Untuk ketiga kalinya, 24 Agustus 2016 nanti kantor saya Inventure bersama Koran Sindo akan menggelar Indonesia Brand Forum (IBF) 2016. Event tahunan ini diselenggarakan untuk membangkitkan kesadaran membangun brand Indonesia untuk menjadi tuan rumah di negeri sendiri bahkan menjadi champion di pasar global. Pas sekaligus untuk menyambut HUT RI ke-71.
Tahun ini kami mengambil tema yang agak berbeda yaitu “Branding Family Business for the Nation”. Kenapa kami ambil tema ini, karena rupanya lebih dari 95% brand lokal Indonesia adalah brand perusahaan keluarga. Sehingga, membangun brand Indonesia tak bisa dilepaskan dari membangun corporate brand perusahaan keluarga. IBF 2016 menampilkan 15 pembicara pemimpin perusahaan keluarga (owner, CEO, director) plus penampilan “BNI’s 7 Entrepreneur Heroes” yaitu tujuh wirausahawan binaan BNI yang sukses menembus pasar global. Ya, karena tahun ini IBF didukung penuh oleh Bank BNI.
Untuk merumuskan konten IBF 2016, sejak tengah tahun lalu saya dan tim melakukan riset mengenai dinamika perusahaan keluarga di Indonesia, khusunya tantangan pemimpin generasi kedua dalam mengelola perusahaan keluarga. Hasil riset ini akan dihimpun dalam sebuah buku berjudul The Second Generation Challenges: Bagaimana Pemimpin Generasi Kedua Perusahaan Keluarga Mencapai Sukses Berkesinambungan yang akan diluncurkan di IBF 2016 nanti. Berikut ini temuan-temuan menarik dari buku tersebut.
Succession Challenges
Sekitar 30% bisnis keluarga sukses diturunkan ke generasi kedua. Sekitar 10-15% sukses diturunkan dari generasi kedua ke generasi ketiga. Dan hanya sekitar 3-5% sukses diturunkan dari generasi ketiga ke generasi keempat. Ini tentu saja bukan sebuah capaian yang menggembirakan.
Banyak faktor menjadi penyebab kecilnya kesuksesan perusahaan keluarga diturunkan dari generasi ke generasi, salah satu yang terpenting adalah masalah kepemimpinan (leadership). Kasus yang umum terjadi adalah pemimpin generasi pertama sebagai founder tak mau “move on”, alias lengser ketika sudah waktunya generasi kedua mengambil alih estafet kepemimpinan.
Konflik dan persaingan antara pemimpin generasi pertama dan kedua juga menjadi biang tak mulusnya proses transisi kepemimpinan. Sebagai pendiri, umumnya pemimpin generasi pertama merasa lebih memahami, lebih berhak, dan lebih berkuasa ketimbang generasi kedua. Sementara pemimpin generasi kedua tidak bisa menerima kenyataan tersebut. Ujung-ujungnya berselisih dan saling bersaing.
Sementara di kasus yang lain, memang banyak pemimpin generasi kedua yang tidak cukup memiliki skill kepemimpinan sehingga persoalan-persoalan bisnis yang datang bertubi-tubi tidak mampu disolusikan dengan baik.
Beban Turunan
Barangkali kebanyakan kita mengira menjadi “pangeran” atau “putri” dalam sebuah perusahaan keluarga adalah sebuah previlege yang enak. Namun tidak demikian bagi “si pangeran” atau “si putri” sendiri. Seringkali terjadi, previlege itu justru merupakan beban berat yang by default harus dipanggulnya. Beban ini akan makin berat jika perusahaan menjadi semakin meraksasa dengan karyawan ribuan orang dan pemimpin generasi pertama menjadi ikon kharismatik dan memiliki nama besar.
Menghadapi beban kepemimpinan ini Wulan Tilaar, Vice Chairwoman Martha Tilaar Group (MTG) pnya resep jitu. Seiring berjalannya waktu ia pun kian bijak. “Kuncinya legowo, berdamai dengan diri kita, dan niatan baik dan tulus untuk selalu berkontribusi kepada keluarga,” ujarnya.
Beban berat yang harus diemban, awal-awalnya justru menjadinya tak maksimal berkarya. Namun setelah berdamai dengan diri sendiri dan bekerja tanpa beban, Wulan justru merasa lebih enteng melangkah dan kinerja yang dihasilkan jauh lebih baik.
