Seminggu ini jagat online dihebohkan oleh viral sosok dan cerita humor Mukidi. Berawal dari blog, lalu Facebook, menemukan critical mass di grup-grup WA, dan akhirnya “boom!!!” mencapai mass audience di media mainstream seperti koran-koran, TV, dan tentu situs berita online. Seperti halnya fenomena viral yang sudah-sudah (Gangnam Style, Mastin, dan terakhir Pokemon Go), dalam ukuran jam jutaan audiens tersedot perhatiannya.
Kehebohan viral Mukidi bisa dijelaskan dengan tiga elemen kunci pencipta word of mouth (WOM) yaitu: Story, Content, Media.
Story: The Power of (Down-to-Earth) Persona
Kenapa Mukidi demikian ampuh menjangkau seluruh lapisan netizen mulai dari presiden, wakil rakyat, pengusaha, pegawai kantoran, mahasiswa, ibu rumah tangga, tukang parkir, hingga tukang becak? Karena sosok fiktif Mukidi adalah potret dari kebanyakan kita. Ia adalah potret wong cilik dan siapapun yang pernah merasa menjadi wong cilik.
Mukidi adalah sosok biasa dengan keluguannya, kekonyolannya, keusilannya, ke-ndeso-annya, kebebalannya, keterlaluannya, yang sesekali bloon, tapi tiba-tiba bisa begitu cerdas sekali. Tak ada yang dibuat-buat dari sosok ini. Ia sosok yang apa adanya, natural, otentik, orisinil. Salah satu faktor kunci kesuksesan viral Mukidi adalah keotentikan tokoh ini.
Kita sudah capek dengan sosok-sosok hebat macam Jokowi, Habibie, Ridwan Kamil, Nelson Mandela, Steve Jobs, atau Mark Zuckerberg. Kenapa capek? Ya, karena kita hanya bisa mengagumi dan menyanjung mereka, tak lebih dari itu. Kita hanya bisa berangan-angan untuk menjadi seperti mereka tanpa pernah bisa mewujudkannya.
Itu berbeda dengan sosok Mukidi. Tanpa upaya keras dan memaksakan diri kita sudah bisa menjadi Mukidi. Ya, karena Mukidi adalah kita. Ia hadir di setiap hati dari kebanyakan kita. Tanpa sadar kita merindukan sosok “biasa-biasa saja” macam Mukidi. Mukidi jauh dari sosok sempurna. Karena itu kita bisa semena-mena memperoloknya, mem-bully-nya dan menertawakannya, persis seperti ketika kita menertawakan diri sendiri.
Saya kira banyak dari kita iri pada sosok Mukidi karena ia begitu konfiden untuk tetap menjadi dirinya sendiri walaupun dia lugu, ndeso, bloon sekaligus cerdas, nyebelin, njengkelin, banyak apes-nya, dan sarat dengan beribu kekurangan. Di tengah ketidaksempurnaannya, Mukidi tetap bersahaja, tak sudi memakai topeng dan tak merasa perlu menjadi orang lain.
Kita iri pada Mukidi, karena dengan alasan gengsi, ego, dan harga diri, seringkali kita tak mampu menjadi diri kita sendiri.
Mukidi adalah sosok yang down-to-earth. Itulah sebabnya ia bisa mencuri perhatian jutaan manusia dari semua lapisan masyarakat dalam ukuran jam bahkan menit.
Content: Humor Is (Always) Viralable
Di samping kehadiran sosok down-to-earth dan orisinil, viral Mukidi juga terwujud karena konten humor khas Indonesia yang menyegarkan urat-urat saraf. Siapa yang nggak suka humor? Siapapun kita pasti menyukai humor. Meme begitu merajalela di jagat online Indonesia karena adanya humor. Praktis 99% konten meme di Indonesia berisi konten humor.
Persoalan seserius apapun (Pilkada DKI, Jokowi salah pilih menteri, atau heboh vaksin palsu) menjadi begitu renyah, konyol, dan lucu minta ampun di tangan para meme creator. Humor is the most viralable content. Karena itu jika Anda ingin pesan-pesan Anda mencapai viral, bumbuilah pesan-pesan tersebut dengan humor.
