Beberapa hari lalu (20/9) Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melaporkan akun Awkarin (Karin Novilda) dan Anya Geraldine dan beberapa akun lain di media sosial kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Pasalnya akun-akun tersebut dinilai meresahkan banyak orang tua karena gambaran gaya hidup yang di-posting di akun Instagram mereka dikhawatirkan bisa menjadi contoh tak baik bagi remaja seusianya.
Dua remaja putri tersebut memicu viral di media sosial karena postingan foto-foto mereka yang seksi dan berani. Beberapa postingan mereka juga memaparkan pola berpacaran yang tidak sehat dan gaya hidup yang hedonik yang membuat banyak orang tua khawatir. Dua remaja putri tersebut kini menjadi selebgram dengan followers mencapai jutaan orang. Dan celakanya, apa yang telah mereka lakukan itu bisa jadi menjadi semacam âsuccess storyâ sosok netizen yang mendapatkan kepopuleran di media sosial dalam waktu super singkat.
Fully Digital Native
Cerita Awkarin-Anya adalah contoh sisi kelam dari generasi baru yang bakal kita songsong yaitu Generasi Z (sering disebut Gen Z). Generasi ini lahir setelah pertengahan tahun 1990-an dan merupakan generasi yang sejak kecil sudah sepenuhnya menggunakan internet. Istilah kerennya, fully digital native. âGeneration Z has never lived in the world without the internet and on average they use five screens a day,â ungkap sebuah riset. Tak heran jika sebagian besar waktu mereka dihabiskan secara online ketimbang berinteraksi dengan sesama teman secara fisik.
Untuk pertama kali dalam sejarah, inilah generasi dimana orang tua tidak punya kendali penuh terhadap anak-anak mereka. Ya karena sejak usia dini (12, 11, bahkan di bawah 10 tahun) mereka sudah diberi smartphone oleh orang tua, dan melalui smartphone tersebut mereka bisa begitu bebas berselancar di internet untuk mendapatkan informasi, mencari teman, dan menemukan apapun yang diinginkannya.
Begitu si anak masuk ke jagad internet, maka lepaslah kendali si orang tua terhadap anak. Tak heran jika kekhawatiran terbesar orang tua Gen Z adalah ketika anak mereka menyendiri di kamar dan memainkan smartphone mereka. Karena di situlah berbagai kemungkinan mereka berinteraksi dengan âevil of the worldâ di jagat internet (mulai dari gaya hidup Hollywood, online bullying, gambar-gambar porno, hingga predator pedofili) bisa terjadi.
Ketika orang tua tak punya kendali sepenuhnya, maka pengasuhan anak (parenting) akan diambil alih oleh âorang tua lainâ yaitu Google, Facebook, Instagram, blog, dan jutaan situs di jagat internet. âIn the digital age, internet becomes their co-parent.â
Internet as a Co-Parent
Kok bisa internet menjadi orang tua lain? Bisa. Tentu kita sepakat, tugas terbesar orang tua adalah menanamkan nilai-nilai, sikap, perilaku, dan karakter mulia kepada anak. Dengan bekal karakter mulia itu si anak akan bisa selamat dan sukses menjalani hidup bahkan ketika si orang tua tak ada lagi. Nah, tugas krusial ini pun bisa dimainkan dengan sangat efektif oleh internet, apalagi kalau sebagian besar waktu Gen Z dihabiskan di internet.
Pergaulan mereka dengan teman-teman di Facebook atau Instagram, interaksi mereka dengan sang idola di bagian lain dunia (Justin Bieber, Rihana, Miley Cyrus, dsb.), atau segudang informasi gaya hidup Barat yang mereka dapatkan di internet, semuanya bisa membentuk nilai-nilai, sikap, dan perilaku mereka. Bagi mereka internet menjadi medium yang sangat kaya untuk bereksplorasi, bereksperimen, dan berpetualang dalam rangka menemukan jati diri mereka.
