Beta mentality adalah sebuah belief dari seorang inovator/entrepreneur bahwa produk atau bisnis yang mereka luncurkan di pasar tak akan pernah sempurna, dan karena itu harus terus-menerus diperbaiki dan disempurnakan.
Beta mentality juga cermin dari sikap kerendahan hati dari seorang inovator/entrepreneur yang dengan legowo mengakui bahwa, “produk/bisnis kami masih jauh dari sempurna… dan karena itu kami akan terus berjuang habis-habisan untuk memperbaikinya.”
Disebut mentalitas, karena ini bukanlah sekedar satu mata rantai dari serentetan proses inovasi, tapi sudah menjadi WAY OF LIFE bahwa sebagai inovator/entrepreneur kita tak boleh gampang berpuas diri, gampang silau oleh “kesuksesan besar”, gampang terjebak dalam comfort zone, dan malas memperbaiki diri.
Banyak pemain yang mengalami kegagalan fatal karena tak cukup memiliki beta mentality. Segelintir contohnya adalah Yahoo! (diungguli Google yang terus improve all the time), Friendster (diungguli Facebook yang terus bertransformasi), dan yang terakhir Sevel yang beberapa hari lalu tutup.
Kebanyakan mereka menikmati kesuksesan awal yang fenomenal, dipuji habis-habisan oleh konsumen dan pengamat, dan mendapat pemberiataan media yang menghebohkan, namun kemudian gagal karena lupa memperbaiki diri.
Always in Beta Mode
Apakah Anda seorang inovator yang barusan meluncurkan produk baru yang “new to the world”; Apakah Anda seorang entrepreneur yang barusan meluncurkan startup warung kopi; Anda harus berpikiran menjalankan operasi bisnis selalu dalam kondisi beta: “always in beta mode”.
Bahkan ketika ide dan model bisnis Anda sukses dan mendapatkan sambutan luar biasa di pasar, Anda tak boleh terlalu cepat “mendeklarasikan kemenangan”… don’t declare victory too soon. Kenapa? Karena di situlah pergulatan untuk menyempurnakan “product-market fit” justru dimulai.
Jangan sampai Anda menjadi the next Yahoo!, atau the next Friendster, atau the next Sevel.
Ingat, success is a never-ending journey. Sukses itu sebuah perjalanan yang tak pernah mengenal akhir, yang harus diperjuangkan melalui perbaikan secara terus-menerus. Di sinilah beta mentality WAJIB menjadi way of life setiap orang sukses.
Kenapa beta mentality harus dimiliki oleh setiap inovator/entrepreneur? Karena needs/wants konsumen adalah moving target yang berubah terus-menerus. Needs/wants konsumen pada saat peluncuran produk/bisnis bisa jadi berubah drastis tiga bulan atau setahun setelahnya. Karena itu Anda harus melakukan continuous dialogues dengan konsumen sehingga tahu perubahan needs/wants konsumen.
Karena tinggal di Kelapa Gading, kasus ini banyak saya temui di bisnis warung/restoran. Selama 3-6 bulan peluncuran, resto dengan menu dan konsep baru biasanya ramai luar biasa sampai antriannya mengular jauh. Namun setelah itu, pelan tapi pasti pengunjung mulai menghilang dan restoran sepi. Di tahun kedua atau ketiga banyak di antara restoran itu tutup.
Dalam kasus ini, kebanyakan si entrepreneur terjangkiti sindrom “declare victory too soon” sehingga silau dan takabur. Kesuksesan awal selama 3-6 bulan pertama menjadikan mereka lupa akan PR terbesar yang harus ia kerjakan yaitu memperbaikinya secara terus-menerus.
Dalam terminologi Lean Innovation dan Growth-Hacking, Anda harus menyikapi setiap langkah bisnis sebagai sebuah eksperimen dan pengetesan: measure, analyze, learn, adapt… and repeat the cycle over and over and over again.
Bisnis, menurut konsep ini, adalah melakukan “eksperimen tiada henti” untuk mewujudkan product-market fit seperti yang dimaui konsumen. Eksperimen itu dilakukan bukan di “R&D lab” atau “innovation center” di dalam perusahaan, tapi dilakukan di pasar.
Dalam terminologi Google dikenal istilah “beta version”. Ini dia prinsip beta mentality yang diyakini dan menjadi kunci kesuksesan Google: “You don’t have to wait for the next version to be on the shelf or an update to become available. Improvements are rolled out as they’re developed.”
