Saya sedih setiap kali melihat iklan program diskon besar-besaran yang dibesut oleh mal atau peritel. Kalau program itu dilakukan sesekali (misalnya karena pas Hari Raya atau Hari Kemerdekaan) sih nggak papa, ini dilakukan rutin tiap bulan. Kalau demikian adanya, maka brand-brand yang ada di mal atau peritel tersebut juga rutin memangkas harga.
Saya bukannya anti diskon. Diskon adalah salah satu bentuk sales promotion yang ampuh menarik konsumen. Seperti obat saja, kalau dosisnya pas, diskon bisa menjadi alat ampuh untuk menggaet omset, sekaligus membangun merek (building brand). Namun, jika dosisnya berlebihan bisa membikin celaka. Memang dalam jangka pendek, omset tergaet, namun dalam jangka panjang brand-ya bisa jatuh. Kenapa? Kalau keseringan menggelar diskon, takutnya brand dianggap berkualitas payah, tidak laku, atau dianggap murahan oleh konsumen.
Apa yang terjadi kalau brand Anda sudah terlanjur dipersepsi konsumen sebagai produk murahan? Ingat satu hal ini: kalau sudah dianggap brand murahan, maka untuk naik kelas sulitnya minta ampun. Karena itu saya punya kiat “berdiskon yang sehat”, yaitu program diskon yang tak merusak brand. Kiatnya: Anda boleh berdiskon, tapi jangan sampai brand Anda dianggap murahan.
Kebodohan
Bahaya terbesar berdiskon adalah jika Anda sudah terjerumus dalam destructive game yang disebut perang harga (price war). Kalau sudah terjadi price war maka brand Anda dan pesaing saling salip-menyalip menurunkan harga. Otomatis harga terus tergencet turun. Dan kalau sudah begitu, si pelanggan menjadi “cheer leaders” yang semakin getol memompa semangat pemain dengan meneriakan yel-yel: “How low can you go!!! How low can you go!!!”
Saya sering mengatakan price war adalah kebodohan terbesar seorang marketer. Kenapa bodoh? Karena ia betul-betul bodoh alias tak tahu lagi apa yang harus diperbuat untuk memenangkan pasar. Si marketer sudah tidak tahu lagi bagaimana mendiferensiasi produk. Tak tahu lagi bagaimana produk seharusnya diposisikan di pasar. Tak mampu lagi berinovasi. Tak mempan lagi berkreasi. Semua jalan seperti buntu. Karena sudah tak tahu lagi, jalan gampangnya: turun harga. “Apa sih susahnya turun harga?”
Merupakan sebuah bencana besar ketika seorang marketer terjangkit penyakit mematikan bernama penyakit “buntu pikir” dan “mati kreativitas”, lalu mengambil jalan “sesat”: perang harga. Menjangkitnya penyakit ini kalau dibiarkan akan menyebabkan produk ikut-ikutan terjangkit penyakit mematikan lain bernama “komoditisasi”. Apa itu? Produk menjadi rata-rata, medioker, pas-pasan, tak ada keunikan, tak ada diferensiasi, tak ada brand. Inilah “dosa terbesar” seorang marketer: membawa produk terjerembab ke dalam jebakan komoditisasi.
Membunuh
Coba lihat price war di bisnis telekomunikasi, airlines, atau elektronik. Semua pemain seperti berparade menunjukkan inovasi dan kreativitasnya. Bukan kreativitas dalam membangun diferensiasi, tapi (celakanya) kreativitas membangun persepsi produk paling murah, dengan kualitas produk medioker. Celakanya lagi, mereka membangun persepsi termurah itu sering kali dengan cara mengelabuhi si pelanggan. Misalnya, diskonnya gedhe minta ampun bahkan sampai 70%, tapi setelah diikuti syarat dan ketentuannya, ujung-ujungnya mahal juga. Atau, sebelum diskon diberikan harga dinaikkan setinggi langit. Kalau sudah begini, dosa si marketer menjadi bertumpuk-tumpuk.
Saya tak habis pikir kenapa marketer begitu suka menghanyutkan dirinya dalam kancah price war. Karena begitu si marketer memutuskan memasuki arena price war, maka sesungguhnya saat itu juga si marketer sedang “membunuh” brand secara perlahan tapi sistematis dalam jangka panjang. Memang dalam jangka pendek, turun harga dalam price war merupakan langkah ampuh untuk mendongkrak sales, market share atau bahkan profit. Namun dalam jangka panjang, brand positioning sebagai produk murahan merupakan erosi sistematis terhadap ekuitas merek (brand equity) yang sudah susah payah dibangun bertahun-tahun sebelumnya.
Hai para marketer… Ingat kalimat bijak ini: “Tugas hakiki seorang marketer adalah MEMBANGUN brand, bukan SECARA SISTEMATIS MEMBUNUHNYA… melalui price war”
3 comments
Wouww…. ternyata benar-benar mematikan produknya sendiri ketika memulai price war. Bergizi tulisannya pak
Sepakat mas, nah wawasan dan kuliah2 semisal ini yg penting bwt pelaku ekonomi semisal sy
Setuju bingits mas! Price war memang ga sehat. Lebih baik membuat diferensiasi dan berinovasi; lebih mahal gpp selama bisa memberi value yg lebih baik.