• Home
  • Biography
bu zamana kadar sadece babası ile beraber yaşayan mobil porno genç oğlan üniversiteyi bitirdikten sonra hiç bir iş bulamaz porno izle ve evinde pineklemeye başlar Babasının milf bir kadın porno resim ile evlenme kararı ile adeta dumura uğrayan oğlan bunu porno izle ilk başta istemese de belki onunla iyi anlaşacağını seks izle düşünerek evde olduğu zamanlarda canı sıkıldığında üvey annesi sex hikayeleri ile sohbet edeceğini düşünerek kendisini rahatlatır Babasının yeni evlendiği porno izle kadın beklediğinden de çok iyi anlaşan genç oğlan sapık ensest hislerine mobil seks hakim olamayarak üvey annesinin odasına gelip siker
yuswohady.com

Fear of Disruption

by yuswohady December 2, 2017
December 2, 2017

Jaman saya kecil di kampung, cara petani menakut-nakuti dan mengusir burung yang hendak memakan padi di sawah adalah dengan memasang “memedi sawah”, semacam boneka dari jerami dengan kepala dari batok kelapa. Memedi sawah itu biasanya diberi baju dan caping agar menyerupai sosok manusia.

Kini, di jaman semua serba digital cara paling ampuh untuk menakut-nakuti pelaku ekonomi dan pebisnis adalah dengan cukup membisikkan satu kata: “disruption”.

Itulah setidaknya yang kita alami selama 1-2 tahun terakhir. Satu kata ini menjadi momok menakutkan yang beredar di berita media, di postingan blog, tweets, update status di Facebook, atau foto-foto di Instagram yang menghasilkan viral yang merambat cepat, bergentayangan layaknya malaikat pencabut nyawa.

“Taksi konvensional bakal bangkrut terkena disruption”
“Glodok dan Roxi bakal tutup terkena dampak disruption”
“Matahari dan Ramayana sepi pengunjung karena disruption”
“Karyawan bank siap terkena PHK massal karena disruption”

Begitu kira-kira bunyi pesan viral yang membuat pelaku ekonomi ketakutan setengah mati. Semua pesan berseliweran ini menghasilkan fenomena yang saya sebut: “Fear of Disruption” (FoD).

FoD muncul karena: kita takut bisnis kita terkanibalisasi oleh startup seumur jagung; kita gamang kehilangan pekerjaan; atau cemas karena tidak tahu harus berbuat apa. Kian hari ketakutan ini kian dramatis dan mencekam.

Keep Calm and Start Thinking Clearly

Fear Is Contagious
Celakanya, di era media sosial, FoD itu menular dan menyebar begitu cepat dan massif menghasilkan ketakutan dalam besaran dan intensitas yang luar biasa. Tipping point matters!

Diawali dengan postingan seseorang di blog atau Facebook mengenai dampak buruk disruption. Misalnya, berita mengenai Glodog dan Roxi yang kian sepi karena konsumen sudah pindah berbelanja ke Tokopedia dan Bukalapak beberapa bulan yang lalu. Maka dalam ukuran menit postingan itu menciptakan FoD yang menyebar begitu cepat menjangkau ribuan bahkan jutaan netizen.

Karena berita mengenai FoD selalu seksi, menarik (shareable), dan selalu memicu viral (viralable), maka di hari dan minggu berikutnya netizen mulai berlomba-lomba mengungkap fakta, analisis, atau sekedar obrolan mengenai sisi buruk disruption.

Perlu diingat netizen memang haus “like” dan “share”. Karena itu berita apapun yang menarik dan memicu “like” dan “share” akan mereka sebar atau dibikin meme-nya. Yang terjadi kemudian gampang ditebak, mereka berjamaah menebar virus ketakutan, tanpa sedikitpun mereka sadari. Unconsciously,we spread fear of disruption.

