Inilah tragedi terbesar pendidikan. Ketika hakikat pendidikan dikerdilkan hanya sebatas sekerup bagi mesin besar kapitalisme. Ketika pendidikan dikooptasi oleh kepentingan sempit industrialisasi. Dan ketika pendidikan hanya sekedar menjadi alat untuk mencari makan, mengejar kekuasaan, menggapai ketenaran. Maka yang muncul kemudian adalah wajah pendidikan yang bopeng-bopeng dan muram. Pendidikan terampas esensi kemanusiawiannya. Pendidikan kehilangan keholistikannya. Pendidikan dirampok keagungannya.
Maka yang terjadi kemudian adalah, pendidikan mandeg terjebak dalam pragmatisme membabi-buta. Menyedihkan ketika kita melihat di akhir program, pendidikan terbonsai hanya sekedar menjadi sebuah bimbingan tes untuk menggapai sekolah-sekolah favorit di seantero negeri. Memilukan ketika pendidikan ujung-ujungnya dikebiri hanya untuk mencapai IPK, GRE, GMAT, atau TOEFL tinggi untuk tujuan menembus universitas-universitas terbaik di dunia. Mengenaskan ketika kita melihat pendidikan ujung-ujungnya bermuara pada tujuan mengisi lowongan buruh di pabrik-pabrik, dokter di rumah-rumah sakit, insinyur di proyek-proyek pembangunan, atau manajer di perusahaan-perusahaan.
Dalam pragmatisme ini pendidikan sekedar memproduksi “robot-robot” dan “zombie-zombie” yang beku akal, kreasi, dan nurani. Tak mengherankan jika dalam banyak kasus pendidikan jenis ini menghasilkan “produk” yang begitu memprihatinkan: Kalau menjadi karyawan mereka adalah sosok karyawan pembebek dan ABS (asal bapak senang); Kalau dokter mereka sosok distributor obat; Kalau pengusaha mereka sosok penyuap; Kalau politisi mereka sosok pencatut nama pejabat; kalau pejabat mereka sosok pengutil uang rakyat. Berkat pendekatan pendidikan keblinger ini pula Pemerintahan Jokowi direpotkan dengan kampanye “Revolusi Mental” di TV dan koran yang menguras duit miliaran.
Menilik pengalaman pribadi, terus-terang saya adalah “korban” dari pendekatan pendidikan kerdil ini. Selama 25 tahun menjalani pendidikan dari TK hingga kuliah, saya terpenjara oleh logika sistem pendidikan yang picik ini. Selama kurun waktu yang panjang itu saya menjadi anak manis-penurut (mendengarkan guru, menulis, menghapal, dites multiple choice, dan kemudian lulus) yang terbonsai potensi dan daya kreasinya. Karena itu saya punya istilah favorit untuk pendidikan macam ini: “pendidikan bonsai”. Sesuai namanya, sistem pendidikan ini membonsai imajinasi, kekritisan, dan keliaran daya cipta anak didik. Sistem ini membonsai olah rasa menuju kedewasaan dan kearifan.
Celakanya, saya baru sadar akan kekerdilan sistem ini di akhir-akhir masa kuliah. Karena tak tahan, saya kemudian memberontak, menjadi alien, lonely, dan akhirnya tersingkir dari sistem itu. Sejak itu saya tak percaya lagi pendidikan bonsai dan memutuskan menjadi self lifetime learner merdeka yang begitu passionate mengembara mengeksplorasi indahnya pengetahuan, daya imajinasi, dan daya kreasi.
Edisi print, Kompas, Senin 11 Januari 2016, hal 29
Back to Basic
Dua buku yang mencerahkan, Creative Schools (Allen Lane, 2015) danCreating Innovators (Scribner, 2015), mencoba menggugat model pendidikan bonsai yang sudah terlanjur menjadi mainstream di seluruh dunia. Keduaya sepakat bahwa pendidikan haruslah membebaskan, persis seperti divisikan Paulo Freire setengah abad lampau. Keduanya mengedepankan pendidikan yang memanusiakan seperti digagas Prof. Driyarkarya. Dan keduanya menolak kapitalisasi pendidikan, politisasi pendidikan, dan pendidikan ala restoran fast food dimana anak didik dipersiapkan secara potong kompas dan instan.