Big Win vs Small Win
Celakanya, perbaikan kecil secara terus-menerus itu tidak seksi, tidak glamour, tidak riuh-rendah dengan pujian, dan tidak heboh diliput media.
Perbaikan terus-menerus menghasilkan “small win” yang “sepi”, tidak hiruk-pikuk dengan pemberitaan media. Hanya si inovator/entrepreneur saja yang tahu, orang lain tidak.
Itu beda dengan “big win” seperti sukses yang dialami Sevel, sukses AirBnB, atau sukses Pokemon Go. Begitu tercipta big win, semua orang ngomongin dan memberi pujian. CEO-nya menjadi selebriti yang diwawancarai TV dan majalah. Perjalanan si entrepreneur merintis bisnis menjadi kisah sukses yang viral di medsos.
Sukses itu kumpulan dari sedikit big win dan amat banyak small win. Perbandingannya mungkin satu banding seribu (satu big win, seribu small win), atau bahkan satu banding sejuta. Ironisnya, penentu kesuksesan yang sesngguhnya adalah small win yang amat banyak, bukan sedikit big win.
Sukses adalah mencapai small win dalam jumlah banyak banget dan lama banget, bukan pencapaian big win sekali atau dua kali.
Bahkan yang banyak terjadi, kesuksesan kita terwujud hanya dari sekumpulan small win dalam kurun waktu yang sangat lama dan sangat melelahkan; dan tak pernah menimati big win. Itu yang saya sebut: “kesuksesan yang sepi”.
Itu sebabnya saya mengatakan sukses itu menyangkut adu lari maraton, bukan adu lari cepat. “Success is a marathon game, not a sprinter game”.
Sukses Awal: Madu sekaligus Racun
Dua kasus, perjalanan Sevel dan Go-Jeg dengan sangat pas menggambarkan pentingnya beta mentality.
Apa bedanya sukses awal Go-Jek dan Sevel?
Kalau jeli kita amati, sukses awal Sevel adalah sukses sempurna.. sukses tanpa cela. Sebaliknya, sukses Go-Jek adalah sukses yang penuh diwarnai “kerikil-kerikil tajam”.
Sukses model bisnis Sevel pada saat peluncuran tahun 2009 adalah “instant hit success” yang mendapat sambutan luar biasa dari konsumen dan dipuji habis-habisan oleh pengamat dan media. Sukses yang mulus tanpa hambatan apapun.
Sukses Go-Jek sebaliknya, penuh dengan cobaan. Memang sambutan konsumen luar biasa, tapi di samping itu peluncurannya sarat kontroversi: boikot dan demo tukang ojek pangkalan, langkah blunder regulator yang gamang, kritik pedas dari pengamat mengenai model bisnisnya yang ganjil, aksi mogok karyawan, dsb-dsb.
Sukses awal adalah MADU.. sekaligus RACUN.
Bagi Sevel, sukses awal yang tanpa cela, menjadikannya mabuk kepayang. Sukses besar itu menjadikannya silau sehingga kurang peka mengenali dan menyelesaikan persoalan di depan mata, yaitu model bisnisnya yang tidak viable. Kalau kata pepatah: “Gajah di pelupuk mata tak terlihat.”
Di sini sukses besar Sevel justru menjadi racun mematikan. Racun ini meredupkan semangat beta mentality. Setelah menikmati big win di awal, Sevel kemudian capek berinovasi dan memperbaiki diri.
Bagi Go-jek, sukses awal yang penuh onak dan duri menjadikannya stay alert, tak gampang puas, dan memiliki sense of crisis untuk terus memperbaiki diri. Di sini sukses awal yang penuh cobaan menjadi “vitamin” untuk berupaya lebih keras.
Sukses awal Go-Jek di sini menjadi madu yang menumbuh-suburkan semangat beta mentality. Yang menjadikan Go-Jek terus berjuang mewujudkan small win secara terus-menerus.
Beta mentality yang tumbuh subur inilah yang membuat Go-Jek terus berinovasi dan memperbaiki diri. Awalnya layanan transportasi ojek Go-Jek, kemudian masuk ke layanan lain seperti Go-Ride, Go-Box, Go-Massage, Go-Clean, Go-Glam, Go-Med, hingga terakhir layanan payment Go-Pay.
Itu sebabnya Go-jek sekarang amat berbeda dengan saat diluncurkan… evolving all the time.
Pengalaman Sevel dan Go-Jek memperkuat keyakinan saya bahwa:
Every business is beta business.
Where we run our business (always) in beta mode.
Improve all the time.
Evolve all the time.
1 comment
[…] Baca juga: Beta Mentality […]