yuswohady.com
  • Home
  • Biography
  • Home
  • Biography
bu zamana kadar sadece babası ile beraber yaşayan mobil porno genç oğlan üniversiteyi bitirdikten sonra hiç bir iş bulamaz porno izle ve evinde pineklemeye başlar Babasının milf bir kadın porno resim ile evlenme kararı ile adeta dumura uğrayan oğlan bunu porno izle ilk başta istemese de belki onunla iyi anlaşacağını seks izle düşünerek evde olduğu zamanlarda canı sıkıldığında üvey annesi sex hikayeleri ile sohbet edeceğini düşünerek kendisini rahatlatır Babasının yeni evlendiği porno izle kadın beklediğinden de çok iyi anlaşan genç oğlan sapık ensest hislerine mobil seks hakim olamayarak üvey annesinin odasına gelip siker
yuswohady.com

Disrupted Brand

by yuswohady May 29, 2017
May 29, 2017

Yang saya sebut “disrupted brand” adalah brand-brand (umumnya incumbent brand) yang telah menjadi korban disrupsi oleh brand-brand lain (umumnya new, digital brand) sehingga value proposition dari brand tersebut tidak relevan lagi atau kalah ampuh dibanding brand yang mendisrupsinya.

Nokia adalah disrupted brand yang didisrupsi oleh pemain seperti Apple dan Samsung. Blue Bird adalah disrupted brand yang didisrupsi Grab atau Uber. Matahari dan Ramayana adalah disrupted brand yang didisrupsi oleh pemain-pemain e-commerce seperti Zalora atau Berrybenka. Disc Tarra adalah disrupted brand yang didisrupsi oleh pemain digital seperti iTunes atau Rhapsody. GM atau Ford adalah disrupted brand yang didisrupsi pemain baru seperti Tesla (mobil listrik) atau Google (mobil otonom).

Di mata konsumen, disrupted brand dianggap sebagai “the loser brand” karena value hebat yang mereka deliver selama bertahun-tahun (bahkan puluhan tahun) sebelumnya, kini dikalahkan oleh value yang jauh lebih habat yang dihasilkan oleh pemain-pemain digital baru. Namanya juga “the loser”, secara image dan persepsi mereka berada di posisi yang nggak mengenakkan.

Di mata konsumen, disrupted brand secara umum dianggap sebagai brand yang “declining”, “menua”, “ketinggalan jaman”, “blunder”, “irrelevant”, “lelet berubah”, “nggak cool”, dan segudang atribut negatif lain. Itulah “stempel” yang diberikan konsumen kepada mereka. Padahal belum tentu mereka begitu. Masih banyak disrupted brand yang perkasa dan bahkan masih menguasai pasar. Kalau ngomong aura, maka disrupted brand ini berada di posisi “aura negatif”.

Karena aura dan sentimennya negatif, maka sehebat apapun disrupted brand mencapai prestasi, konsumen tetap nyinyir dan memandang sebelah mata. Artinya, di mata konsumen kredibilitas mereka sudah jatuh.

Disrupting vs Disrupted 2

Liability, Bukan Asset
Salah satu elemen ekuitas merek (brand equity) dalam teori branding adalah apa yang disebut brand association. Yaitu asosiasi atau persepsi yang ditangkap di benak konsumen. Lux memiliki brand association yang kuat sebagai “sabun kecantikan”. Sementara Lifebouy memilki brand association yang kuat sebagai “sabun kesehatan”. Toyota Kijang dan Avanza memiliki brand asosiasi yang kuat sebagai “mobil keluarga Indonesia”.

Nah celakanya, dalam konteks disrupted brand, brand association yang kuat itu bukannya hal-hal yang positif tapi negatif seperti: declining, irrelevant, ketinggalan jaman, lelet berubah, dan lain-lain. Jadi “stempel” jelek dari disrupted brand di atas membentuk brand association mereka yang kurang menguntungkan. Kalau sudah begini maka brand association yang mereka dapatkan bukannya menjadi asset, tapi justu sebaliknya liability.

Karena berada di posisi yang tidak menguntungkan, maka disrupted brand harus cepat move on. Mereka harus shifting quadrant untuk mendapatkan posisi baru yang lebih baik dan berasosiasi positif. Caranya gimana? Caranya adalah melakukan repositioning dan rebranding.

Karena itu di era gonjang-ganjing disrupsi saat ini, saya meramalkan bakal kian banyak brand-brand besar yang melakukan repositioning dan rebranding agar mereka tetap relevan dan bisa survive menghadapi dunia yang baru (“the new normal”). Tanpa langkah strategis ini, pelan tapi pasti, brand mereka akan habis ditelan jaman.

Move On Strategy
Lalu strategi apa saja yang harus dilakukan oleh disrupted brand untuk bisa move on? Secara umum ada tiga opsi yang bisa mereka ambil: aliansi, transformasi, merusak diri sendiri (self-disruption).

Aliansi, yaitu menggandeng disruptor brand agar dampak buruk “stempel” sebagai disrupted brand yang sudah terlanjur melekat bisa dinetralisir dan dikurangi. Ini adalah cara paling mudah dan paling aman untuk menyelamatkan kapal yang mau karam. Strategi ini dilakukan oleh Blue Bird yang menggandeng Go-jek, sang disruptor, dengan meluncurkan layanan baru: Go Blue Bird. Dengan merangkul disruptor, maka asosiasi positif dari disruptor brand akan berimbas baik ke disrupted brand.

