Kenapa startup gagal mencapai sustainable profit… layu sebelum berkembang? Yang banyak terjadi, begitu diluncurkan respons dari konsumen tak cukup kuat, target omset tak tercapai, dan pelan tapi pasti produk undur diri dari pasar dan akhirnya menghilang.
Umumnya, si entrepreneur begitu over-confidence terhadap value proposition yang ia tawarkan. Tapi begitu produk meluncur di pasar, keyakinan yang menggebu-gebu itu langsung pupus. Skenario kesuksesan yang ada di kepala si entrepreneur ternyata berbeda 180 derajat dengan apa yang terjadi di pasar.
Banyak juga terjadi dimana awalnya produk mengalami sukses luar biasa. Saat peluncuran konsumen begitu bersemangat untuk menjadi early adopters untuk mencoba konsep yang breakthrough dari produk. Namun celaka, itu hanya bertahan 3-6 bulan pertama. Setelah itu, pelan tapi pasti konsumen hengkang dan pertumbuhan mulai flat.
Memang tak gagal sepenuhnya, tapi pertumbuhan omset seperti ogah-ogahan, tak memenuhi harapan si entrepreneur dan investor. Ini adalah tanda-tanda startup tersebut terjebak ke dalam “classic startup trap”, yaitu kondisi dimana startup tersebut terjebak dalam pertumbuhan datar dan tak cukup kapasitas untuk di-scalling-up.
Kalau sudah masuk perangkap seperti ini, maka mau dibunuh sayang, tapi kalau nggak dibunuh kok tak kunjung menggeliat. Startup tersebut stagnan dan terus menjadi liliput.
“Too Much Strategy Will Kill You”
Kegagalan startup biasanya terjadi karena strategi dan perencanaannya terlalu canggih. (Ingat: “too much strategy will kill you”). Produk dibangun dan diluncurkan melalui perencanaan yang solid, sistematis, dan rigid menggunakan konsep-konsep bisnis dari pakar-pakar kelas dunia. Rasanya paling benar dan over-confidence kalau kita sudah menggunakan konsep-konsep dari pakar kelas dunia.
Si entrepreneur menggunakan pendekatan scientific management yang ndakik-ndakik sehingga terlalu fokus ke teori dan tips para pakar dan silau dengan dinamika riil yang terjadi di pasar. Yang dipentingkan si entrepreneur adalah “compliance” kepada teori dari pakar, bukannya mencermati detail-detail perkembangan aktual di pasar.
Kesalahan terbesar dari pendekatan semacam ini adalah, selama penyusunan strategi si entrepreneur tak “menceburkan” produk ke pasar. Feedback pasar dan perilaku konsumen diperoleh melalui riset pasar (FGD atau kuesioner) yang fake. Saya sebut fake karena tak mencerminkan apa yang sesungguhnya terjadi di pasar.
Akibatnya, begitu produk meluncur ke pasar, seluruh skenario yang dituangkan dalam strategi yang ndakik-ndakik itu gagal total. Apa yang ditulis di kertas dan whiteboard ternyata tak sama indahnya dengan yang ada di pasar. Produk pun flop di pasar.
“Just Do It”
Sebab kegagalan yang kedua adalah kondisi sebaliknya. Kalau di kasus yang pertama si entrepreneur menggunakan strategi yang ndakik-ndakik, maka di sini ia sama sekali tak menggunakan strategi alias menggunkan “jurus mabuk”. Kalau Nike bilang: “just do it” strategy.
Argumentasinya, di tengah situasi bisnis yang serba disruptive, volatile, unpredictable, dan chaotic saat ini strategi dan perencanaan bukanlah solusi. Untuk menghadapi situasi extreme uncertainty tersebut yang penting adalah nyebur dulu di pasar, gunakan insting setajam mungkin, kobarkan motivasi, terjang tiap masalah yang muncul, dan jangan lupa banyak berdoa. Mantranya: kalau sukses alhamndulillah; kalau gagal ya memang lagi apes.
Seperti halnya pendekatan pertama, pendekatan kedua inipun doesn’t work! Jaman dulu bikin warung Padang, kita menggunakan jurus mabuk semacam ini masih ampuh. Namun kini, di jaman semua serba digital, jurus mabuk justru membikin startup makin nyungsep.
Lean
Lalu solusinya gimana? Di tengah gonjang-ganjing disruption saat ini, strategi dan perencanaan tentu justru makin penting dan relevan. Namun strategi yang kita terapkan haruslah agile dan superfast, bukannya rigid-mekanistik-prosedural. Eric Ries, strategist Silicon Valley, menyebutnya dengan pendekatan: Lean.
Pendekatan ini menekankan pentingnya “nyebur dulu di pasar” tapi bukan “asal nyebur”, nyeburnya harus terukur. Caranya dengan meluncurkan secepat mungkin prototip produk (sering disebut MVP: most viable product) ke pasar untuk secepat mungkin tahu feedback konsumen.
Saat diluncurkan, MVP tak perlu sempurna betul. Kalau saat diluncurkan produk tidak sempurna atau mengalami kegagalan, maka harus cepat diketahui dan cepat diperbaiki. Bagaimana caranya kita tahu tak sempurna atau gagal? Caranya dengan langsung dilempar di pasar sehingga feedback konsumen yang diperoleh betul-betul riil, bukan fake. Inilah sesungguhnya cara “riset pasar” yang paling ampuh dan efektif. Jadi prinsip yang dipakai adalah: “fail fast, learn fast”.
Kuncinya di sini adalah eksperimen secara iteratif dan terus-menerus untuk mendapatkan produk yang betul-betul dimaui oleh konsumen. Kalau dalam kasus startup digital, istilah umumnya adalah: beta version. Jadi prinsipnya luncurkan beta version secepat mungkin (tak usah menunggu produk sempurna), dan lakukan perbaikan secara terus-menerus.
Tugas startup di sini adalah memutar siklus “Build-Measure-Learn” secepat mungkin. Maksudnya, ide produk harus cepat diwujudkan menjadi prototip (Build), kemudian dilempar ke pasar untuk mendapatkan feedback konsumen dan diukur (Measure), dan kemudian feedback itu menjadi masukan untuk perbaikan produk secara terus-menerus (Learn).
Kecepatan dalam memutar siklus “Build-Measure-Learn” inilah yang menjadi faktor kunci kesuksesan startup. Ini pula yang menentukan agility sebuah startup.
Sumber foto: Freepik.com
1 comment
[…] sumber […]