Tanggal 20 Mei nanti saya memperingati Hari Kebangkitan Nasional dengan menggelar sebuah konferensi yang sarat dengan nilai-nilai kebangkitan nasional 1908. Acara tersebut saya sebut Indonesia Brand Forum (IBF). Di forum konferensi yang mengambil tema: “Global Chaser: Merek Indonesia Perkasa di Pentas Dunia” itu saya akan mengundang sekitar 25 merek Indonesia hebat dan membanggakan (seperti Mayora, Kalbe, Indofood, Pertamina Pelumas, Polygon, Martha Tilaar, Sido Muncul, atau Garuda Indonesia) yang sukses bersaing di pasar internasional.
Dengan menghadirkan mereka berbagi kesuksesan, saya ingin menunjukkan bahwa bangsa ini perkasa di kancah dunia, bahwa Indonesia punya nyali dan bisa bersaing dengan bangsa-bangsa hebat lain di dunia. Saya ingin menunjukkan bahwa Indonesia bukan cuma bangsa yang bisanya gaduh (“Drama Cicak-Buaya”, “Kisruh Ahok”, “Pencidukan Novel Baswedan”, dan entah nanti apa lagi), tapi juga bangsa kerja, bangsa berkarya melalui merek-merek hebat membanggakan di atas. Melalui merek-merek lokal hebat itu sekaligus saya ingin menunjukkan bahwa Indonesia berpotensi menjadi bangsa besar dan dihormati di dunia.
Merek = Nilai Tambah
Mungkin Anda menganggap saya edan, apa hubungannya merek dengan kebangkitan nasional? Wajar saja, karena selama ini merek (brand) identik dengan citra miring. Merek identik dengan bisnis dan marketing yang tak kenal negara dan nasionalisme… “pokoknya yang penting cuan”. Merek juga identik dengan citra kapitalis. Ya, karena merek dianggap alat bagi negara maju kapitalis untuk merongrong dan menghisap pasar-pasar di negara berkembang seperti Indonesia. Celakanya lagi, merek juga identik dengan iklan tipu-tipu produsen di TV atau koran untuk membujuk dan mengelabuhi konsumen.
Nah, persepsi miring ini harus diluruskan. Kalau diperas-peras, makna dasar dari merek (brand atau branding) adalah nilai (value atau value-added). Jadi seluruh upaya kita untuk menciptakan dan menambahkan nilai ke suatu komoditas atau produk, itulah merek (sering disebut juga: “branding” atau “brand building”). Secangkir kopi tanpa merek yang disajikan di warung-warung gang senggol dijual 3000 perak. Tapi begitu disajikan di gerai Starbucks bisa laku 30.000 perak. Kenapa? Karena Starbucks telah menambahkan nilai (value added) ke dalamnya. Apakah konsumen marah atau kecewa dengan kenaikan harga fantastis 10 kali lipat itu? Sama sekali tidak. Kenapa? Karena konsumen mendapatkan manfaat 10 kali lipat atau bahkan lebih dengan adanya suntikan nilai tersebut. Jadi merek itu mulia sekali, bukan hal miring.
Kebangkitan
Sekarang balik lagi, apa hubungan kebangkitan nasional dan merek? Kemarin malam saya kebetulan nonton film Guru Bangsa Tjokroaminoto (film menyentuh kayak gini, Jokowi, seluruh menteri, dan seluruh politikus DPR harusnya wajib nonton). Menonton lebih dua jam saya serasa dibawa pada situasi tahun 1910-an dimana pemuda-pemuda intelektual kita: Tjokroaminoto, Agus Salim, Sukarno, atau Semaun berjuang memeras otak untuk menjadikan Indonesia lebih sejahtera dengan cara lepas dari penjajah. Hati mereka tercabik-cabik melihat kopi, cengkeh, dan beragam hasil bumi kita diangkut ke negeri penjajah hingga menyisakan kemelaratan dan kesengsaraan rakyat. Mereka marah dicap penjajah sebagai “seperempat manusia” yang boleh seenaknya diinjak-injak. Mereka tak rela bangsanya dianggap “bangsa seperempat”.
Terus-terang sembari menghayati film tersebut di dalam gedung bioskop, otak saya terombang-ambing antara tahun 1910-an dan 2015. Ya, karena walaupun jamannya berbeda, spirit dan substansi perjuangan mereka masih sama dan relevan hingga detik ini. Setelah 70 tahun merdeka, kebangkitan untuk menjadikan rakyat sejahtera, adil, dan makmur masih tetap relevan hingga detik ini. Kebangkitan untuk menjadikan bangsa ini bangsa besar dan dihormati di dunia, bukan “bangsa seperempat” juga tetap relevan. Pertanyaan besarnya tetap sama apakah itu di tahun 1910-an atau 2015, yaitu bagaimana kita mewujudkan itu semua.