Negativity Bias
Kenapa hanya dampak buruk disruption yang viral? Padahal kita semua tahu bahwa di samping berdampak negatif, digital disruption juga menghasilkan dampak positif berupa layanan yang lebih baik, pemanfaatan sumberdaya yang lebih efisien, atau munculnya inovasi-inovasi yang menggerakkan perekonomian secara luas.

Inilah yang disebut “negativity bias”. Karena kita lebih suka menyebarkan berita buruk ketimbang berita baik. “Bad news travel faster than good news”. Pesan buruk menyebar berlipat-lipat lebih cepat dibanding pesan baik.

Itu sebabnya tak banyak pesan atau berita yang melihat disruption dari sisi positif. Kalaupun ada tak pernah mampu mencuri perhatian kita. Dampaknya di kalangan pelaku ekonomi sangat impactful: sangat sedikit pebisnis (incumbent) yang melihat disruption dari sisi opportunity, hampir semua melihatnya sebagai threat yang mengancam keberadaan mereka.

Dengan begitu negativity bias membentuk stigma di kalangan pelaku ekonomi bahwa disruption adalah bencana korporasi yang luar biasa dan dari sinilah virus FoD mulai terbentuk dan menyebar hebat.

Confirmation Bias
Tak cukup di situ, ketika di kalangan pelaku ekonomi sudah terbentuk stigma negatif mengenai disruption, maka keyakinan negatif ini memicu apa yang disebut “confirmation bias”.

Confirmation bias adalah tendensi dimana kita cenderung membenarkan dan mengonfirmasi sesuatu yang sebelumnya kita yakini. Ketika kita mendapati berita mengenai dampak buruk disruption, maka kita cenderung menjadikannya sebagai pembenaran bahwa disruption bakal betul-betul menciptakan bencana ketimbang kemanfaatan.

Confirmation bias makin memperdalam proses penciptaan ketakutan. Dan pada satu titik tertentu mendorong terjadinya “vicious circle of fears” dimana satu pesan ketakutan teramplifikasi secara eksponensial sehingga menghasilkan rentetan ketakutan dalam jumlah dan intensitas yang berlipat-lipat.

Hasilnya, di tengah rundungan ketakutan, para pelaku ekonomi menjadi gamang, kehilangan konfiden, kehilangan pegangan, pesimis, bahkan merasa hopeless menghadapi ekonomi yang tidak menentu. Kejadian inilah yang saya sebut: “FoD Effect”

“FoD Effect” kita alami dalam 1-2 tahun terakhir dimana hampir setiap hari kita diterpa berita-berita mengenai bencana disruption yang meluruhkan optimisme dan harapan kita. Ini baru permulaan. Semakin hari “FoD Effect” ini akan makin intensif menggerus nyali dan optimisme kita.

Barangkali karena “FoD Effect” inilah ekonomi kita seperti “mati suri” selama tiga tahun terakhir: ekonomi terasa lesu; banyak perusahaan tak mampu mencapai target; banyak pelaku bisnis cemas dan pesimis; produsen dan konsumen “wait and see”; muncul dugaan daya beli masyarakat menurun; muncul dugaan terjadinya consumer shifting; masyarakat menyalahkan pemerintah; pemerintah mencari pembenaran dan kambing hitam, dan sterusnya, dan seterusnya.

Baca juga: “Kisah Heroik Mazhab Ekonomi Baru”

Fear Is Bad for Us
Apa yang terjadi jika para pebisnis dan pelaku ekonomi dirundung ketakutan di tengah ketidakmenentuan akibat disruption? Bukti-bukti terakhir yang diperoleh dari studi behavioral economics dan neuroscience (antara lain: Park, et.al., 2016 dan Hartley-Phelps, 2012) menghasilkan kesimpulan yang menarik.

Ketika pelaku ekonomi diliputi ketakutan akut, maka keputusan-keputusan yang mereka ambil cenderung blunder. Mereka cenderung mengambil jalan teraman dengan terus-menerus “wait and see” alias tak melakukan apa-apa. Mereka enggan mengeksplorasi peluang-peluang dari adanya disruption dan tak mau mengambil risiko untuk menangkap peluang yang muncul (risk aversion). Kalau sikap risk aversion ini terjadi secara massal dan seketika, maka tak heran jika ekonomi seperti mandek.