Dalam kasus Anya di atas misalnya, salah satu konten menghebohkan yang ia posting di Instagram adalah video saat ia liburan dengan sang pacar dengan pola pacaran yang tak beda jauh dengan gaya pacaran selebriti-selebriti top Hollywood. Melihat kemiripannya, bisa jadi ide video itu diinspirasi oleh acara reality show semacam Keeping Up with the Kardasians (Kim Kardasian) atau Simple Life (Paris Hilton) di Hollywood. Begitu mudahnya gaya hidup tak patut di dalam acara reality show itu dikopi dan dijadikan role model.
Ingat, salah satu karakteristik utama Gen Z adalah bahwa mereka adalah self-learner yang sangat mumpuni. Dengan cepat mereka meniru dan menginternalisasi apapun yang mereka dapatkan di internet hingga kemudian membentuk nilai-nilai dari perilaku mereka.
Big Disconnection
Dalam bukunya, The Big Disconnect: Protecting Childhood and Family Relationship in the Digital Age (2013), Catherine Steiner-Adair mewanti-wanti terjadinya âtragedi keluargaâ terbesar abad ini, yaitu apa yang ia sebut âbig disconnectionâ. Tragedi ini sudah riil kita temukan di ruang-ruang keluarga kita. Coba saja lihat suasana di ruang makan atau ruang tamu di banyak keluarga kita. Pada hari Sabtu atau Minggu di situ berkumpul seluruh anggota keluarga; ayah, ibu, dan dua anak. Sekilas suasananya begitu akrab mencerminkan sebuah keluarga yang harmonis dan ideal.
Namun kalau kita telisik lebih dalam, baru kita temukan ketidakberesan di situ. Ya, karena masing-masing bapak, ibu, dan anak itu memegang smartphone dan mereka sibuk dengan smartphone masing-masing. Mereka asyik dengan âscreen timeâ mereka masing-masing dan tak peduli satu sama lain. Tak jarang mereka senyum-senyum sendiri sambil mata tak bisa lepas dari screen. Inilah potret dari keluarga-keluarga kita. Sebuah potret yang kelam.
Mereka highly-connected dengan jagat internet, tapi celakanya highly-disconnected dengan sesama anggota keluarga. Inilah yang oleh Steiner-Adair disebut big disconnection, tragedi keluarga terbesar sepanjang sejarah umat manusia. Dan barangkali disconnection inilah yang memunculkan fenomena seperti kasus Awkarin-Anya di atas.
Sadarkah kita bahwa tragedi dan bencana besar big disconnection itu sudah terjadi? Kasus Awkarin-Anya harusnya menjadi wake-up call bagi kita setiap orang tua. Ia harus menjadi peringatan mengenai bencana lebih besar yang bakal terjadi di jaman digital ini. Setiap orang tua harus lebih kritis dalam menyikapi screen time dan aktivitas online putra-putrinya.
Saya adalah juga orang tua dari dua anak 10 dan 11 tahun. Terus terang kini saya takut, kasus ini hanyalah puncak kecil dari gunung es raksasa di laut kutub utara. Barangkali kasus yang sama dalam skala yang ribuan kali lebih besar bakal kita hadapi tiga tahun, lima tahun, atau sepuluh tahun ke depan.
Sumber foto: Getty Image
13 comments
Trims pak ..
informasi penting sekali
Ketakutan itu melanda semua orangtua…
Semoga kita semua bisa memberi pijakan-pijakan terbaik utk anak2 kita agar mereka bisa memilah2 segala sesuatu dgn bijak…
Janhan sampai peran kita sebagai orangtua digantikan oleh internet… cukuplah internet sebagai pendukung, bukan pengganti đ
Wake up call bagi setiap ortu
Ya, saya sependapat dengan artikel ini pak Yus. Saya pun memiliki keprihatinan yg sama. Anak saya yang masih SD sdh menanyakan kapan dibelikan smartphone dan mulai bertanya-tanya tentang youtube.
Semoga kita sbg orang tua dapat memberikan bekal anak-anak kita dengan pijakan yang benar dan sebaik-baiknya, sehingga mereka tumbuh menjadi individu yang berhati nurani tinggi, iman yg kuat pada Tuhan YME, peka pada kata hati mereka dan bijaksana dalam memilih langkah hidup mereka. Amin
Amiiin
Sangat setuju dengan artikel diatas… anak saya yang baru umur 4 tahun Sudah bisa mengoprasikan google play dan yau tub. Dan kini saya sebagai ibu sangat khawatir. Terima kasih artikelnya.
mari per erat group HEbAT, dg share teknik parenting yang dimaitain dengan sangat baik, konsisten dan terintegrasi, semoga ALLOH melindungi generasi ini melalui para ayah ibu yg amanah, tidak egois dan mengarahkan putra putrinya menjadi generasi terbaik di masa depan. aamiin ya rabbal alamin.