Humor Mukidi tak sekedar humor biasa, tapi humor yang relevan. Humor yang khas Indonesia. Kenapa lawakan Srimulat demikian ampuh dan melegenda, karena format lawakannya relevan dan khas Indonesia dengan mengombinasikan dagelan Mataraman dan ludruk Suroboyoan.
Seperti halnya guyonan Srimulat, cerita humor Mukidi mengambil tema dan tokoh yang berpusar pada keseharian kita. Guyonan wong cilik. Style-nya bisa Suroboyoan, Meduroan, Banyumasan, dagelan Mataraman, atau bahkan guyonan khas Gus Dur.
Media: Grup WA, Penggoreng Viral
Di samping Story dan Content, viral Mukidi juga dipicu oleh media penggoreng viral luar biasa bernama: grup Whatsapp (WA). Cerita humor Mukidi sudah hadir sejak tahun 2012 di blog: ceritamukidi.worpress.com dan di akun Facebook milik Soetantyo Moechlas. Namun selama 4 tahun cerita-cerita itu tak kunjung memviral, sampai beberapa hari lalu ketika entah dari mana asalnya cerita-cerita lucu itu masuk ke grup WA. Melalui medium grup WA cerita Mukidi memviral begitu hebat.
Artinya, di medium grup WA lah, critical mass viral Mukidi terbentuk. Perlu diingat, dalam setiap fenomena viral, faktor paling kunci adalah pembentukan critical mass ini. Celakanya, hingga saat ini tak ada satupun teori yang bisa menerangkan bagaimana critical mass ini terbentuk. Penyebabnya adalah adanya momentum yang mempertemukan beberapa faktor yang tak kuasa kita atur dan kendalikan. Tak heran jika Pak Soesantyo sendiri tak paham, bagaimana cerita-cerita lucunya menjadi viral. Semakin critical mass ini diatur dan direncanakan, umumnya viral yang terbentuk menjadi tak seheboh yang diharapkan.
Blog umumnya memiliki audiens yang terbatas dan terbuka, artinya siapapun bisa mengunjunginya dan berkomentar. Facebook, Twitter, atau Instagram memiliki massa audiens yang jauh lebih besar, tapi sekali lagi sifatnya terbuka, sehingga hubungan, kedekatan, dan connection di antara audiens ini kurang intens. Singkatnya, hubungan audiens di dalam keempat platform komunitas terbuka (open community) ini lebih cair.
Hal ini berbeda dengan komunitas tertutup (closed community) seperti grup WA. Grup WA berisi anggota yang lebih sedikit tetapi memiliki intensitas hubungan yang sangat dekat dan kuat. Apalagi anggota di dalam grup-grup WA ini umumnya memiliki common interest yang kuat dan dipupuk setiap saat melalui chit-chat di antara mereka sehari-hari.
Intensitas hubungan yang kuat di dalam grup WA inilah yang memungkinkan sebuah konten seperti cerita lucu Mukidi bisa demikian intens diperbincangkan dan dibahas. Dan ketika cukup menghebohkan, maka konten tersebut begitu mudah di-forward dari satu grup WA ke grup WA lainnya. Kalau ini terjadi, maka tak terhidarkan lagi critical mass akan terwujud. Begitu critical mass terbentuk maka media mainstream buru-buru memberitakannya, dan boom, ledakan dahsyat viral pun akan terjadi.
Dengan kejadian viral Mukidi, saya semakin meyakini bahwa grup WA merupakan medium inkubator viral yang paling ampuh dari medium online apapun.
Sumber foto ilustrasi: browniesngakak @ pojoksatu.id
2 comments
om siwo… thx u banget,
ini melengkapi artikel2 sy ttg fenomena wa group.
terimakasih om siwo..
Tren komunikasi sekarang memang ke WA. Apa2 komunikasinya via WA dan grup WA. Hehe