Beberapa bulan lalu, aktor hebat peraih Oscar, Robin Williams, dikabarkan mengakhiri hidupnya dengan menggantung diri. Seluruh dunia terenyak, tak habis pikir bagaimana seseorang yang begitu sukses, bergelimang harta, dan bertabur ketenaran justru mengakhiri hidupnya dengan cara yang begitu hina dan konyol. Mengenai sebab kematian, sang istri mengatakan, beberapa waktu terakhir sebelum meninggal, sang aktor menghadapi masalah depresi, kecemasan akut, kesulitan tidur, hingga keluhan penyakit parkinson.
Kematian Williams adalah tragedi kemanusiaan di dalam dunia, ketika materialisme menjadi panglima, ketika kekayaan, jabatan, dan ketenaran menjadi dewa yang diagung-agungkan. Dalam dunia picik macam ini, kekuasaan dan uang harus dikejar hingga ke ujung dunia secara membabibuta, at all cost. Untuk menggapai semua itu, dimensi-dimensi lain kemanusiaan kita cenderung terabaikan. Akibatnya, keletihan karena kerja berlebih, stres, dan depresi menjadi penyakit sosial yang kian meradang. Celakanya lagi, kondisi menghimpit itu menjadi sumber bagi beragam penyakit dari diabetes, kanker, hingga parkinson.
Karena kenyataan mengenaskan itu, kini kesuksesan harus diredefinisi secara fundamental agar tidak melenceng lebih jauh. Sukses tak melulu menyangkut gelimang kekayaan, tak sebatas jabatan atau gemerlap ketenaran. Sukses adalah penghargaan terhadap kemanusiaan kita secara utuh, tanpa disunat sana-sini. Di sinilah diperlukan “ukuran ketiga” (third metric) untuk mendefinisikan ulang hakiki kesuksesan. Diperlukan kriteria ketiga karena dua kriteria sebelumnya, yaitu kekayaan (money) dan kekuasaan (power) sudah tidak memadai lagi.
Ukuran ketiga
Dalam Thrive, Arianna Huffington, pendiri koran daring (online) paling berpengaruh di Amerika saat ini, merumuskan ukuran kesuksesan ketiga tersebut mencakup empat elemen, yaitu kesehatan lahiriah-batiniah (well-being), ketakjuban (wonder), kearifan (wisdom), dan sikap memberi (giving). Dalam ukuran baru ini, sukses harus berbanding lurus dengan kebahagiaan; sukses haruslah sebangun dengan kebermaknaan hidup. Sukses adalah jiwa yang terus bertumbuh (thrive). “How we measure success is changing,” ujarnya.
Bagi Arianna, buku ini sangat emosional karena merupakan refleksi atas pengalaman personal yang sarat pembelajaran. Buku ini tercipta setelah ia bangkit dari keterpurukan karena terlalu terobsesi mengejar kesuksesan material, yaitu kekayaan dan kekuasaan. Untuk mewujudkan Huffington Post, ia superstres dan supersibuk bekerja 18 jam sehari, 7 hari seminggu. Hasilnya, awal April 2007, ia kolaps jatuh tak sadarkan diri, bersimbah darah, nyaris menyongsong ajal karena terlalu lelah bekerja.
Menurut ukuran konvensional, Arianna telah mencapai puncak sukses. Berkat sukses Huffington Post, ia masuk jajaran orang terkaya di Amerika. Namanya masuk dalam World’s 100 Most Influential People-nya majalah Time. Wajahnya menghiasi sampul majalah-majalah terkemuka dunia. Kurang apa? Namun, di tengah puncak kesuksesan tersebut, justru muncul pertanyaan eksistensial dari lubuk hatinya yang terdalam, “Seperti inikah kesuksesan yang saya cari, seperti inikah hidup yang saya dambakan?”