Mariiiii
Terima kasih sharingnya.. sangat bermanfaat..
[…] Dalam bukunya, The Big Disconnect: Protecting Childhood and Family Relationship in the Digital Age (2013), Catherine Steiner-Adair mewanti-wanti terjadinya âtragedi keluargaâ terbesar abad ini, yaitu apa yang ia sebut âbig disconnectionâ. Tragedi ini sudah riil kita temukan di ruang-ruang keluarga kita. Coba saja lihat suasana di ruang makan atau ruang tamu di banyak keluarga kita. Pada hari Sabtu atau Minggu di situ berkumpul seluruh anggota keluarga; ayah, ibu, dan dua anak. Sekilas suasananya begitu akrab mencerminkan sebuah keluarga yang harmonis dan ideal. Namun kalau kita telisik lebih dalam, baru kita temukan ketidakberesan di situ. Ya, karena masing-masing bapak, ibu, dan anak itu memegang smartphone dan mereka sibuk dengan smartphone masing-masing. Mereka asyik dengan âscreen timeâ mereka masing-masing dan tak peduli satu sama lain. Tak jarang mereka senyum-senyum sendiri sambil mata tak bisa lepas dari screen. Inilah potret dari keluarga-keluarga kita. Sebuah potret yang kelam. Mereka highly-connected dengan jagat internet, tapi celakanya highly-disconnected dengan sesama anggota keluarga. Inilah yang oleh Steiner-Adair disebut big disconnection, tragedi keluarga terbesar sepanjang sejarah umat manusia. Dan barangkali disconnection inilah yang memunculkan fenomena seperti kasus Awkarin-Anya di atas. Sadarkah kita bahwa tragedi dan bencana besar big disconnection itu sudah terjadi? Kasus Awkarin-Anya harusnya menjadi wake-up call bagi kita setiap orang tua. Ia harus menjadi peringatan mengenai bencana lebih besar yang bakal terjadi di jaman digital ini. Setiap orang tua harus lebih kritis dalam menyikapi screen time dan aktivitas online putra-putrinya. Saya (penulis blog) adalah juga orang tua dari dua anak 10 dan 11 tahun. Terus terang kini saya takut, kasus ini hanyalah puncak kecil dari gunung es raksasa di laut kutub utara. Barangkali kasus yang sama dalam skala yang ribuan kali lebih besar bakal kita hadapi tiga tahun, lima tahun, atau sepuluh tahun ke depan. http://www.yuswohady.com/2016/09/24/the-dark-side-of-gen-z/ […]
Hal ini hanya bisa dibendung melalui Pendidikan Ahlaq Agama , membangun komunikasi yg ‘hangat’ di keluarga, memberi contoh nyata dlm kehidupan sehari-hari, dan selalu monitor pergaulan anak.
Parent must present
Tulisan Mas Siwo ini sangat sesuai dgn realita anak remaja zaman digital sekarang. Membuat para orang tua khawatir level tinggi, namun tentunya jg menjadi tantangan yang bernilai dinamis bagi siapa pun.
Share yg sangat baik sekali dan penting untuk diketahui banyak orang tua saat ini. Hatur nuhun
Pengetahuan dan pengalaman orang tua mmg harus di tuntut dlm masalah anak, kalau anak terlalu cepat di beri pengetahuan dan blm di ajari aqidah ahlaq maka efek yg jelas adalah LAYU SEBELUM BERKEMBANG. Intinya jangan terlalu cepat memberi kebebasan kpd anak sebelum kita yakin kalau sianak sudah bisa membedakan mana yg baik dan mana yg buruk
[…] Sumber : Yuswohady […]
Luar biasa artikelnya pak yuswo. Tantangan hebat buat guru,orgtua, keluarga,bagaimana menghadapi era digital dgn tetap terkendali