Tak sekedar mengkritik, kedua buku ini mengajukan model pendidikan alternatif yang lebih holistik, humanis, dan kreatif. Dalam Creative Schools misalnya, Ken Robinson si penulis, menyarankan kita semua untuk back to basic dengan membawa pendidikan pada tujuan hakikinya. Hakikat pendidikan mengandung empat dimensi: ekonomis, sosial, kultural, dan personal yang harus mampu mentransformasi anak didik menjadi manusia dewasa yang berpengetahuan, berkepribadian, dan sarat kearifan.
Pertama, pendidikan harus membentuk anak didik menjadi manusia yang bertanggung jawab dan independen secara ekonomi melalui pengembangan bakat, penguasaan kompetensi, dan pengasahan keterampilan. Kedua, pendidikan haruslah membentuk anak didik menjadi manusia yang memahami nilai-nilai dan budayanya, dan menghargai nilai-nilai dan budaya orang/bangsa lain. Intinya, pendidikan harus menghasilkan sosok yang toleran terhadap keberagaman. Ketiga, pendidikan harus membentuk anak didik menjadi warganegara yang aktif dan peduli pada nasib masyarakat dan negaranya. Terakhir, pendidikan harus membawa anak didik semakin mumpuni dalam berolah pikir, berolah rasa, dan berolah spiritual sebagai bekal untuk berefleksi dengan dirinya dan berinteraksi dengan dunia di sekitarnya.
Sementara itu secara lebih praktis, Creating Innovators menekankan pentingnya rasa ingin tahu (curiousity), daya khayal (imagination), dan daya kreasi (creativity) sebagai elemen substansial pendidikan dalam membebaskan (unleash) potensi anak didik. Menurut TonyWagner si penulis, proses belajar haruslah mengedepankan eksplorasi bakat anak, kolaborasi antar disiplin ilmu, eksperimentasi dan pencarian solusi atas persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat lingkungannya. Berbeda 180 derajat dengan pendidikan bonsai yang menempatkan anak didik sebagai obyek pasif, pendekatan ini menempatkannya sebagai aktor sentral dari proses belajar.
Metafor
Logika kapitalisme dan industrialisasi membonsai pendidikan kita melalui tiga mekanisme: standarisasi, kompetisi, dankorporatisasi. Pertama, sekolah disamakan (kurikulum, pengajaran, dan evaluasinya) agar bisa diperbandingkan dan diukur kinerjanya secara standar. Kedua, setelah bisa diperbandingkan lalu dikompetisikan layaknya kontes kecantikan. Maka kemudian muncul istilah SMA favorit, universitas terbaik, Ive League, dan semacamnya. Ketiga, pemodal masuk ke jantung industri pendidikan dimana fokus utama mereka adalah profit bukanlah pembelajaran. Inilah biang dari instanisasi, dehumanisasi, dan dekadensi pendidikan kita.
Robinson yang ceramahnya “How Schools Kill Creativity” ditonton jutaan pemirsa dan merupakan yang tertinggi dalam sejarah TED, mengambil metafor pertanian industrial (industrial farming) untuk menggambarkan logika pendidikan bonsai. Tujuan utama pertanian industrial adalah memproduksi sebanyak mungkin panen, at all cost. Caranya, menanam bibit monokultur (kalau perlu bibit transgenik), menggunakan pupuk kimia tak peduli tanahnya terdegradasi, menggunakan pestisida untuk memberangus hama tak peduli kerusakan lingkungan. Buah dari pendekatan industrial adalah hasil panen yang maksimal, tapi dengan ongkos yang sangat mahal berupa bencana kesehatan (seperti meluasnya penyakit kanker) dan kerusakan lingkungan. Beginilah kira-kira pendidikan kita saat ini dikelola.
Lawannya adalah pertanian organik (organic farming) yang menempatkan bertanam sebagai bagian dari jejaring kehidupan (web of life) yang lebih luas. Berbeda dengan pertanian industrial, pertanian organik melihat vitalitas kesuburan tanah dan kelestarian lingkungan sebagai bagian penting dari proses produksi tanaman. Nah, beginilah seharusnya pendidikan kita dikelola dan dikembangkan. Alih-alih melulu mengejar target menghasilkan lulusan terbanyak dan terbaik (melalui tes multiple choice), sekolah harusnya mampu membentuk pribadi-pribadi dewasa yang mumpuni dan bernurani melalui inovasi dan kreatifitas metode pembelajaran.