Membangun Kredibilitas
Membangun kredibilitas sebagai pemimpin adalah tantangan pertama dan terberat bagi seorang pemimpin dari generasi kedua. Tantangan ini begitu berat karena umumnya perusahaan keluarga dirintis oleh pemimpin generasi pertama yang karismatik dan ikonik. Dalam kondisi demikian, pemimpin generasi kedua sulit melepaskan diri dari bayang-bayang dan kebesaran pemimpin generasi pertama.
Ario Rachmat, Direktur Triputra Group misalnya, harus merintis kredibilitas kepemimpinannya dari bawah di tengah reputasi kepemimpinan sang ayah, TP Rachmat, yang begitu karismatik, baik pada saat membesarkan Astra maupun ketika merintis Triputra.
Kredibilitas ini bisa diperoleh karena kejujuran dari si pemimpin; karena visi yang menginspirasi; atau karena kompetensi unggul yang dimiliki si pemimpin. Namun di atas itu semua, kredibilitas sesungguhnya seorang pemimpin didapat ketika ia mampu membawa kapal besar perusahaan mencapai tujuan dan visi organisasi, ketika ia mampu membuktikan kemampuannya mencapai kinerja perusahaan yang unggul.
Pembuktian
Bagaimana para pemimpun muda dari generasi kedua membangun kredibilitasnya? Banyak ragam cara mereka lakukan. Ada yang melakukan inisiatif besar, sukses, dan kesuksesan itu menjadi pembuktian kemampuan kepemimpinannya. Dengan bukti tersebut kredibilitas tercipta, dan dengan sendirinya kepercayaan dan respect muncul dari anak buah dan seluruh karyawan.
Irawati Setiady, Presiden Direktur Kalbe misalnya, membuktikan kredibilitas kepemimpinannya dimulai dari bawah dengan bekerja di divisi R&D anak perusahaan Kalbe. Perjalanan Ira mendaki pucuk pimpinan Kalbe dilalui cukup panjang dan berliku layaknya karyawan profesional pada umumnya. Dia sudah pernah ditempatkan di berbagai bidang mulai dari pengembangan produk, produksi, pemasaran, hingga pengembangan organisasi.
Dengan rekam jejak perjalanan karir yang demikian panjang tersebut, Ira tak sulit mendapatkan kredibilitas kepemimpinannya saat ia mengemban tugas di pucuk pimpinan. Lebih jauh lagi, Ira melakukan lompatan besar dengan mereposisi Kalbe dari dari produsen obat dan makanan menjadi solusi hidup sehat dengan meluncurkan produk-produk inovatif seperti Fitbar, Nutrive Benecol, dan Entrasol Quick Start yang lekat dengan gaya hidup sehat.
Pemimpin Transformatif
Salah satu ciri umum kepemimpinan generasi kedua adalah kepemimpinan transformatif (transformational leadership) yang mengubah perusahaan dari format tradisional-entrepreneurial menjadi perusahaan modern-profesional.
Tipikal perusahaan keluarga generasi pertama adalah bersifat entrepreneurial dimana konsep-konsep manajemen modern belum banyak diterapkan. Sistem-sistem di dalam organisasi (operasi, SDM, keuangan, teknologi informasi, dan sebagainya) juga belum banyak dikembangkan.
Perusahaan seperti ini biasanya mengandalkan business wisdom dan intuisi dari pemimpin generasi pertama yang sekaligus sebagai pendiri. Dalam banyak kasus perusahaan dijalankan secara one-man show, dimana seluruh keputusan terkonsentrasi pada si founding leader.
Begitu pemimpin generasi kedua hadir, pola kepemimpinannya mulai berubah. Pemimpin generasi kedua umumnya sudah mengenyam pendidikan bisnis di Amerika atau Eropa dan mereka sudah memahami konsep-konsep bisnis modern. Nah, di sinilah pemimpin generasi kedua mulai mencangkokkan konsep dan sistem manajemen modern ke dalam organisasi. Dan transformasi menuju organisasi profesional nan modern pun dimulai.
Sistem, Bukan Tokoh
Gaya kepemimpinan transformatif kental terlihat pada sosok Michael Wanandi, Presiden Direktur Combiphar. Setelah menduduki posisi puncak di Combiphar, Michael merintis sebuah transformasi besar di tubuh organisasi dengan visi Combiphar 2020 dan mengeksekusinya.
