Bukber alias buka bersama kini menjadi begitu istimewa, begitu cool, begitu fun, dan begitu penuh warna. Di mal-mal, di kantor-kantor, di restoran-restoran, bukber menjadi acara selebrasi yang paling menghebohkan selama bulan puasa ini.
Di bulan suci, acara dan accassion apapun kalau bisa dijadikan bukber. Kumpul-kumpul seluruh kerabat keluarga dijadikan bukber. Reuni SMA dijadikan bukber. Kumpul teman-teman kantor dijadikan bukber. Kopdar komunitas dijadikan bukber. Acara bedah buku dijadikan bukber. Press conference sebuah event dijadikan bukber. Seminar dan workshop dijadikan bukber. Launching produk dijadikan bukber. Pokoknya apapun.
Tak heran jika sedari pukul 3 sore jalanan di Jakarta sudah pada macet. Mobil-mobil menyemut menuju ke mal-mal atau restoran-restoran di pusat kota karena si empunya bergegas hendak berbukber-ria. Begitu adzan magrib berkumandang, gantian jalanan menjadi sepi karena mereka sudah berjubel di mal-mal dan restoran-restoran siap “merayakan” bukber.
Koneksi Sosial
Itulah fenomena kaum muslim kekinian. Bukber yang dulu pada masa kecil saya penuh diwarnai kekhitmatan, kesederhanaan, dan kesahajaan, kini telah tersulap menjadi sebuah momen selebrasi dan sosialisasi yang penuh gebyar.
Coba saja datang ke mal-mal di Jakarta saat waktu buka tiba, kita akan mendapati begitu banyak kerumunan orang makan bersama, bercerita-cerita, tertawa-tertawa, tak ketinggalan ber-selfie dan ber-wefie ria. Seru luar biasa, tak beda dengan pesta ulang tahun atau pesta naik jabatan.
Di kalangan kaum muslim urban, bukber menjadi ajang untuk berkoneksi sosial dengan kerabat, teman sejawat, partner bisnis, hingga teman lama satu SMA. Tidak buruk juga, karena bukber bisa menjadi media silaturahmi dan “perekat sosial” yang meneduhkan. Bukber bisa menjadi “alasan” untuk menyambungkan lagi tali silaturahmi yang putus atau tak baik selama setahun sebelumnya.
Yang menarik, bukber bisa diterjemahkan ke dalam konteks kekinian sehingga menjadi lebih modern, lebih hidup, dan bisa menjadi bagian dari gaya hidup urban saat ini. Dengan begitu gaya hidup muslim akan terus relevan dan tak bakal ketinggalan jaman. Inilah barangkali uniknya Islam Indonesia yang inklusif, modern-universal, dan adaptif.
Balas Dendam
Berbicara bukber saya jadi ingat pernyataan Menteri Pertanian Amran Sulaiman minggu lalu. Pasalnya sang menteri terheran-heran kenapa harga pangan selalu melonjak di bulan puasa-lebaran. Di bulan Ramadhan, di kala konsumsi seharusnya turun, kenyataannya justru melonjak gila-gilaan. Harga komoditas pangan di pasar meningkat tajam seiring dengan meningkatnya konsumsi masyarakat.
“Padahal kita puasa kan, pagi sampai sore menahan makan-minum, kemudian nafsu semua ditahan. Tapi ini nafsu membelinya meningkat, kok ada anomali,” ujar pak menteri. Menurut menteri konsumsi selama bulan puasa bisa mencapai dua kali lipat lebih besar dari bulan-bulan biasa.
Mendengar pernyataan tersebut saya jadi berpikir, “Jangan-jangan fenomena bukber gaya baru di atas merupakan biang keheranan pak menteri?” Bisa jadi massifnya acara bukber di mal-mal atau restoran-restoran menjadi pengungkit membengkaknya konsumsi kaum muslim kita.
Aneh memang, dari pagi hingga magrib kita puasa, tidak makan dan minum. Itu artinya kesempatan waktu konsumsi kita menjadi lebih sedikit, yaitu dari setelah magrib hingga malam dan waktu sahur. Nah, kalau benar pernyataan pak menteri bahwa konsumsi di bulan puasa naik hingga dua kali lipat, itu berarti konsumsi berlebih kita lakukan terpusat di saat-saat bukber.
Sambil terheran-heran seperti halnya pak menteri, saya pun kemudian bergumam: “Bisa jadi kini bukber telah menjadi alat balas dendam kita?
Seharian berpuasa kita berlapar-ria, begitu saat bukber tiba kita lampiaskan balas dendam kita dengan makan sebanyak-banyaknya, seenak-enaknya, dan semahal-mahalnya. Upsss!!!