Akhir bulan Maret lalu saya mendapatkan kesempatan emas bertemu dan berdiskusi dengan teman-teman pemilik restoran Indonesia di luar negeri di Nusa Dua Bali.
Beberapa restoran tersebut antara lain adalah Ron Gastrobar Indonesia di Amsterdam; Djakarta Bali di Paris; The Yono’s Indonesian Fine Dinning di Albany, USA; Kasih Restoran di LA, Fluffy lamb di Perth; Sendok Garpu di Brisbane, Ubud Resto di Sydney, Sari Ratu di Singpore, juga Bumbu Desa di Kuala Lumpur Malaysia.
Dari pagi hingga sore kami berdiskusi merancang program untuk mempromosikan resto-resto Indonesia di luar negeri. Memang Kemenpar melalui cobranding task force sedang merintis sebuah program untuk mengajak resto diaspora (resto masakan Indonesia di luar negeri) mempromosikan kuliner Nusantara dan pariwisata Indonesia ke seluruh dunia.
Indonesia punya segudang makanan-makanan hebat dari Sabang sampai Merauke. Rendang Sumatera Barat, Gudeg Yogya, Ayam Taliwang Lombok, Konro Makassar, Bubur Menado, hingga Papeda Papua. Wow… pokoknya enak-enak semua. Sayang jika aset luar biasa itu tidak dipromosikan sebagai bagian tak terpisahkan dari strategi nation branding Indonesia.
Thailand adalah contoh negara yang dengan cerdas menjadikan kekayaan kulinernya sebagai bagian dari nation branding mereka. Di masa pemerintahan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra pada pertengahan tahun 2000an negeri GajahPutih ini meluncurkan program “The Kitchen of the World” yang bertujuan ambisius mendongkrak jumlah resto Thailand di luar negeri dari sekitar 6.900 pada tahun 2003 menjadi 20.000 pada tahun 2008 atau naik sekitar empat kali lipat.
Berikut adalah insights berharga yang saya peroleh dari diskusi dengan teman-teman pemilik resto terkait strategi promosi pariwisata melalui resto-resto Indonesia di seluruh dunia.
#1. Resto as a Tourism Etalage
Ide dasar memanfaatkan resto Indonesia di luar negeri adalah menjadikan resto-resto tersebut sebagai “etalase” pariwisata Indonesia di luar negeri. Kenapa resto demikian strategis sebagai “marketing channel”? Ya, karena resto-resto tersebut tentu sudah memiliki basis pelanggan yang kokoh, apalagi jika resto tersebut sudah beroperasi bertahun-tahun.
Di samping itu audiens global yang ada di restoran Indonesia tentu sudah memiliki interest terhadap Indonesia sehingga mereka lebih mudah diyakinkan untuk datang berwisata ke Indonesia. Jadi mereka sudah merupakan unique targeted prospects.
Dengan menjadi “window of Indonesia” maka di resto-resto tersebut kita bisa menyajikan konten-konten yang Indonesia banget seperti kekayaan budaya Indonesia (tari, musik, kerajinan, dll), destinasi wisata eksotik Indonesia, di samping tentu saja beragam kuliner khas Nusantaar. Ketika konten-konten itu disampaikan menyatu dengan resto experience yang hendak disampaikan maka ia akan memiliki influence power yang luar biasa untuk menarik wisman ke Indonesia.
#2. Integrating 3A
Menampilkan kuliner Indonesia dan beragam atraksi budaya Indonesia di resto-resto diaspora baru mencakup dua elemen dari konsep 3A (Atraksi, Amenitas, Aksesibilitas), yaitu elemen pertama dan kedua.
Agar efektif, maka elemen ketiga yaitu aksesibilitas juga harus diintegrasikan. Aksesibilitas yang dimaksud di sini adalah bagaimana wisman menjangkau Indonesia terutama melalui perjalanan udara. Di sini maskapai penerbangan harus mempromosikan resto-resto diaspora ke para wisman dari kota-kota di mana resto itu berada. Dengan promosi tersebut diharapkan mereka akan mengunjungi resto diaspora dan mengenal lebih dekat pariwisata Indonesia.
Dengan mekanisme ini, maka resto diaspora menjadi semacam “saluran” yang akan “menggiring” wisman untuk semakin mengenal, dekat, dan kemudian mencintai pariwisata Indonesia. Dalam konsep marketing, peran resto diaspora semacam ini disebut sebagai “marketing funnel”. Melalui marketing funnel inilah wisman akan digiring dari non-consumer menjadi first-time buyer, dan akhirnya loyal customers.
#3. Seasonal Brand Activations
Agar peran resto diaspora sebagai promotion channel kuliner dan pariwisata Indonesia berjalan efektif, maka kita harus menggelar brand activation secara berkala (seasonal) dan berkelanjutan. Bahkan kalau perlu dirancang calendar of event (CoE) yang tetap tiap tahunnya.
Karena pertimbangan ini, akhir tahun ini rencananya Kemenpar akan menginisiasi semacam festival gastronomi di berbagai resto diaspora selama sebulan penuh. Targetnya akan serentak dilakukan oleh sekitar 100 resto diaspora di berbagai kota-kota utama dunia. Kalau event ini bisa direalisasikan, apalagi rutin dilakukan tiap tahun, maka awareness kuliner dan pariwisata Indonesia perlahan akan terangkat.
Agar seluruh cita-cita ini bisa diwujudkan, tentu saja resto-resto diaspora tidak bisa bergerak sendiri. Semua stakeholders harus dilibatkan untuk mendukung gerakan ini mulai dari Kementerian (Kemenpar, Bekraf, Kemendag, dll.), KBRI, diaspora Indonesia, hingga perusahaan-perusahaan kita yang beroperasi di luar negeri.
Kalau kita, seluruh elemen bangsa, bersatu-padu mewujudkannya, maka kita optimis akan bisa mewujudkan Indonesia Inc. dengan menjadikan resto diaspora sebagai senjata ampuh nation branding Indonesia.
Foto: Rekan-rekan pemilik Resto Diaspora di Nusa Dua Bali
1 comment
[…] mengumpulkan sekitar 100 pemilik resto Indonesia di luar negeri (“resto diaspora”) di ajang “Wonderful Indonesia Gastronomy Forum (WIGF): Diaspora Restaurant” yang dibesut Kementerian […]