Ukuran ketiga mendesak dimasukkan dalam kriteria sukses agar kita tak terperosok lebih jauh menjadi “robot pengumpul uang” atau “mesin penimbun kekuasaan”, atau bahkan “monster pemburu ketenaran”. Sukses bukanlah to take you at the top of the world, melainkan to change the world. Sukses haruslah sarat dengan kerendahan hati, kontribusi kepada umat manusia, kekayaan nurani, kearifan budi, dan hidup yang penuh makna.
“How Will You Measure Your Life”
Dalam ungkapan yang berbeda, Prof Clayton Christensen, pencipta teori inovasi (disruptive innovation) dan penulis buku fenomenal The Innovator’s Dilemma, menempatkan ukuran sukses dalam posisi penting sebagai titik simpul dari keseluruhan perjalanan hidup untuk mencapai kebahagiaan. Dalam buku barunya, How Will You Measure Your Life?, profesor di sekolah bisnis Harvard ini menekankan, ukuran sukses merupakan kompas yang akan menuntun arah kehidupan kita. How will you measure your life, ujarnya, adalah pertanyaan mendasar yang harus dijawab sebelum kita menentukan arah kemudi kehidupan dalam mencapai kebahagiaan yang hakiki.
Dengan mengadopsi prinsip-prinsip scientific management yang menjadi bidang keahliannya, Clayton berargumen bahwa ukuran sukses dalam meniti karier, membina keluarga, dan membangun relasi dengan orang lain merupakan batu pijakan dalam mengalokasikan waktu, tenaga, talenta, dan uang yang kita punya untuk mewujudkan kebahagiaan hidup. Selama tak mampu merumuskan ukuran sukses hidup, maka selama itu pula kita tak akan mampu mengisi hidup dengan hal-hal bermakna yang memperkaya jiwa dan nurani.
Buku ini memiliki perspektif unik, berbeda sama sekali dengan kebanyakan buku mengenai inspirasi sukses lain, karena menggunakan teori-teori manajemen perusahaan sebagai tools dalam memandu kita melakukan pilihan-pilihan hidup yang tepat guna mencapai kehidupan yang bermakna. “Good theory help people steer to good decisions, not just in business, but in life, too,” ujar Clayton. Dengan bekal teori tersebut, buku ini memberikan arahan how to mengenai bagaimana kita menyusun visi dan tujuan hidup, menemukan passiondalamkarier,melakukan alokasi sumber daya (waktu, tenaga, pikiran, kekayaan, talenta), menyeimbangkan kehidupan keluarga dan pekerjaan, hingga membesarkan anak. Yang menarik, dalam menjelaskan teorinya, Prof Clayton menggunakan contoh-contoh kasus perusahaan seperti Honda, Dell, dan IKEA.
Wong urip iku mung mampir ngombe (orang hidup itu sekadar istirahat sejenak untuk mampir minum), begitu kata ungkapan bijak orang Jawa. Hidup itu hanya sebentar, maka kita harus mengisinya dengan hal-hal penuh makna. Kita akan menemukan kebahagiaan yang hakiki jika bisa menemukan makna di setiap detik hidup. Persis seperti kata Prof Clayton, untuk mewujudkannya, kita harus bisa menjawab pertanyaan how will you measure your life.
***
Titik Balik
Dua buku ini memiliki kemiripan substansi dan latar belakang penciptaan walaupun penulisnya tidak pernah janjian. Dua buku ini lahir sebagai refleksi personal penulisnya setelah mereka mengalami titik balik kehidupan. Arianna menulis Thrive setelah kolaps hampir menjemput ajal akibat kelelahan bekerja, sementara Prof Clayton menulis How Will You Measure Your Life setelah teridentifikasi mengidap follicular lymphoma (penyakit kanker yang telah menewaskan ayahnya) dan terkena stroke pada 2010.
