Go-jek dilarang! Kabar mengenai pelarangan layanan ojek online oleh Menteri Perhubungan itu mengagetkan kita semua pekan ini. Dalam sekejab para tukang ojek pun bereaksi keras. “Pemerintah tega banget. Kalau melarang, ini sama saja memutus rezeki banyak orang… Sebulan saya dapat minimal Rp 3 juta dari hasil nge-gojek. Kan lumayan besar untuk menyambung hidup,” kata Anang seperti dilaporkan Republika.
Tak hanya tukang ojek yang kebakaran jenggot, praktis semua pihak menolak dan marah dengan keputusan Menteri Perhubungan tersebut. Mulai dari operator ojek online, netizen di Facebook dan Twitter, petisi di change.org, anggota DPR, bahkan Presiden. “Nanti siang saya akan panggil Menteri Perhubungan,” ujar Jokowi di Istana Bogor, Jumat (18/12). Menyusul pertemuan Jokowi dengan Menteri Perhubungan, akhirnya diputuskan kebijakan tersebut dicabut.
“Brand Rakyat”
Fenomena “kemarahan rakyat” terhadap keputusan pemerintah melarang layanan ojek online menarik dilihat dari sisi pemasaran dan branding. Mana ada masyarakat luas berbagai lapisan dari tukang ojek hingga presiden menjadi advocator bagi brand hebat seperti Go-jek? Belasan tahun mengamati dunia pemasaran di Indonesia, belum pernah saya mendapati sebuah brand dibela habis-habisan oleh konsumen dan stakeholders-nya seperti terjadi pada Go-jek.
Inilah yang dalam dunia pemasaran disebut sebagai brand advocacy atau brand evangelism. Dalam berbagai kesempatan seminar, saya sering mengatakan bahwa brand evangelism adalah capaian tertinggi dari sebuah brand. Inilah puncak kehebatan sebuah brand. Di sini brand tak hanya sebatas dikenal, memiliki image yang kuat, atau diloyali konsumen, tapi lebih jauh lagi juga dibela habis-habisan hingga ke titik darah penghabisan oleh si konsumen.
Contoh klasik brand evangelism terjadi pada Harley Davidson dan Apple. Dua brand hebat ini dikenal memiliki konsumen (lebih tepat disebut pengikut) yang fanatik. Konsumen Harley Davidson misalnya, bangga luar biasa saat menggunakan baju kebesaran Harley (kepala diikat, baju hitam lengan buntung, sepatu boot) atau mentato lengan dan jidatnya dengan logo Harley. Tak hanya itu, saking fanatiknya, si konsumen bisa marah besar jika orang lain misalnya, menjelek-jelekkan atau mem-bully brand.
Nah, Seperti halnya Harley Davidson dan Apple, Go-jek dibela habis-habisan oleh konsumennya baik si tukang ojek maupun pengguna ojek. Bedanya, kalau konsumen Harley Davidson dan Apple berasal dari kalangan atas, konsumen Go-jek adalah rakyat kebanyakan. Karena itu saya lebih senang menyebut brand semacam Go-jek sebagai: “brand rakyat”.
Sharing Economy
Di era sharing economy yang kini kian massif proses pembentukannya, saya memprediksi bakal semakin banyak brand rakyat lahir di negeri ini. Kenapa bisa begitu? Argumentasnya gampang saja. Ya, karena by default model bisnis berbagi (sharing business model) melibatkan masyarakat kebanyakan dalam proses delivery layanan mereka. Dalam kasus Go-jek, perusahaan melibatkan para tukang ojek. Dalam kasus Uber, perusahaan melibatkan sopir taxi. Dalam kasus AirBnB, perusahaan melibatkan para pemilik penginapan. Dalam kasus crowfunding, proyek melibatkan para penyandang dana.
Nah, karena nasib dan kehidupan dari masyarakat kebanyakan itu bergantung pada perusahaan, maka tak heran jika mereka berkepetingan untuk menyukseskan perusahaan. Mereka akan berjuang dan membela habis-habisan agar perusahaan sukses. Ketika perusahaan sukses, maka dengan sendirinya mereka juga akan menuai kesuksesan. By default mereka akan menjadi advocator dan evangelist bagi perusahaan. Hubungan unik inilah yang menjadi pilar pembentukan brand dari sebuhah sharing company seperti Go-jek.
Karena memiliki masa evangelists yang sangat besar, tak mengherankan jika proses brand-building dari kebanyakan sharing company berlangsung demikian cepat. Dalam kurun waktu hanya sekitar 3 tahun, Go-jek misalnya, kini telah menjadi household brand yang diketahui dan dikagumi masyarakat berbagain lapisan dari Sabang sampai Merauke. Sementara merek hebat seperti Sosro, Indomie, atau Pepsodent butuh puluhan tahun.
Pertanyaannya kemudian adalah, apakah betul brand seperti Go-jek adalah brand sempurna tanpa cela? Tidak juga. Kalau para evangelists bisa ngomong baik tentang Go-jek, maka tentu saja mereka juga bisa ngomong jelek. Dan kalau mereka sudah ngomong jelek, maka mereka akan menjadi “musuh dalam selimut” yang sangat berbahaya. Omongan jelek mereka bisa menjadi bola liar yang sulit ditahan dan dikendalikan.
Karena itu saya selalu wanti-wanti kepada brand rakyat seperti Go-jek: rawat baik-baik kepercayaan para evangelists Anda. Jaga mereka agar selalu menjadi pembela, jangan sampai justru menjadi teroris bagi brand Anda.
1 comment
Kami berpendapat go jek dibela oleh orang2 akibat akumulasi dari ulah pemerintah. Bukan semata mata karena gojek telah mencapai taraf brand evangelism.. pertanda bahwa rakyat sudah mulai jenuh dgn kebijakan2 yv ada. 🙂