Awal tahun adalah saatnya para marketers mulai mengeksekusi marketing plan (MP). MP ini biasanya sudah dipersiapkan sejak September/Oktober tahun sebelumnya, tuntas dan disetujui manajemen di bulan Desember, dan kemudian awal Januari siap untuk dieksekusi. Di awal tahun ini ada baiknya jika saya me-review kembali bagaimana perancangan dan eksekusi MP untuk refleksi sebelum kita menjalankannya.
Sebagai konsultan, kebetulan saya banyak terlibat dalam beragam workshop perancangan MP di banyak perusahaan baik swasta, BUMN, maupun perusahaan multinasional. Ada temuan menarik yang saya dapati dari praktek perancangan MP ini. Ada tiga “kebiasaan buruk” yang menghinggapi para marketer dalam perancangan dan pelaksanaan MP.
Bad Habits #1: Ritual. Kebiasaan buruk pertama adalah, umumnya mereka menyikapi penyusunan MP sebagai sebuah ritual tahunan yang membosankan. Kenapa bisa begitu? Karena isinya gitu-gitu melulu, dari tahun ke tahun nggak banyak perubahan. Jadi tinggal copy-paste dari isi yang tersusun pada MP tahun sebelumnya.
Kenapa pakai jurus copy-paste, saya menduga karena para merketer malas melakukan kajian lingkungan bisnis baik kajian lingkungan makro (teknologi, politik, ekonomi, sosial), kajian terhadap pesaing, ataupun kajian pasar/pelanggan. Kalau kajian itu tidak dilakukan maka si marketer tak akan melihat perubahan lingkungan bisnis di tahun depan. Dan kalau lingkungan bisnisnya tidak berubah maka strategi, taktik, dan program yang disusun juga tidak akan berubah alias sami mawon.
Sejatinya, Anda tidak boleh menyusun strategi sebelum melakukan kajian perubahan lingkungan bisnis. Berdasarkan perubahan lingkungan bisnis itu, strategi, taktik, dan program pemasaran Anda susun. Kalau Anda tak menemukan adanya perubahan, karena memang tidak bisa atau karena memang malas, maka tentu saja strategi, taktik, dan program yang Anda susun tak akan banyak beda dengan tahun lalu. Itu sebabnya mengapa kemudian MP Anda cenderung sama dari tahun ke tahun.
Bad Habit #2: Obligation Not Requirement. Kebiasaan buruk kedua, mereka menyikapi penyusunan MP lebih karena “penugasan” dari si atasan, ketimbang “kebutuhan” untuk menyusun sebuah strategi dan program cespleng yang betul-betul mereka perlukan untuk bersaing di tahun depan. Karena penugasan, maka penyusunan MP lebih bersifat formalitas.
Celakanya lagi, banyak marketer menyusunnya dengan itikat “asal bos senang”. Tak heran jika kita banyak menjumpai MP yang dihiasi angka-angka dan skenario yang indah-indah, tidak lagi berdasarkan realitas yang ada di lapangan alias tidak fact-based. Kalau sudah demikian, ujung-ujungnya MP itu tidak executable, tidak cocok lagi ketika diimplementasi di lapangan.
Bad Habit #3: Lasting Forever. Dan kebiasaan buruk terakhir, setelah MP selesai dibikin, mereka cenderung menganggapnya sebagai “kitab suci” yang tak pernah dan tak berani diutik-utik isinya. MP itu menjadi dokumen keramat yang tak pernah ditinjau, tak pernah direvisi, tak pernah di adaptasi mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi si lapangan. MP ini ngendon lama di perpustakaan perusahaan, dan baru keluar dari sarangnya saat datang “musim” bikin MP berikutnya, menjelang akhir tahun.
Begitu selesai dibikin seharusnya MP bukanlah dokumen mati yang tak tersentuh, ia justru terbuka untuk dievaluasi kapanpun. MP seharusnya menjadi semacam “living organism” yang harus terus berubah, berevolusi, dan terus “belajar” mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi di lapangan saat diimplementasi. Caranya, MP haruslah dievaluasi, direvisi, dan diadaptasikan dengan perubahan yang ada.
Ingat, rumus baku di depan, bahwa begitu lingkungan bisnis berubah maka strategi, taktik, dan program yang harus Anda jalankan juga ikutan berubah. Pada saat MP diemplementasi, begitu Anda mendapati pesaing bergerak menyimpang dari yang Anda prediksikan, atau harga minyak tiba-tiba melonjak liar, maka pada saat itulah Anda harus bersiap merubah strategi, taktik, dan program.
Agar MP Anda terumus dan tereksekusi dengan baik tak ada jalan lain, Anda harus menghilangkan kebiasaan-kebiasaan buruk di atas. Kuncinya tiga: Jangan “copy-paste”, jangan “asal bos senang”, dan jangan jadikan “kitab suci”.
3 comments
Bener sekali mas siwo. Sering kita membuat marketing plan sebagai formalitas belaka. Sering kontrol eksekusinya tidak jalan sehingga goal tidak dapat tercapai juga. Mungkin sudah waktunya memilih aktivitas prioritas dan yg penting saja ya…
Kebiasan copy paste yg pasti banyak salahnya karena kemungkinan tidak dikorekasi 😉
Setuju bingits Mas Siwo!
Kita harus makin kreatif 🙂