Sabtu (6/6) lalu saya diundang di peluncuran Kasoem Vision Care oleh pak Hatta Kasoem generasi kedua keluarga optik Kasoem. Yang belum tahu, vision care adalah layanan baru pemeliharaan dan perawatan penglihatan yang berbasis solusi komprehensif dan end-to-end mulai dari masa kanank-kanak hingga tua. Terus terang dari acara itu saya baru tahu bahwa perawatan mata haruslah dimulai sedini mungkin sejak balita agar saat dewasa kelak gangguan penglihatan seperti mata minus, plus, juling dan sebagainya bisa diminimalisir. Ini yang tak banyak disadari oleh ibu-ibu bagi putra-putri tercinta.
Dalam sambutannya pak Hatta mengatakan bahwa, kalau dulu generasi pertama Kasoem merupakan perintis optik di Indonesia, maka kini A Kasoem dibawah kepemimpinannya ingin menjadi perintis solusi vision care di Indonesia. “Kalau dulu hanya jualan kaca mata, maka kini kami memberikan sebuah solusi komprehensif perawatan mata, tak hanya kuratif tapi juga prefentif,” ujarnya.
Saya tertarik pada konsep layanan baru yang diusung A Kasoem karena masih blue ocean di Indonesia dan potensi pasarnya sangat besar, namun yang justru mengusik benak saya adalah sosok A. Kasoem sendiri. Beberapa kali ngobrol dengan pak Hatta secara sekilas saya mendengar cerita mengenai sosok nasionalis sang ayah. Namun beberpa waktu lalu saya menemukan sebuah buku tua berjudul “Jiwa Joang Bangsa Indonesia” terbit tahun 1975, yang menguak perjalanan hidup A. Kasoem. Selesai membaca buku itu, saya pun langsung jatuh cinta dan mengagumi sosok ini.
Anak Singkong Bercita-Cita Besar
Atjoem Kasoem adalah anak singkong lahir di desa Kadungora di Priangan Timur tahun 1918. Ia adalah sosok yang keras hati. Kemauannya besar dan berkeinginan baja untuk menjadi orang besar yang terukir dalam sejarah bangsanya. Ia adalah pelopor yang terjun berjuang di bidang pabrik kaca mata (optik) di Tanah Air. Ia manusia Indonesia pertama yang ahli kaca mata dan mendirikan pabrik optik pertama di Indonesia pada tahun 1974. Cita-citanya besar, menjadikan pabrik optiknya kelak di kemudian hari memproduksi lensa potret, mikroskop, dan lain-lain demi untuk kebesaran nama nusa dan bangsa.
Wakil Presiden kala itu, Mohammad Hatta memanggilnya dan memerlukan keahliannya untuk membantu perjuangan Indonesia. Ia memercayakan kepada Kasoem untuk memelihara, memeriksa dan membikin kaca mata untuk Presiden Soekarno, Hatta, para menteri, jenderal, pembesar, para pemimpin republik, dan rakyat jelata. Di pundak Kasoem lah dibebankan tanggung jawab agar mata para pemimpin Indonesia dan rakyatnya tetap terang benderang di kancah peperangan dengan Belanda itu.
Ada sebuah kejadian yang membuat rasa nasionalisme Kasoem membara dan kemudian mengubah haluan hidupnya. Suatu saat ia berbicara dengan seorang ahli kaca mata Jerman bernama Kurt Schlosser yang menjadi gurunya membuat kaca mata. Tahun 1940 Jerman menyerang negeri Belanda yang kemudian memicu Perang Dunia II. Kebanyakan orang waktu itu berkeyakinan Jerman akan mengalahkan Belanda. Maka Kasoem muda bertanya ke Schlosser, kalau Jerman mengalahkan Belanda bisakah bangsa Jerman membantu perjuangan bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan.
Di luar dugaan Kasoem, Schlosser menjawab: “Apa gunanya bagi kalian kemerdekaan tanah air itu. Kenyataannya kini perekonomian di seluruh Indonesia dikuasai oleh bangsa asing, baik orang kulit putih, Cina, India, Arab dan lain-lain. Percuma saja kalian merdeka, kalau perekonomiannya tidak dikuasai oleh pribumi. Termenung dan lemas sekujur tubuh Kasoem, karena apa yang diungkapkan sang guru itu benarlah adanya.
Lanjut Schlosser, “jika kamu mau merdeka juga, tuntutlah ilmu kaca mata ini. Perusahaan kaca mata dibutuhkan oleh manusia sepanjang masa. Dengan ilmu ini, kamu akan dapat membesarkan nama bangsamu. Kamulah kelak yang akan menjadi raja kaca mata satu-satunya di Indonesia. Tetapi, dengan hanya menguasai ilmu kaca mata saja belum cukup untuk menjadi orang terhormat. Kamu harus melatih dirimu ahli dan cakap pula menjualnya ke masyarakat luas. Ilmu dagang tidak ada di sekolah. Kecakapan ini akan tumbuh berkat pengalaman, dan didorong oleh kemauan yang keras untuk mengubah nasib. Ilmu dan pengalaman ini akan dapat kamu turunkan kelak kepada anak cucumu”.