Ketika berada di puncak sukses, Arianna sebagai pengusaha/jurnalis dan Clayton sebagai ilmuwan, mereka justru mengalami cobaan hidup begitu berat hingga terpuruk di titik terbawah. Di tengah kegalauan di titik nol, mereka melakukan perenungan mengenai hakikat sukses kehidupan dan menemukan bahwa sukses yang diraup selama ini semu belaka. Becermin pada pengalaman personal itu, mereka mencoba merumuskan jalan sukses yang lebih arif dan manusiawi.
Ide besar yang ingin disampaikan kedua penulis ini sama, yaitu bagaimana menemukan kebahagiaan hidup yang sesungguhnya dengan mengisinya dengan hal-hal bermakna. Becermin pada pengalaman personalnya, Arianna akhirnya menyadari bahwa uang dan jabatan ternyata bukanlah jawaban paripurna. Ada hal lain yang juga mendesak untuk digapai di tengah ajal yang selalu sigap mengintai, seperti kesehatan raga tak terjangkit beragam penyakit, ketenangan jiwa tak tertawan oleh stres karena bekerja, atau kearifan hidup yang diperoleh dari segudang pengalaman masa lalu.
Sementara itu, Prof Clayton, dengan kerangka teori manajemennya yang disiplin, menganjurkan kita menjalani hidup secara “strategis” dengan menetapkan arah, prioritas, strategi, dan alokasi sumber daya yang dimiliki. Menjalani hidup, dalam kacamata Prof Clayton, sesungguhnya tak banyak berbeda dengan mengoperasikan sebuah perusahaan, prinsip-prinsipnya sama. Ketika kita terlalu sibuk bekerja dan mengesampingkan keluarga misalnya, itu tak lain merupakan bentuk dari alokasi sumber daya yang tak benar (misallocation of resources). Ketika alokasi waktu, tenaga, pikiran, dan talenta kita terlalu banyak ditumpahkan kepada karier dan pekerjaan, “kepentingan” keluarga akan terkorbankan, dan dari sini akan timbul bibit-bibit masalah.
Karena menulis di tengah duka mendalam akibat titik balik hidup yang sangat tragis, tak heran jika energi, emosi, dan keterlibatan penulis dalam melahirkan buku ini begitu total. Barangkali karena totalitas ini, dua buku ini menjadi bestseller dunia. Dengan peristiwa tragis yang menimpanya, barangkali mereka merasa menjadi “orang terpilih” untuk mengingatkan kita semua untuk tidak terperosok dalam kesuksesan hidup yang semu.
Mengenai sukses yang sesungguhnya, ada satu benang merah yang menyatukan buah pikiran mereka (yang sekaligus menjadi happy-ending dari kedua buku ini), yaitu memberi (giving). Sukses yang sesungguhnya bukanlah menyangkut diri kita, melainkan orang lain. Sukses adalah kontribusi kepada orang lain. Sukses adalah memberi untuk orang lain. Persis seperti dibilang Albert Einstein, “only a life lived for others is the life worthwhile.”
***
Judul: Thrive: The Third Metric to Redefining Success and Creating a Life of Well-Being, Wisdom, and Wonder. Penulis: Arianna Huffington Penerbit: HarmonyBooks, 2014 Halaman: 352
Judul: How Will You Measure Your Life? Penulis: Clayton Christensen, James Allworth, Karen Dillon Penerbit: HarperBusiness, 2012 Halaman: 240
*Artikel ini telah dimuat di KompasKlass, Jumat 12 Desember 2014
3 comments
Dahsyat Pak tulisannya! Saya merasa termotivasi lebih lagi setelah Bapak menulis ini, saya jadi tahu bahwa ternyata perubahan ukuran sukses saya, terjadi karena ‘dorongan’ alam semesta kali ya pak? Umat manusia mulai sadar makna hidup yg sesungguhnya! Bravo Pak!
Subhanallah saya baca ini disaat sedang pening dengan rencana ke depan mas 🙂 , bukunya sudah ada edisi bahasa Indonesia ?
Terimakasih pak Yuswohady. Sy sudah pernah membaca versi cetaknya. Perkenankan sy share di medsos link ini. Barokallah