah yang disebut “agile government”.
Agile governement menuntut pemerintah bisa menjalankan proses politik, legislatif, dan regulatif yang adaptif mengikuti setiap perkembangan Revolusi Industri 4.0. Untuk bisa melakukannya ia harus berkolaborasi secara intens dengan seluruh elemen stakeholders (bisnis, akademis, komunitas, masyarakat) dalam menuntun proses trasformasi digital di level negara, industri, dan masyarakat secara luas.
Konsep strategi Industri 4.0 sehebat apapun hanya akan menjadi dokumen yang tak berarti apa-apa jika pemerintah tak mampu mengeksekusinya. So, sebelum pemerintah mentransformasi Indonesia memasuki Revolusi Industri 4.0, terlebih dahulu mereka harus melakukan transformasi diri untuk menjadi agile government.
Tanpa itu, Making Indonesia 4.0 hanya sekedar slogan overpromise untuk menyongsong Pemilu 2019.
Sumber foto: rctom.hbs.org
5 comments
Tajam membaca jaman
Pandai mensinergikan potenai menjadi startegi yg unggul
Cekatan dalam bertindak.
Diniatkan u kemanfaatan yg banyak.
Segenap anak bangsa bersatu utk mewujudkan kesuksesan di era Revolusi Industri 4.0. Tak ada pilihan lain…
Kesiapan mendasar Indonesia memang di dunia pendidikan pak, dimana kita masih memakai mode industri.
Sedangkan tantangan revolusi membutuhkan skill khusus dari sejak dini.
Masih haruskah menghabiskan waktu 12 thn (sd smp sma) utk mempelajari hal yg sama?
[…] Menurut Yuswohadi dari MarkPlus Inc, Revolusi Industri 4.0 tidak hanya menawarkan sisi positif (the promises) tapi juga negatif (the perils). Pendidikan Karakter dapat berfungsi untuk mengerem sisi negatif tersebut. […]
ulasannya mantab pak, naka muda perlu sekali mempersiapkan diri melewati era baru ini