Seperti halnya pertanian organik, pendidikan organik mensyaratkan empat hal. Pertama, harus mengembangkan dan mendewasakan anak didik secara multidimensi dan holistik (fisikal, intelektual, sosial, dan spiritual). Kedua, harus terkait-erat dengan lingkungan komunitas dan masyarakatnya, tak boleh tercerabut dan ada di menara gading. Ketiga, harus mengembangkan potensi anak didik melalui sinergi antar si anak, pengajar, orang tua, dan masyarakat lingkungannya. Terakhir, pendidikan harus dilakukan secara personal/customized untuk tiap individu karena masing-masing mereka memiliki bakat, minat, dan keunikan sendiri-sendiri.
Celakanya pendekatan baru ini tak bisa dilakukan secara instan dan mudah semudah menyelenggarakan ujian multiple choice. Karena itu yang kini dibutuhkan dalam dunia pendidikan bukanlah program percepatan, crash program, atau semacamnya, tapi justru “slow movement” dan “slow education”. Yang kita butuhkan adalah creative destruction, alias memusnahan dan membumi-hanguskan sistem pendidikan bonsai untuk menggantinya dengan sistem yang sama sekali baru. Dua buku ini mengusulkan sebuah revolusi dan pendekatan out of the box dalam pengelolaan pendidikan kita. Tanpa revolusi, maka SD, SMP, SMA, dan universitas hanya menjadi pabrik zombie.
*Melahirkan Pengubah Dunia
Sosok pengubah dunia tak mungkin bisa dihasilkan dari anak didik yang piawai menghapal. Sosok pengubah dunia juga tak bisa lahir dari tes multiple choice. Sosok pengubah dunia, menurut Robinson dan Wagner, hanya bisa lahir dari sistem pendidikan yang mengedepankan kolaborasi dan kerja tim (bukan mengagungkan capaian individual melalui tes multiple choice); menekankan pembelajaran multidisiplin (bukan terjebak dalam sekat-sekat disiplin ilmu); merangsang proses penciptaan (bukan pasif mengonsumsi pengetahuan dari guru); dan harus datang dari kemauan kuat si anak didik (intrinsic motivation) untuk mengubah dunia, bukan dalam rangka sekedar mendapatkan nilai bagus.
Walaupun belum menjadi mainstream, benih-benih koreksi terhadap pendidikan bonsai telah muncul dengan berbagai model dan pendekatan.Finlandia yang kini dianggap memiliki sistem pendidikan terbaik di dunia misalnya, menerapkan model pendidikan organik yang menuai sukses. Berbeda dengan sistem pendidikan di negara manapun, sekolah-sekolah di Finlandia sangat mengedepankan kreativitas anak didik dan menempatkan guru sebagai profesi paling bergengsi dan paling mulia. Alih-alih berkompetisi, Finlandia mendorong sekolah dan gurunya berkolaborasi dengan berbagi sumber daya, ide, dan ekspertis. Tak hanya itu, sekolah harus memiliki keintiman dengan orang tua murid dan masyarakat sekitar.
Model lain adalah Innova School di Peru yang sistemnya dirancang oleh IDEO, perusahaan disain produk terkemuka di dunia. Sekolah tingkat menengah ini unik karena pembelajarannya customized untuk tiap murid, memacu kolaborasi dan eksperimentasi, serta melibatkan partisipasi aktif orang tua dan masyarakat sekitar. Dan yang menarik, semua itu dijalankan dengan menggabungkan praktek lapangan (hands-on experience) dengan pembelajaran berbasis digital (digital learning) melalui komputer dan telepon pintar.
Yang lebih revolusioner adalah The Demoratic School of Hadera diIsrael. Sesuai namanya, kurikulum sekolah tingkat menengah ini memang beda karena dirumuskan melalui voting yang melibatkan murid, guru, dan orang tua. Di sini murid dibebaskan untuk memilih mata pelajaran yang hendak dipelajarinya, begitu pula metodenya. Evaluasi sekolah ini inovatif karena berfokus ke individu tanpa mengenal kompetisi antar siswa, ujian, dan nilai. Model sekolah demokratis kini berkembang pesat. Sejak dirintis tahun 1987 di Israel kini telah mencapai jumlah ratusan di seluruh dunia.