Nah, bagi saya merek merupakan “alat perjuangan” ampuh untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur jauh dari kemelaratan dan kesengsaraan. Merek juga merupkan “alat perjuangan” strategis untuk menjadikan Indonesia adidaya ekonomi dunia, bukan “bangsa seperempat”.
Alat Perjuangan
Bagaimana ceritanya merek bisa menjadi alat perjuangan bangsa? Mari kita renungkan. Indonesia adalah salah satu penghasil kopi terbanyak dan terenak di dunia. Coba bayangkan, apa jadinya kalau komoditas kopi di seluruh penjuru tanah air diberi nilai (di-branding) seperti yang dilakukan Starbucks, sehingga memiliki harga amat tinggi di pasar dunia? Kalau itu bisa dilakukan, maka tak hanya petani kopi yang makmur-sejahtera, Indonesia juga akan dianggap sebagai “bangsa kopi” yang disegani dunia (sejajar dengan Swiss misalnya yang dianggap sebagai “bangsa arloji” atau Jepang sebagai “bangsa elektronik”).
Itu baru kopi. Bagaimana kalau kelapa sawit, cokelat, gula, teh, palawija, buah-buahan, sayur-sayuran, ikan, kuliner Nusantara dari Sabang sampai Merauke, destinasi wisata alam maupun budaya, minyak, batu bara, emas, nikel, hingga batu akik yang tersedia berlimpah di bumi pertiwi juga diberi nilai tambah melalui brand building? Pasti komoditas-komoditas tersebut akan tersulap menjadi merek yang hebat, berdaya saing kuat, dan memiliki nilai tinggi di pasar dunia. Dengan ekuitas merek yang tinggi maka kita bisa mempertahankan harga yang tinggi, tidak terombang-ambing di pasar seperti terjadi sekarang. Apakah harga Starbucks, McDonalds, atau Coca Cola terombang-ambing di pasar? Tak pernah!
Kalau kita bisa menjadikan komoditas kopi menjadi merek Kapal Api; pisang menjadi Sunpride; cokelat menjadi Silver Queen; teh menjadi Sosro; gula menjadi Gulaku; jamu menjadi Sido Muncul; maka bangsa ini akan menjadi bangsa besar. Kalau itu terwujud, maka Indonesia akan menjadi bangsa makmur dan berpengaruh di dunia dengan penciptaan nilai tambah melalui proses branding. Ingat, salah satu ciri bangsa besar adalah bangsa yang menghasilkan merek-merek tangguh di kancah global: Amerika, Inggris, Jerman, Jepang, dan terakhir Korea. Itulah sebabnya saya berani mengatakan bahwa merek bisa menjadi alat perjuangan bangsa ini untuk mencapai kemakmuran.
Di IBF 20 Mei nanti, tepatnya di Gedung Balai Kartini Jakarta, saya ingin menunjukkan bahwa para brand builder kita telah berjuang, memutar otak, memeras tenaga, sampai titik darah penghabisan untuk menghasilkan merek-merek Indonesia yang disegani dunia. Bagi saya, putera-putera terbaik bangsa yang berjuang menghasilkan merek-merek hebat itu adalah juga pahlawan bangsa. Mereka adalah orang-orang hebat, yang sama berjasanya dengan Tjokroaminoto, Agus Salim, Sukarno, atau Semaun. Bedanya, yang pertama untuk jaman tahun 1910-an. Yang kedua untuk tahun 2015 dan tahun-tahun berikutnya. Hidup merek Indonesia!!! check: www.indonesiabrandforum.com
2 comments
Bravo mas…saya pendengar setia Smart FM & terutama Senin pagi Brand mas Silih & mas Siwo , apakah umum atau perusahaan tertentu lainnya diluar peserta boleh hadir ? Kebetulan ada network saya yg kreatif & energetic spt mas juga , satunya promoter calon kampung Olympiade Indonesia dan yg lain partner Deutche Messe/spesialis pameran mendunia …mohon kontak pak Siwo , saya di 081219681198 matur nuwun Suryanto Sajono
Boleh, ini terbuka untuk umum mas. email saya: yuswohady@gmail.com
[…] saya minggu lalu membahas empat posisi strategis yang bisa dipilih oleh Global Chaser. Yang belum tahu, Global Chaser adalah perusahaan/merek Indonesia yang mampu menembus dan membangun […]