15 Juli mendatang di tengah-tengah bulan puasa, saya akan menggelar seminar di Jakarta “Membidik Konsumen Kelas Menengah Muslim Indonesia” mengacu pada survei kantor saya Inventure bersama majalah SWA mengenai perilaku pasar muslim. Seminar dan survei tersebut digelar karena saya melihat pasar muslim di Indonesia menggeliat dahsyat. Akibatnya, marketer tak bisa lagi melihat dengan sebelah mata pasar lukratif ini.
Maraknya pasar muslim paling gampang ditengarai dari adanya tren “revolusi hijab” yang massif terjadi di seluruh penjuru Tanah Air. Mendadak berbusana hijab menjadi tren gaya hidup yang menjalar bak virus ganas. Menariknya, tiba-tiba berhijab menjadi sesuatu yang cool, modern, trendy, dan begitu diminati wanita muslim. Kosmetik untuk pasar hijabers pun tumbuh luar biasa ditandai dengan adanya apa yang saya sebut “The Wardah Effect”.
Di bidang seni-budaya seperti karya novel, musik, atau film yang bernuansa Islam, kita juga menyaksikan fenomena yang tak kalah menggairahkan. Novel dan film “Ayat-Ayat Cinta” misalnya, beberapa tahun lalu mencapai sukses yang luar biasa bahkan mengalahkan film-film umum dalam menggaet penonton. Lagu dan musik bernuansa Islam (seperti lagu Bimbo, Opick, dsb) kini telah menjadi “musik pop” yang menjadi milik semua kalangan masyarakat tak hanya terbatas kaum muslim.
Di bidang ekonomi kita melihat tumbuh pesatnya bank syariah di Indonesia selama sepuluh tahun terakhir mencapai sekitar 40% setiap tahunnya. Wirausahawan muslim juga merebak di hampir seluruh daerah di Indonesia. Komunitas wirausaha yang dominan bernuansa muslim seperti Tangan Di Atas (TDA) misalnya, menjamur di berbagai kota Tanah Air.
Khas
Pasar muslim di Indonesia memiliki kekhasan tersendiri. Meskipun memiliki penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia bukanlah negara Islam, sehingga kaum muslimin di negeri ini terbuka pada eksposur perkembangan budaya global. Akulturasi budaya Islam, global, dan budaya lokal Indonesia melahirkan pasar muslim yang unik dan berbeda dengan pasar muslim di negara lain. Karena itu setiap pemasar yang ingin melayani pasar ini, perlu mencermati kekhasan ini. Kalau sampai keliru memahami, alih-alih menjadi merek yang dipilih oleh segmen ini, bisa jadi merek Anda justru tidak mereka sukai.
Selama beberapa tahun terakhir ini saya mengamati perilaku konsumen muslim Indonesia khususnya kelas menengahnya (middle-class moslem). Saya dan tim di Inventure telah melakukan studi kualitatif berupa observasi dan focus grop discussion untuk menemukenali profil konsumen muslim di Indonesia. Saya membagi konsumen muslim Indonesia menjadi empat sosok seperti tergambar pada matriks. Matriks tersebut tersusun atas dua dimensi perilaku konsumen, yaitu tingkat sumber daya (resources) yang dimiliki oleh konsumen muslim dan tingkat adopsi (adoption) mereka terhadap nilai-nilai Islam. Dua faktor tersebut sangat siknifikan memengaruhi perilaku mereka dalam memutuskan pembelian atau mengonsumsi produk. Dua faktor tersebut memengaruhi cara pandang mereka terhadap unique value proposition (UVP), baik UVP syariah maupun UVP konvensional, yang ditawarkan oleh merek.
“Universalist” (High Adoption – High Resources). Konsumen tipe ini merupakan sosok muslim yang secara umum memiliki wawasan yang luas serta menerapkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan keseharian mereka. Sosok muslim seperti ini lebih mau menerima perbedaan dan cenderung menjunjung tinggi nilai-nilai yang bersifat universal dan kritis. Mereka biasanya tidak malu untuk berbeda, tetapi di sisi lain mereka cenderung menerima perbedaan orang lain.