Transformasi, yaitu melakukan perubahan besar-besaran untuk menjadi digital company (dico). Artinya disruptor brand melakukan transformasi mengikuti jalan yang telah ditempuh oleh si disruptor. Matahari melakukan strategi ini dengan meluncurkan ritel versi online yaitu Mataharimall.com. Telkom melakukan strategi yang sama dengan melakukan transformasi besar-besaran untuk menjadi dico dengan menarget area-area bisnis baru yaitu TIMES: telecommunication, information, media, edutainment, dan services.

Self-disruption, yaitu cara yang paling ekstrim dan paling berisiko, dengan cara mendisrupsi diri sendiri. Prinsip dari strategi ini adalah: “daripada didisrupsi pemain lain, lebih baik didisrupsi oleh diri sendiri”. Contoh paling inspiratif dari strategi ini adalah Netflix. Perjalanan bisnis Netflix sangat heroik karena berulangkali ia “merusak dirinya sendiri”. Di awali dengan bisnis penyewaan DVD (fisik), Netflix merusaknya dengan meluncurkan layanan DVD streaming, lalu kini ia merusaknya lagi dengan meluncurkan layanan content creation melalui Netflix Originals.

Kalau Anda adalah incumbent brand, berhati-hatilah, karena sewaktu-waktu disrupsi akan bergentayangan siap-siap memangsa Anda. Kalau memang disrupsi tak bisa dihindari maka lakukanlah aliansi, transformasi, atau disrupsi diri sendiri. Disrupted brand… no way!!!

 

Sumber gambar: innovativedisruption.com

Related posts:

  1. Brand Politisi
  2. Brand dan Waralaba
  3. Brand Bernama KPK
  4. Brand Religion dan Logo Baru Starbucks
  5. Brand Kena Bully
0
FacebookTwitterWhatsappEmail
yuswohady

Yuswohady, Managing Partner Inventure. Author of 50+ books on business & marketing, incl. the best seller "Millennials KILL Everything" (2019) and "Consumer Megashift after Pandemic" (2020).

previous post
“Quick Fails”
next post
Ramadhan Marketing in Action

Baca Juga

Sharing Economy in the Pandemic

February 19, 2021

UKM Outlook 2021

October 11, 2020

New Omni Marcomm

October 1, 2020

5 Digital Consumer Megashifts

August 26, 2020

“Stay @ Home” Economy

March 25, 2020

Disrupsi AI: Apa yang Lenyap 10 Tahun ke...

February 16, 2020

Marketing Outlook 2019 (2): the FALL & the...

December 27, 2019

Marketing Outlook 2020 (1): The 3 Market MEGASHIFTS

December 19, 2019

Nadiem dan Disrupsi Pendidikan Kita

October 25, 2019

Merek Berbahasa Indonesia

October 11, 2019

1 comment

Brand Disruption — yuswohady.com September 23, 2017 - 8:53 am

[…] Disrupsi ternyata tak hanya terjadi pada ranah teknologi, tapi juga pada brand. […]

Reply

Leave a Comment Cancel Reply

Save my name, email, and website in this browser for the next time I comment.

Artikel Terbaru

  • Corona: A Serial Killer

    February 26, 2021
  • Sharing Economy in the Pandemic

    February 19, 2021
  • Syariah Universal

    February 12, 2021
  • Stay @ Home Lifestyle

    February 7, 2021
  • Best Business Book 2020 on COVID-19: My Picks

    December 27, 2020
  • Best Business Books 2020: My Picks

    December 24, 2020
  • Industry Megashifts 2021 (3)

    December 14, 2020
  • Industry Megashifts 2021 (2)

    December 14, 2020
  • Industry Megashifts 2021 (1)

    December 14, 2020
  • 6 Forces of Change 2021

    December 13, 2020
  • Konsumen Indonesia Optimis

    November 28, 2020
  • Prospective Businesses for UKM

    October 14, 2020
  • UKM Outlook 2021

    October 11, 2020
  • New Omni Marcomm

    October 1, 2020
  • Dunia Hiburan Terkoyak Pandemi

    September 4, 2020
  • Family Life in the Pandemic Era

    September 4, 2020
  • 5 Digital Consumer Megashifts

    August 26, 2020
  • 15 Banking Consumer Megashift

    August 10, 2020
  • New Normal 100: Leisure & Travelling Trends

    July 26, 2020
  • New Normal 100: Digital Life & Privacy Trends

    July 24, 2020

Langganan Artikel via Email

Recent Posts

  • Corona: A Serial Killer
  • Sharing Economy in the Pandemic
  • Syariah Universal
  • Stay @ Home Lifestyle
  • Best Business Book 2020 on COVID-19: My Picks
  • Best Business Books 2020: My Picks
  • Industry Megashifts 2021 (3)
  • Industry Megashifts 2021 (2)
  • Industry Megashifts 2021 (1)
  • 6 Forces of Change 2021
  • Konsumen Indonesia Optimis
  • Prospective Businesses for UKM
  • UKM Outlook 2021
  • New Omni Marcomm
  • Dunia Hiburan Terkoyak Pandemi
  • Family Life in the Pandemic Era
  • 5 Digital Consumer Megashifts
  • 15 Banking Consumer Megashift
  • New Normal 100: Leisure & Travelling Trends
  • New Normal 100: Digital Life & Privacy Trends
  • Facebook
  • Twitter
  • Instagram
  • Youtube

@2020 - All Right Reserved. Designed and Developed by Wihgi.com


Back To Top