Java Jazz Festival datang lagi. Terus terang, saya melihat tahun ini minim bintang dibanding tahun-tahun sebelumnya. Tapi tetap saja, Java Jazz adalah suguhan hebat tak boleh terlewatkan. Setidaknya masih ada legenda-legenda jazz seperti Ramsey Lewis, Courtney Pine, Bobby McFerrin, atau Brad Mehldau dan Chris Botti. Dan seperti halnya tahun-tahun lalu, tiga hari full saya heboh betul “berburu panggung” sore hingga diri hari.
Di samping berburu panggung dan merasakan penampilan jazzer kelas dunia, hobi unik saya tiap kali nonton Java Jazz adalah mengamati penonton Java Jazz. Yup, sebagian besar mereka adalah kalangan kelas menengah (yes, Consumer 3000) yang haus hiburan berkelas dunia. Seperti sering saya tulis, kalangan ini memiliki tiga ciri utama: daya beli lumayan tinggi (high buying power), berpengetahuan dan haus informasi (knowledgeable), dan secara sosial terhubung satu sama lain (socially-connected). Yang ingin saya bahas dalam tulisan ini adalah ciri terakhir.
Selfie, Wefie
Yang paling menarik saya saat mengamati penonton Java Jazz adalah perilaku selfie-wefie mereka. Di mana-mana mereka selfie-wefie: di wall of fame tentu saja, di depan panggung, di tengah kerumunan penonton, di panggung terbuka, di stan-stan sponsor, di area food court, di manapun. Tak bisa foto selfie dengan si artis nggak papa, selfie bareng foto si artis juga tak kalah oke. Syaratnya cuma satu, di setiap foto selfie-wefie mereka harus ada logo atau atribut Java Jazz.
Inilah satu hal fenomenal yang saya temui di Java Jazz dari sisi perilaku konsumen: mereka nonton Java Jazz tak hanya untuk mendengarkan musisi jazz kelas dunia, tapi juga agar dilihat orang lain sedang nonton Java Jazz. Nggak penting pertunjukannya berkelas, nggak penting musisinya hebat, yang penting terlihat keren di Twitter, Instagram, atau Path karena sedang menonton Java Jazz. Di lihat orang lain memberi eksistensi bagi mereka.
Harus diakui setelah 11 tahun dibesut, Java Jazz (dan jazz secara umum) telah menjadi sebuah simbol kekerenan dan keprestisan. Java Jazz is a cool and prestigious brand. Nonton Java Jazz adalah “something awesome”, tak hanya karena keindahan musik dan kehebohan pertunjukannya, tapi juga karena bisa dipamerkan ke teman-teman, kolega di kantor, rekan bisnis, pacar dan calon pacar, kerabat di kampung, dan siapapun yang perlu dipameri.
Bagi mereka, menggemari, bisa menikmati, dan menjadi penonton Java Jazz adalah cermin posisi sosial tertentu yang prestisius. Mereka dianggap kelompok dengan gaya hidup, tingkat pengetahuan-wawasan, dan cita rasa seni tertentu, yang tak sembarang orang bisa memilikinya. Mereka membeli tiket Java Jazz bukan semata untuk menikmati keindahan musik jazz tapi juga untuk mendapatkan prestise sosial. Sama dengan seorang kaya membeli Ferrari bukan untuk ngebut (karena jalanan Jakarta macet ampun) tapi agar bisa narsis dilihat tetangga mampu beli Ferrari. Punya Ferrari adalah prestise sosial yang tak ternilai harganya.
Social Experience
Inilah abad revolusi media sosial. Ketika konsumen terhubung satu sama lain oleh media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, YouTube, atau Path, maka mereka begitu gampang berbagi citra diri (personal image) ke orang lain. Ketika media sosial memungkinkan kita menjangkau audiens yang begitu luas, maka kinilah saatnya kita mengumbar kenarsisan kita.
Sebut saja jaman ini adalah era “democartization of narcissism”. Era dimana siapapun mendapatkan hak penuh untuk narsis, nggak cuma monopoli Syahrini. Budaya “see and to be seen” pun menjadi wabah yang merajalela. Keinginan hakiki kita untuk dilihat dan diperhatikan (saya sebut: “naluri narsis”) pun menjadi terbebaskan dan terlampiaskan. Tagline YouTube “Broadcast Yourself” menjadi semacam “pekik kemerdekaan” yang menandai terbebasnya konsumen untuk memuaskan kebutuhan narsisnya.
Pengalaman berbagi foto selfie-wefie Java Jazz kita di Twitter atau Instagram menghasilkan apa yang saya sebut social experience. Ini semacam “kenikmatan sosial” yang kita peroleh saat kita disorot ribuan atau jutaan pasang mata teman-teman kita. Kenikmatan itu kita dapatkan jika kita diperhatikan orang lain. Atau kenikmatan yang kita peroleh jika kita berelasi, berbagi pengalaman, dan berinteraksi dengan orang-orang di luar kita. Sebuah relasi yang menghasilkan kebersamaan, kebanggaan, rasa percaya diri, aktualisasi diri, perasaan GR (gedhe rumongso), kebermaknaan diri, bahkan eksistensi diri.
Barangkali karena hal terakhir inilah event ini kian ramai dari tahun ke tahun. Karena kekuatan brand-nya sebagai symbol of coolness and prestige, Java Jazz memberi medium bagi eksistensi diri para penonton. Bagi mereka Java Jazz tak hanya ajang menikmati musik, tapi juga (yang lebih penting) ajang selfie-wefie.
1 comment
harusnya Java Jazz mulai mengikuti gebrakan Soundwave yang melarang selfie stick, karena katanya “they are preventing concertgoers from enjoying the show!” whats the point of attending a concert? bukankah untuk menikmati dan merayakan musik?