Konsumen muslim tipe ini tidak menilai UVP suatu merek sekedar dari label ataupun tampilan luarnya. Mereka tidak segan untuk mengorek lebih dalam cara dan bagaimana sebuah merek dihasilkan. Jangan heran jika merek yang mereka minati mungkin bukanlah merek berlabel Islam tapi justru merek-merek global tanpa embel-embel Islam, ketika memang merek global itu memiliki benefit yang lebih unggul. Merek yang secara substansial lebih “Islami”, lebih mereka minati ketimbang merek yang sekedar berlabel “Islam”.
“Conformist” (High Adoption – Low Resources). Tipe konsumen ini umumnya sangat taat beribadah dan menerapkan nilai-nilai Islam dalam kesehariannya. Karena keterbatasan sumber daya yang dimiliki (terutama pengetahuan), untuk mempermudah pengambilan keputusan mereka memilih produk-produk yang berlabel Islam atau yang di-“endorsed” oleh otoritas Islam atau tokoh Islam panutan. Pada umumnya mereka mengutamakan faktor ketaatan kepada ajaran Islam yang mereka yakini, sehingga walaupun produk berlabel Islam itu memiliki kekurangan-kekurangan fungsional, dengan mudah mereka memaklumi.
Ambil contoh dalam kasus layanan kredit pemilikan rumah (KPR). Konsumen tipe ini akan rela membayar lebih mahal untuk KPR yang mereka ambil dari bank syariah dibandingkan dengan jika mereka mengambilnya dari bank konvensional. Ya karena bagi mereka ketaatan kepada nilai-nilai Islam yang mereka yakini jauh lebih penting dari kerugian material yang harus mereka tanggung. Dengan berbank syariah secara benar tanpa ada unsur riba mereka mendapatkan ketenteraman hati dan beroleh pahala.
“Rationalist” (Low Adoption – High Resources). Konsumen tipe ini memiliki pendidikan dan wawasan yang luas tetapi memiliki tingkat adopsi nilai-nilai Islam yang rendah. Segmen ini serupa dengan tipe konsumen muslim “Universalist” dimana mereka sangat kritis dalam melakukan pemilihan produk. Perbedaannya, konsumen ini lebih memperhatikan manfaat dari produk yang ia beli baik fungsional (functional benefit) ataupun emosional (emotional benefit). Label Islam atau UVP syariah bukan menjadi konsideran penting bagi mereka.
Ambil contoh pertimbangan dalam menggunakan busana muslim. Bisa saja motif mereka mengenakan busana muslimah adalah agar ia terlihat “baik” dan “diterima” oleh kalangan tertentu, bukan karena dilandasi kesadaran untuk menunaikan ajaran agama. Contoh yang lain, bisa saja konsumen tipe ini memilih produk keuangan syariah berdasarkan perolehan bagi hasil yang lebih besar dibandingkan jika ia menggunakan produk dari bank konvensional.
“Apathist” (Low Adoption – Low Resources). Tipe konsumen muslim yang terakhir adalah muslim yang memiliki pengetahuan/wawasan yang rendah dan adopsi nilai-nilai Islamnya juga rendah. Konsumen tipe ini umumnya tidak memiliki pemahaman yang cukup mengenai merek-merek berlabel Islam atau menawarkan UVP yang Islami. Mereka tidak melihat adanya perbedaan antara merek-merek Islam dan merek konvensional. Dalam memandang merek-merek berlabel Islam atau menawarkan UVP yang Islami, konsumen ini apatis dan cenderung mengatakan “emang gue pikirin”. Konsumen ini pada umumnya masih bergumul dengan kebutuhan dasar (basic needs) dan masih belum memperhatikan UVP yang bermuatan spiritual.
1 comment
Gimana cara mendaftarnya?