“Anxiety increases the attention to negative choice options, the likelihood that ambiguous options will be interpreted negatively, and the tendency to avoid potential negative outcomes, even at the cost of missing potential gains,” tulis Hartley-Phelps.

Artinya, di tengah ketakutan dan kecemasan, mereka cenderung melihat gelas sebagai “setengah kosong”, bukannya “setengah penuh”. Mereka menyikapi disruption sebagai threat, bukan opportunity. Mereka merespons disruption secara reaktif, bukan proaktif.

Kondisi ketakutan di tengah disruption juga menciptakan apa yang di kalangan behavioral economist disebut “endowment effect”, yaitu tendensi dimana orang secara irrational menilai terlalu tinggi apa-apa yang telah dimilikinya, karena itu mati-matian ia tak akan melepaskannya (loss aversion).

Para pebisnis mapan (incumbent) tak rela jika perusahaannya “digembosi” oleh startup digital milik kids jaman now. Loss aversion yang berlebihan ini menjadikan mereka semakin kalut dan kalap ketika memang mereka sama sekali tidak tahu bagaimana cara menghadapi dan mengelola disruption.

Begitulah kira-kira gambaran situasi perekonomian kita selama 1-2 tahun ini: ekonomi melesu layaknya “mati suri”, banyak pelaku ekonomi/pebisnis “wait and see” sambil takut dan berharap-harap cemas (banyak berdoa tentu), pesimis bahkan hopeless, gamang dan kehilangan pegangan, dan reaktif karena tak tahu harus berbuat apa.

Ketika ketakutan berdampak begitu buruk bagi pelaku ekonomi dan perekonomian secara keseluruhan, pertanyaannya kemudian, apa yang harus mereka lakukan untuk menghadapi spiral ketakutan akibat disruption?

Untuk menjawab pertanyaan ini ada baiknya kita mendengar nasihat kecil dari para behavioral economists dan neuroscientists.

Nasihat itu mirip bunyi poster yang dibuat Pemerintah Inggris tahun 1939 untuk memotivasi rakyatnya yang dirundung ketakutan ketika harus mengemban tugas negara berangkat ke Perang Dunia II:

“Keep calm and start thinking clearly… manage disruption smartly”

 

Catatan:

Catherine A. Hartley and Elizabeth A. Phelps, “Anxiety and Decision-Making,” Biological Psychiatry, Volume 72, Issue 2, 2012, p.113–118.

Park, et.al., “Anxiety Evokes Hypofrontality and Disrupts Rule-Relevant Encoding by Dorsomedial Prefrontal Cortex Neurons,” Journal of Neuroscience, 16 March 2016, 36 (11) 3322-3335.

Related posts:

  1. Brand Disruption
0 FacebookTwitterWhatsappEmail
yuswohady

Yuswohady, Managing Partner Inventure. Author of 50+ books on business & marketing, incl. the best seller "Millennials KILL Everything" (2019) and "Consumer Megashift after Pandemic" (2020).

previous post
Cultureless Organization
next post
Free eBook – Marketing Outlook 2018: “Welcome Leisure Economy”

Baca Juga

Triple Disruptions Mengancam BUMN

June 6, 2021

“Kawin & Caplok”

June 4, 2021

Angry Customers

May 30, 2021

Gimana Agar Tech Giants Tidak Menjadi Predator?

May 26, 2021

The Fall of Asset-Heavy Company

May 26, 2021

The Fall of Clubhouse

May 23, 2021

GoTo & Mimpi Buruk Startup

May 20, 2021

The Fall of Branch

May 20, 2021

Ecosystem Synergy

May 19, 2021

GoTo: “Winner Takes All”

May 18, 2021

1 comment

Baha NOMYAM December 3, 2017 - 9:34 pm

Salah satu korban ketakutan itu ya saya.
Dengan membaca artikel ini, menambah yakinan bahwa saya bisa tumbuh dan selamat. Dengan catatan tetap belajar dan waspada akan perubahan sekitaran.