Pejoang
Ocehan Schlosser membuat dada Kasoem membara. Sisa hidupnya kemudian dihabiskan untuk menekuni kaca mata dan bertekad membangun toko dan pabrik kaca mata agar bangsanya memiliki kemandirian di bidang industri kaca mata tidak tergantung kepada bangsa lain. Berkat ketekunan, keuletan, kesungguhan dan kerajinannya, dalam waktu singkat ia menguasai ilmu membikin kaca mata. Ia melatih dirinya berjualan kaca mata dengan berjalan kaki, menjinjing tas berisi kaca mata keluar masuk rumah orang. Dengan tekun dan ulet ia memperluas daerah operasi berjualan dengan berkeliling naik sepeda. Uang keuntungannya selalu disimpannya untuk membesarkan usaha. Dan akhirnya ia berhasil membuka toko di Jl. Pungkur 97, Bandung.
Kasoem mengenal dekat Ki Hadjar Dewantara saat ia sekolah di Perguruan Taman Siswa. Maka pergilah ia mengunjunginya di Jakarta dan diungkapkan keinginannya membuka toko di jalan prestisius kota Bandung, Jl. Braga. Harap diketahui, pada masa itu, hanya orang asing yang mampu membuka toko di Jl. Braga. Melalui perjuangan tak kenal lelah, akhirnya pada bulan Mei 1943 ia berhasil membuka toko kaca mata di Jalan Braga. Kasoem lah salah satu pelopor bangsa Indonesia dari suku Sunda yang bertoko di kawasan pertokoan Braga.
Ketika terjadi peristiwa Bandung Lautan Api, ia ikut berjuang menurut keahlian dan kecakapannya. Ia ikut dalam Palang Merah Indonesia, mencari dan mengumpulkan senjata, lalu diberikannya kepada para pemuda pejuang. Kasoem kemudian mengungsi ke daerah Tasikmalaya. Dasar wirausaha, dalam kecamuk perang di daerah Tasik ini, ia membuka toko kaca mata. Awal tahun 1946 ia diminta oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta membuka praktek di Yogya yang saat itu menjadi ibu kota Republik Indonesia. Di situ ia membuka toko kaca mata dan mendirikan pabrik penggosok lenca di daerah Klaten.
Kemandirian Ekonomi
Setelah Indonesia merdeka, usaha Kasoem berkembang pesat. Ia membuka toko kaca mata di berbagai kota seperti Jakarta, Tasikmalaya, Yogyakarta, Cirebon. Selama ini bahan-bahan kaca mata seperti frame dan lensa dipesan dari luar negeri. Tetapi Kasoem bercita-cita membuat seluruhnya di dalam negeri. Untuk itulah kemudian ia berangkat menuntut ilmu ke Jerman tahun 1960. Ia magang di pabrik optik milik Dr. Hermann Gebest bekerja nonstop 14 jam sehari. Pulang ke Indonesia, Kasoem pun mewujudkan cita-citanya membangun pabrik optik di desanya Kadungora Leles pada tahun 1969. Para ahli pabriknya didatangkan dari Jerman, dan gurunya sendiri Dr. Hermann dijadikannya sebagai penasehat. Tahun 1974, pabrik Kasoem diresmikan oleh wakil presiden kala itu, Sri Sultan Hamengkubuwono ke-IX. Setahun kemudian Kasoem diterima menjadi anggota ilmu pengetahuan optik Jerman Barat dengan nomor anggota 176. Dialah orang Asia pertama yang menjadi anggota asosiasi profesi bergengsi tersebut.
Setelah pabriknya beroperasi, mengalir tawaran dari luar negeri untuk bekerjasama di bidang produksi optik. Namun Kasoem menolak mentah-mentah. Cita-citanya untuk menjadikan Indonesia mandiri secara ekonomi dan industri masih sekeras baja. Kasoem berkeinginan, bahwa pabriknya ia pimpin sendiri dengan modalnya sendiri pula. Bagi Kasoem, biarlah pabriknya kecil saja, tetapi milik sendiri. Apalah gunanya pabrik besar dan pangkat mentereng sebagai direktur kalau pabrik itu dikendalikan oleh bangsa asing, ia sebatas menjadi boneka.
Sosok A. Kasoem hebat karena ia berjuang demi kejayaan Merah Putih bukan dengan senjata bedil dan meriam, tapi senjata kewirausahaan. Karena ia meyakini bahwa kewirausahaan lah yang akan membawa Indonesia menjadi negara besar dan mandiri secara ekonomi kelak. Visionernya tokoh ini, hal itu sudah disadarinya saat bangsa ini masih jabang bayi. Tak heran jika sepang-terjangnya tetap fresh dan relevan saat ini, 70 tahun kemudian.
Selama menulis kolom ini dada saya membara. Merah Putih serasa melambai-lambai perkasa di relung hati saya. Dan sekonyong-konyong nurani saya bergumam: “Setiap wirausahawan kita haruslah memiliki hati dan jiwa pejuang Kasoem.”
Sumber tulisan: Buku Jiwa Joang Bangsa Indonesia oleh Thalib Ibrahim (Mahabudi, 1975) dan “Kisah A. Kasoem” oleh Santi J.N. (2014).
2 comments
satu lagi tulisan bagus..saya sangat heran kenapa hal hal seperti ini tidak di masukan kedalam kurikulum sekolah..tentu hasilnya sangat baik bagi anak anak indonesia..
Sangat menginspirasi tulisan pak yuwo, semoga selalu bermanfaat.