Melalui visi tersebut Michael ingin membawa Combiphar untuk fokus dari bisnis obat generik ke consumer health dengan membudayakan hidup sehat dan mencegah sakit, bukan mengobati sakit. Perubahan fokus ini mengubah secara mendasar arah bisnis Combiphar. Tak hanya itu, Michael juga memperkenalkan budaya baru ala generasi kedua yang lebih egaliter, terbuka, dan bernuansa kemitraan.
Pemimpin transformatif juga pekat terlihat pada sosok Shinta Kamdani, Presiden Direktur Sintesa Group. Saat mengambil alih estafet kepemimpinan, Shinta mulai merintis transformasi besar-besaran dengan menajamkan fokus bisnis yang dimasuki, membenahi struktur organisasi, menarik profesional untuk mengisi jajaran manajemen, membangun budaya perusahaan yang kokoh, dan segudang inisiatif lain.
New Leader, New Style
Pergantian estafet kepemimpinan dari generasi pertama ke generasi kedua biasanya juga diikuti dengan perubahan gaya kepemimpinan. Berbagai riset mengonfirmasi bahwa dari generasi pertama ke generasi berikutnya, gaya kepemimpinan cenderung berubah dari informal, subyektif, dan paternalistik menuju ke gaya kepemimpinan yang lebih formal, obyektif, dan profesional.
Maya Watono memiliki gaya kepemimpinan yang sangat berbeda dengan ayahnya. Adji Watono sang ayah, adalah tipe pemimpin yang sangat entrepreneurial; mengandalkan intuisi bisnis yang tajam; memiliki drive dan semangat yang menyala-nyala; memiliki kemampuan relationship ke klien yang luar biasa.
Sementara Maya cenderung lebih berpikir sistematis dan runut, selalu berorientasi strategis, lebih partisipatif dan egaliter; dan selalu mengandalkan kekuatan tim dalam melakukan pengambilan keputusan.
Namun di tengah perbedaan gaya tersebut, dua pemimpin dari dua generasi ini masih bisa saling menyinkronkannya. Kalau nggak sinkron, maka pasti akan terjadi dualisme kepemimpinan. Kalau hal ini sampai terjadi, bisa dipastikan perusahaan akan terseok-seok dalam mengarungi jalan transformasi. “Kalau sekarang bukan dualisme kepemimpinan, tapi kita memimpin bersama,” tegas Maya. Maya Watono menyebutnya dengan istilah “co-working”, yaitu kolaborasi kepemimpinan antara generasi pertama dan kedua.
Keroyokan
Mengenai kerja kolaborasi di dalam perusahaan keluarga, kasus yang terjadi di Grup Hotel Tugu membawa lessons-learned yang sangat berharga. Bisnis hotel dan restoran Grup Tugu Hotel tersebar di Jakarta, Malang, Blitar, Bali, hingga Lombok. Karena cakupan bisnis yang mulai membentang, tuga pengelolaan harus dibagi di antara pemimpin generasi pertama dan kedua. Di sinilah kepemimpinan keroyokkan berlangsung dengan efektif dan harmonis.
Pemimpin besar tentu dipegang si ayah yang mengorkestrasikan semua portofolio bisnis secara strategis. Annette Anhar si pecinta restoran memikirkan dan mengelola kelima restoran yang berpusat di Jakarta. Sementara si kakak Lucienne Kristy Anhar yang lulus dari École Hôtelière de Lausanne, Swiss, bertanggung jawab mengelola hotel. Sedangkan Wedya sang ibu, masih memelototi laporan keuangan agar kinerja unit-unit usaha tetap dalam jalur yang benar dan solid mencetak laba.
2 comments
[…] akan diluncurkan di Indonesia Brand Forum 2016 tanggal 19 Mei, yang tahun ini mengambil tema: “Branding Family Business.” Seperti tahun sebelumnya, motto IBF tetap sama yaitu: “Kebangkitan Nasional Kedua, Adalah […]
[…] Grand Hyatt, saya bersama Koran Sindo akan menggelar #IBF2016. Tahun ini #IBF2016 mengambil tema: Branding Family Business for the Nation masih dalam suasana nasionalisme menyambut HUT RI ke-71. #IBF2016 menampilkan 15 pembicara para […]