Reply

Leave a Comment

Save my name, email, and website in this browser for the next time I comment.

Artikel Terbaru

  • KENAPA REPUBLIKA CETAK HARUS TUTUP?

    January 30, 2023
  • MAL SEPI BAK KUBURAN

    January 30, 2023
  • KENAPA TIKTOK LEBIH POWERFUL DARI INSTAGRAM?

    January 30, 2023
  • FOMO (Fear Of Missing Out) Memicu EFEK DOMINO Menyebarkan Foto BOM BUNUH DIRI

    January 30, 2023
  • FOMO MOBIL LISTRIK

    January 30, 2023
  • Otentisitas bisa Menjadi Alat Diferensiasi Bisnis

    January 30, 2023
  • SLOGAN BARU JAKARTA

    January 19, 2023
  • RELIABILITY SPBU PERTAMINA

    January 19, 2023
  • MENDADAK TENIS ” FOMO Marketing Matters “

    December 5, 2022
  • PAMALI MARKETING PLAN 2023 PESIMIS

    December 5, 2022
  • 2023 TAHUN TERANG The Power of Self-Fulfilling Prophecy

    December 5, 2022
  • AKANKAH STARTUP BUBBLE PECAH?

    December 5, 2022
  • HABIS TERANG TERBITLAH GELAP FOMO matters.

    December 5, 2022
  • PHK META “Pelajaran Berharga”

    December 5, 2022
  • BAGAIMANA KONSUMEN PINDAH KE LAIN HATI?

    November 29, 2022
  • BIROKRASI MELAYANI BUKAN MENYULITKAN

    November 29, 2022
  • BLUNDER BAIM WONG Brand Harus Punya “Netizen Sensitivity”

    November 29, 2022
  • BRAND REPOSITIONING POLRI

    November 29, 2022
  • MENYIKAPI BRAND TERRORIST “Pelajaran dari Esteh Indonesia”

    November 29, 2022
  • FOMO MARKETING HYUNDAI IONIQ 5

    November 29, 2022

Langganan Artikel via Email

Recent Posts

  • KENAPA REPUBLIKA CETAK HARUS TUTUP?
  • MAL SEPI BAK KUBURAN
  • KENAPA TIKTOK LEBIH POWERFUL DARI INSTAGRAM?
  • FOMO (Fear Of Missing Out) Memicu EFEK DOMINO Menyebarkan Foto BOM BUNUH DIRI
  • FOMO MOBIL LISTRIK
  • Otentisitas bisa Menjadi Alat Diferensiasi Bisnis
  • SLOGAN BARU JAKARTA
  • RELIABILITY SPBU PERTAMINA
  • MENDADAK TENIS ” FOMO Marketing Matters “
  • PAMALI MARKETING PLAN 2023 PESIMIS
  • 2023 TAHUN TERANG The Power of Self-Fulfilling Prophecy
  • AKANKAH STARTUP BUBBLE PECAH?
  • HABIS TERANG TERBITLAH GELAP FOMO matters.
  • PHK META “Pelajaran Berharga”
  • BAGAIMANA KONSUMEN PINDAH KE LAIN HATI?
  • BIROKRASI MELAYANI BUKAN MENYULITKAN
  • BLUNDER BAIM WONG Brand Harus Punya “Netizen Sensitivity”
  • BRAND REPOSITIONING POLRI
  • MENYIKAPI BRAND TERRORIST “Pelajaran dari Esteh Indonesia”
  • FOMO MARKETING HYUNDAI IONIQ 5
  • Facebook
  • Twitter
  • Instagram
  • Youtube

@2020 - All Right Reserved. Designed and Developed by Wihgi.com


Back To Top
yuswohady.com
  • Home
  • Biography