Hari Rabu lalu saya ketemu Pak Junius Rahardjo, pendiri dan CEO Javaplant yang merupakan produsen ekstrak herbal terbesar di negeri ini. Ngobrol dengan Pak Junius, di tengah-tengah suasana Hari Pahlawan, semangat nasionalisme dan kepahlawanan saya menjadi menggelora. Bagaimana tidak, ngobrol ngalor-ngidul selama sekitar dua jam, kita ngomongin bagaimana Indonesia bisa menjadi bangsa besar dan mandiri melalui kekayaan keanekaragaman hayati.
Omongan Pak Junius yang sarat nasionaisme perlu didengar. Ya, karena ia sudah membuktikan diri, melalui Javaplant, membawa produk herbal Indonesia perkasa menembus pasar mancanegara. “Sekitar 90% produk saya menghasilkan dolar,” ujarnya. Yang dijual Pak Junius adalah ekstrak herbal yang bahan dasarnya tersedia melimpah di bumi pertiwi seperti kunyit, temulawak, kayu manis, pasak bumi, binahong, jahe, purwoceng, tapak liman, atau sarang semut. Produk-produk tanaman unik Indonesia ini punya nilai sangat tinggi di Amerika, Jepang, dan Eropa.
Dengan bahan baku yang tersedia melimpah di dalam negeri maka tak seperti umumnya perusahaan manufaktur di tanah air, Javaplant tidaklah “haus dolar”. Bukannya menghambur-hamburkan rupiah ke luar negeri, tapi justru sebaliknya menyedot banyak dolar ke dalam negeri. Dengan begitu perusahaan seperti Javaplant pantas disebut “Pahlawan Rupiah”, ya karena menjadikan rupiah kita kian perkasa.
Bioproduk
Bulan lalu saya meluncurkan buku Life Science for a Better Life (Gramedia, 2015) bersama Pak Iskandar, Direktur Utama Bio Farma. Dalam buku tersebut saya menekankan pentingnya Indonesia mengembangkan bioproduk, bioindustri, dan bioekonomi. Di buku tersebut saya bilang, dengan kekayaan keanekaragaman hayati yang melimpah-ruah, seharusnya produk dan industri yang kita kembangkan adalah produk dan industri yang berbasis hayati (bioproduct dan bioindustry) seperti pertanian, perikanan, peternakan, pariwisata, pengobatan, atau energi terbarukan.
Kita harus konfiden, nggak usah noleh kemana-mana, fokus menekuni apa yang kita punya yaitu membudidayakan dan mengolah tanaman, mengembangbiakan ternak, mengambil dan mengolah ikan yang begitu kaya di lautan Nusantara, dan memanfaatkan beragam sumber hayati yang tersedia melimpah di negeri ini. Indonesia adalah negara paling kaya keanekaragaman hayati yang tak tertandingi oleh negara manapun di dunia. Ini harus kita syukuri dengan membudidayakan dan mengolahnya (secara lestari) untuk kemanfaatan rakyat.
Sedih memang, di tengah melimpahnya sumber daya hayati kita justru abai. Kita mengesampingkannya dan cenderung menoleh ke Barat dengan mengembangkan industri otomotif, elektronik, kimia, pesawat terbang, bahkan teknologi nuklir. Harus diakui, sesungguhnya kita malu menjadi bangsa petani; kita malu menjadi bangsa nelayan; kita malu menjadi bangsa peternak. Kenapa? Karena otak kita sudah terlanjur tercuci dan silau oleh hal-hal yang berbau Barat, dan kemudian mengatakan: “Hari gini… menjadi petani dan nelayan mah nggak keren, jadul. ketinggalan jaman.”
Percaya saya, kita nggak mungkin menang melawan Google untuk urusan mencipta search engine atau Android. Kita nggak mungkin mengungguli Toyota untuk urusan membikin mobil. Kita nggak mungkin menandingi Apple untuk urusan membikin gadget. Namun saya percaya kita bisa menjadi produsen kangkung, jahe, kopi, ikan teri, domba, daging sapi, pisang, atau jeruk terbaik di dunia. Atau seperti kata Pak Junius, kita bisa menjadi produsen ekstrak herbal terhebat di dunia.
Saya adalah true believer Jack Welch. Kata Jack: “Be #1 or #2… fix, sell, or close”. Jadilah nomor satu atau nomor dua di bidang yang Anda kuasai, dan buang jauh-jauh yang lain, yang hanya memboroskan energi Anda. So, buang jauh-jauh mimpi untuk menyaingi Google, Apple, Toyota, atau Boeing. Fokuslah di bioproduk, untuk menjadi produsen tanaman budidaya, ternak budidaya, ikan, kopi, cokelat, sawit, beragam sayur, beragam buah, jamu, atau ekstrak herbal yang paling hebat di dunia.
Nasionalisme
Perbincangan dua jam dengan Pak Junius so inspiring. Ia begitu heboh menceritakan betapa ia memasuki industri ekstrak herbal yang blue ocean. Kenapa blue ocean? Pertama, karena pasarnya sangat-sangat besar di dunia. Kedua, industri ini minim pesaing baik di dalam negeri maupun global. Kuncinya kata Pak Junius ada tiga: unique product, unique service, unique customer. Bagi saya yang paling menarik adalah yang ketiga, karena Pak Junius sudah menemukan konsumen-konsumen industri di dunia yang tahu nilai ekonomis dari temulawak, kunyit, purwoceng, atau tapak liman. Mereka mau membayar sangat mahal beragam bioproduk tersebut.
Sontak saya bertanya, “Bagaimana bisa industri blue ocean semenarik ini tak banyak pemain kita yang masuk?” Rupanya Pak Junius pun heran kenapa bisa begitu. Dugaan saya sederhana, karena kita selalu silau terhadap Barat dan lupa aset berharga yang kita punya. Kita paling bisa ikut-ikutan Barat, membebek apa yang mereka lakukan, dan tak pernah konfiden pada jati diri. Kita adalah bangsa minder.
Obrolan dua jam dengan Pak Junius membakar otak saya dan memecut kesadaran saya bahwa bangsa ini harus melakukan movement “nasionalisme herbal”. Kegiatan movement ini sederhana, yaitu menciptakan “Junius-Junius baru”: ratusan, ribuan, bahkan jutaan di seluruh penjuru tanah air. Indonesia harus mengembangbiakan sebanyak mungkin entrepreneur hebat yang mengolah kekayaan keanekaragman herbal kita menjadi produk global yang punya nilai ekonomis tinggi di pasar dunia.
Misi dari movement ini cuma satu: Mewujudkan Indonesia menjadi produsen produk herbal nomor satu di dunia. Mari wujudkan!!!
Photo Credit: pusatherbaluii.blogspot.com
3 comments
sangat menginspirasi
Luar biasa pak Junius. Dari nol sampai mendunia. Cerdas Dan pekerja keras.
[…] Dengan bahan baku yang tersedia melimpah di dalam negeri maka tak seperti umumnya perusahaan manufaktur di tanah air, Javaplant tidaklah “haus dolar”. Bukannya menghambur-hamburkan rupiah ke luar negeri, tapi justru sebaliknya menyedot banyak dolar ke dalam negeri. Dengan begitu perusahaan seperti Javaplant pantas disebut “Pahlawan Rupiah”, ya karena menjadikan rupiah kita kian perkasa. Nasionalisme seorang Junius bisa dibaca di link ini. […]