Hari Rabu (1/7) lalu saya diundang mas Lutfiel Hakim dari Indonesia Halal Center untuk menjadi nara sumber focus group discussion (FGD) bertema: Marketing Produk Halal di Hotel Sofyan Menteng. Hadir di situ nara sumber yang lain: pak Riyanto Sofyan, CEO Hotel
Sofyan; pak Anton Apriyantono, mantan Menteri Pertanian yang juga pakar produk halal; dan ibu Elvina Rahayu, auditor Halal. Dengan perspektif yang berbeda, kami membahas bagaimana membangun awareness masyarakat terhadap produk halal di tanah air.
Bahkan dengan semangat empat lima kami membahas bagaimana menjadikan Indonesia sebagai the world’s halal center. Degan penduduk muslim dan potensi pasar halal terbesar di dunia, harusnya Indonesia bisa mewujudkannya. Dari negara-negara yang berambisi menjadi world’s halal center seperti Malaysia, Arab Saudi, Kuwait, atau Turki, potensi pasar halalnya tak ada apa-apanya dibanding Indonesia. Malaysia cuma berpenduduk 27 juta jiwa, sementara Arab Saudi cuma 28 juta. Jadi, Indonesia jangan sampai kalah dengan Malaysia dan Arab Saudi.
Revolusi Sertifikasi Halal
Namun sayang, potensi pasar halal Indonesia yang demikian besar, tak diikuti dengan jumlah produk halal yang beredar di pasaran. Hingga tahun lalu, hanya ada sekitar 13 ribu produk yang bersertifikat halal, dari total jumlah produk sekitar 156 ribu produk yang didistribusikan di Indonesia. Itu artinya belum sampai 10%. Padahal di Malaysia misalnya, sekitar 90% produk makanan, minuman, kosmetik, dan obat-obatan yang beredar di negeri Jiran tersebut sudah berlabel halal.
Untungnya, pemerintah telah melakukan terobosan dengan mengeluarkan Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Menurut undang-undang ini, pada tahun 2019 seluruh produk (makanan, minuman, kosmetik, farmasi, biologi, kimia, hingga produk modifikasi genetik) yang didistribusikan di Indonesia haruslah memiliki sertifikasi halal. Bahkan pemerintah juga mewajibkan produk-produk yang tidak halal untuk menyatakan ketidakhalalan secara jelas pada kemasannya.
So, dengan adanya undang-undang ini saya berharap akan terjadi “revolusi sertifikasi halal”. Dalam sisa waktu 3,5 tahun ini para produsen akan berbondong-bondong mensertifikasi halal produknya. Dan dengan demikian awareness masyarakat terhadap halal dengan sendirinya akan terdongkrak naik.
Vertikal: Belajar dari Batik
Menyongsong tahun halal 2019, menjadi kewajiban kita semua untuk mengkampanyekan sadar produk halal di tanah air. Tujuan ada dua. Pertama menjadikan 100% produk makanan-minuman, kosmetik, obat-obatan, dsb. yang beredar di Indonesia bersertifikasi halal. Ini gampang karena sudah menjadi amanat undang-undang. Kedua, menjadikan Indonesia sebagai the world’s halal center mengalahkan Malaysia, Arab Saudi, dan negara pesaing lain. Nah, yang ini butuh perjuangan sampai titik darah penghabisan.
Saya mengusulkan dua pendekatan pemasaran yang bisa kita jalankan untuk mengkampanyekan halal di Indonesia, yaitu: vertikal dan horizontal. Yang saya maksud dengan pendekatan vertikal adalah sebuah kampanye halal yang dilakukan pemerintah dalam bentuk kampanye publik/sosial (public/social campaign). Kampanye jenis ini sudah banyak dilakukan oleh berbagai kementerian, departemen atau badan pemerintah. Ambil contoh Departemen Perdagangan yang melakukan kampanye label “100% Cinta Indonesia” untuk mendorong penggunaan produk dalam negeri. Dulu jaman pak Harto, BKKB membuat kampanye “Dua Anak Cukup”. Atau KPU yang membuat kampanye “Ayo Memilih” dalam memobilisasi masyarakat untuk berpartisipasi dalam Pemilu.
