Saya melihat konsumen kelas menengah Indonesia (saya sebut “Consumer 3000”) memiliki tiga karakteristik penting. Pertama, mereka memiliki daya beli lumayan tinggi (high resources). Kedua, mereka pintar (more knowledgeable) dan berwawasan luas karena begitu mudahnya mengakses informasi. Dan ketiga, secara sosial mereka terhubung satu sama lain (socially-connected). Dari tiga ciri tersebut, aspek knowledgeability memiliki pengaruh paling istimewa dan secara mendasar mengubah perilaku belanja dan konsumsi mereka.
Seiring meningkatnya pendidikan, pengetahuan, dan wawasan, mereka menjadi semakin value-demanding alias kian menuntut value setinggi langit. Artinya mereka semakin meminta manfaat (benefit) setinggi mungkin, dan harga (customer’s cost) serendah mungkin. Gampangnya, mereka minta barang dengan kualitas setinggi mungkin, dengan harga semurah mungkin. Itu sebabnya saya sebut konsumen kelas menengah sebagai hyper-smart customer.
Value Demanding
Pertanyaannya, kenapa mereka demikian value demanding? Ya, ketika mereka kian knowledgeable, maka kebutuhan mereka merangkak semakin canggih (sophisticated) dari kebutuhan dasar (sandang-pangan-papan) ke kebutuhan yang lebih tinggi seperti hiburan, kepemilikan gadget, kesehatan/kebugaran, kenyamanan (convenience), hingga aktualisasi diri. Ekspektasi mereka pun terkerek naik dengan terjadinya sofitifikasi kebutuhan tersebut. Dan kebutuhan akan barang berkualitas (high-quality product) dan merek-merek global (global brand) semakin tinggi.
Di sisi lain mereka semakin gampang dan terbuka dalam mengakses informasi mengenai produk dari manapun di seluruh dunia. Melalui internet misalnya, mereka begitu gampang mengetahui produk-produk dengan kualitas terbaik di dunia (world’s best). Melalui grup WA, media sosial, forum online, blogger review, atau customer rating mereka begitu mudah memperbandingkan fitur satu produk dengan yang lainnya. Berdasarkan perbandingan itu, dengan mudah mereka menetapkan dan memilih produk dengan value tertinggi. Mereka sangat kritis ketika mengevaluasi produk.
Dalam kondisi konsumen yang semakin value-demanding, tak bisa tidak produsen harus mampu menghasilkan produk dengan nilai tinggi (hyper-value product). Tak heran jika seiring dengan terjadinya revolusi konsumen kelas menengah Indonesia 5 tahun terakhir, produsen berlomba-lomba menciptakan inovasi nilai (value innovation). Inovasi nilai terjadi jika produsen mampu menciptakan manfaat produk setinggi mungkin dan secara bersamaan memangkas biaya konsumen serendah mungkin. Dalam konteks konsumen kelas menengah di Indonesia, inovasi nilai ini memungkinkan produk dan layanan mahal yang sebelumnya tidak terjangkau, kini menjadi lebih terjangkau. Saya menyebutnya fenomena “mass luxury”.
Value Innovators
IKEA demikian populer dan langsung masuk ke hati konsumen kelas menengah Jakarta karena hadir dengan terobosan nilai. Model bisnis IKEA yang sudah teruji di seluruh dunia menghasilkan manfaat sangat tinggi (product quality, convenience, simplicity, lifestyle), sekaligus customer’s cost seminim mungkin. Bagaimana IKEA bisa menekan customer’s cost? Ini letak inovasi nilainya. Caranya, IKEA menerapkan konsep gerai sebagai gudang sehingga murah dan praktis. IKEA juga merancang produknya bisa dirakit sendiri oleh konsumen sehingga memangkas biaya pemasangan.
Amaris menjadi demikian sukses masuk di hati konsumen kelas menengah dengan melakukan inovasi nilai dengan cara memangkas fasilitas-fasilitas yang tak menjadi prioritas bagi segmen yang dibidiknya seperti: fasilitas kolam renang, gym, restoran, kamar yang besar dan mewah, atau breakfast yang mahal. Hal yang sama dilakukan AirAsia di bisnis penerbangan. 7-Eleven merevolusi industri ritel dengan konsep inovasi nilai di segmen remaja ABG (anak baru gedhe). Nilai tinggi 7-Eleven terwujud melalui makanan-minuman branded dengan harga terjangkau, colokan listrik dan Wifi tak terbatas, dan tentu tempat nongkrong yang cool. Dengan inovasi nilainya IKEA (furnitur), Amaris (hotel), AirAsia (penerbangan), 7-Eleven (ritel), D’Cost (restoran), Android One (ponsel), Advan (tablet) memicu fenomena mass luxury di industri mereka masing-masing.
Dan jangan lupa, fenomena Pasar Santa dan street food di Jakarta, maraknya gerai online (OXL, Lazada, Bukalapak, dll), atau menjamurnya agen perjalanan online (Traveloka, Ticket.com, Pegi Pegi, dll), tak lain adalah terobosan-terobosan inovasi nilai yang menghasilkan nilai tinggi bagi konsumen. Semua fenomena inovasi nilai ini massif terjadi lima tahun terakhir seiring terjadinya revolusi konsumen kelas menengah di Indonesia.
Karena hebatnya tren inovasi nilai di tengah revolusi konsumen kelas menengah ini, kantor saya Inventure bersama majalah SWA berencana mengusung tema ini dalam sebuah conference besar Middle Class Forum (MCF) 2015, 11 Juni nanti di Jakarta. Ada sekitar 15 value innovators hadir untuk sharing strategi dan pengalaman mereka berolah inovasi nilai untuk memenangkan pasar kelas menengah Indonesia. Mari belajar dari mereka.