Itu di tingkat pendidikan dasar dan menegah, lalu bagaimana untuk pendidikan tinggi? Di tingkat universitas barangkali d.school(Universitas Stanford bersama Hasso Plattner), Olin College, dan MIT(Massachusetts Institute of Technology) Media Lab bisa menjadi contoh terbaik. Di sini mahasiswa diwajibkan membuat sebuah proyek inovasi riil dengan mendirikan start-up yang prosesnya bisa berlangsung beberapa bulan hingga beberapa tahun dari mulai identifikasi masalah, pemetaan potensi pasar, inovasi produk, hingga komersialisasi.
Menariknya, setiap hands-on project tersebut harus mampu menyolusikan masalah-masalah riil di lapangan dan tak jarang diimplementasikan di negara-negara berkembang. Salah satu mahasiswa MIT Media Lab misalnya, menciptakan start-up Global Cycle Solutionyang memproduksi massal semacam sepeda canggih untuk mesin panen jagung masyarakat pedesaan di Tanzania.
Di sekolah-sekolah pengubah dunia itu kita menemukan beberapa kesamaan. Pertama, para murid di situ bersekolah dengan satu passion yang kuat untuk change the world. Kedua, mereka bersekolah untuk mengasah rasa ingin tahu, merangsang imajinasi, dan berolah kreativitas dan daya cipta. Dan yang paling penting, sekolah-sekolah itu tak tercabut dari lingkungan masyarakatnya, mereka bukanlah enclave, mereka hadir untuk menjadi solusi bagi persoalan riil masyarakatnya. Pertanyaannya: kapan sekolah-sekolah di Indonesia menjadi seperti ini?
Judul: Creative Schools: Revolutionizing Education from the Ground Up
Penulis: Ken Robinson (bersama Lou Aronica)
Penerbit: Allen Lane, 2015
Halaman: xx + 292
Judul: Creating Innovators:
The Making of Young People Who Will Change the World
Penulis Tony Wagner
Penerbit: Scribner; 2015 (paperback edition)
Halaman: xiv + 304
4 comments
Trimakasih mas Siwo atas tulisan yg sangat inspiratif. Para pendidik kita saat ini, seperti telah berada dan ‘at home’ dengan pola pendidikan bonsai itu. Sangat perlu orang-orang yg serius, kreatif dan inovatif, mungkin revolusiner untuk menata kembali jalannya pendidikan utk generasi mendatang. Usaha itu pasti melawan arus besar (mainstream) yang sudah menjadi ‘idola’ pendidikan saat ini, yang sadar atau tidak telah mengkerdilkan manusia utk sekadar menjadi skrup, mur, baut dari mesin besar budaya konsumerisme, yg akhirnya meredusir manusia kepada kreativitas dan inovasi dalam raksasa industrialisasi. apa yg digagas dan diuraikan sesungguhnya adalah hakiki dari pendidikan, yg memanusiakan manusia, bukan memproduksikan mesin-mesin manusia. Harap ide dan pikiran ini terbaca juga oleh para penentu kebijakan pendidikan di negeri tercinta ini. Salam dari pulau dewata
Menyedihkan memang sistem pendidikan ini. Tulisanmu sangat menggugah Mas.
Aku sedang banyak bergaul dengan para akademisi peraih beasiswa, dan sayangnya, dari mengikuti diskusi-diskusi mereka, terasa sekali apa orientasi mereka, yang paling banyak ya pragmatis.
Susah mencari sisi kemanusiaan sebagai pribadi dan semangat untuk mengembangkan kampung halamannya dari mereka.
Yang dipikirkan lebih bagaimana bisa terus mendapat beasiswa atau dana penelitian yang muaranya ya industri akademik.
[…] Irrelevant Skills Dengan pendekatan yang obsolet sekolah-sekolah kita hanya bisa membentuk “Generasi Penghapal” dan “Generasi Pembebek”. Mereka adalah generasi yang piawai dalam menghapal. Kenapa? Karena […]
[…] Irrelevant Skills Dengan pendekatan yang obsolet sekolah-sekolah kita hanya bisa membentuk “Generasi Penghapal” dan “Generasi Pembebek”. Mereka adalah generasi yang piawai dalam menghapal. Kenapa? Karena […]