Di sini, kita harus banyak belajar dari kampanye batik yang menurut saya merupakan public campaign tersukses yang pernah ada di Indonesia. Sukses ini dimulai dari ditetapkannya batik sebagai salah satu warisan budaya dunia oleh UNESCO. Pengakuan yang memicu kebanggaan (national proudness) segenap lapisan masyarakat tersebut direspons cepat oleh pemerintah dengan menetapkan 2 Oktober sebagai Hari Batik Nasional. Tak hanya itu, pemerintah juga menghimbau seluruh instansi dan perusahaan agar karyawannya mengenakan batik pada hari Jumat. Dari situ gelombang uforia batik menyebar bak virus ke seluruh penjuru negeri. Kampanye halal tak mesti sama persis dengan kampanye batik, tapi pelajaran-pelajaran berharga di dalamnya bisa diambil.
Horisontal: Belajar dari Hijab
Pendekatan kedua adalah pendekatan horizontal dengan memanfaatkan kekuatan komunitas dan pemasaran dari mulut ke mulut (word of mouth). Pendekatan kedua ini mengandalkan edukasi halal oleh komunitas yang dilakukan secara peer to peer (P2P) melalui beragam media sosial seperti blog, Facebook, Twitter, Instagram, dan lain-lain. Berbeda dengan pendekatan vertikal yang mengandalkan kebijakan dan himbauan pemerintah, pendekatan ini lebih menekankan peran komunitas-komunitas halal (seperti Komunitas Halal Corner, Halal Center, Halal Baik Enak, dll.) dalam mengedukasi masyarakat mengenai sadar halal.
Untuk menjelaskan bagaimana edukasi peer to peer ini terjadi, ada baiknya jika saya menggunakan contoh yang terjadi di dunia hijab. Saya melihat, kesadaran kaum muslimah untuk berlomba-lomba mengenakan hijab sesungguhnya dipicu oleh “edukasi” massif yang terjadi di dalam medium komunitas hijabers. Edukasi ini begitu efektif karena dilakukan secara peer to peer antar para hijabers yang berkumpul di dalam komunitas dengan memanfaatkan blog, Facebook, atau Twitter. Interaksi antar sesama hijabers di dalam komunitas inilah yang kemudian memicu uforia hijab di kalangan kaum muslimah kita untuk ramai-ramai mengenakan hijab. Tentu saja edukasi halal tak akan sama persis dengan kasus yang terjadi di hijab, tapi setidaknya pelajaran-pelajaran penting bisa diambil.
Dalam pendekatan ini peran komunitas-komunitas halal memegang peran kunci, karena itu saya berharap komunitas-komunitas ini bakal tumbuh pesat bak jamur di musim hujan. Namanya saja horizontal, komunitas-komunitas ini haruslah menyebarkan kesadaran halal dengan pendekatan yang teduh, simpatik, inklusif, dan tidak menggurui. Program yang mereka besut haruslah kolaboratif dan kokreatif melalui pelibatan dan partisipasi stakeholders. Dan belajar dari sukses hijab, mereka harus mampu menjadikan sadar halal sebagai bagian dari gaya hidup yang keren dan cool. Ingat, cool factor merupakan faktor kunci dalam setiap kampanye pemasaran.
4 comments
Agar bisa jadi the world’s halal center, MUI juga harus berbenah ya Mas. Contohnya tak membebankan biaya sertifikasi terlalu mahal kepada para produsen UKM sampai tertera tarif resmi, sesunguhnya produsen UKM harus membayar berapa, per item produknya 🙂
Selamat siang mas. Perkenalkan saya Muhammad Delly, saya saat ini bergabung di selasar.com. Tulisan mas sangat menarik perihal Halal Marketing ini, kami ingin izin republikasi di website kami, selasar.com. Apakah boleh mas? Sebelumnya terima kasih banyak. Salam kenal dari saya, Muhammad Delly.
Nah, ayo mengkampanyekan produk-produk halal. Kalau mau irit, silaka pake media sosial
Tambah wawasan baca-baca artikelnya mas yuswo. Oh ya gimana dengan rencana pemerintah akan menerapkan sertifikasi HARAM juga nih mas? Ada tanggapan ga??