Hari Senin (25/2) lalu saya bersama hampir 200 teman-teman entrepreneur di Komunitas Memberi (@memberiID) mendapat kesempatan emas berkunjung di Garuda Indonesia. Kesempatan emas, karena kami disambut khusus oleh pak Faik Fahmi, Direktur Layanan, yang menjadi master mind di balik inisiatif servis kelas dunia yang diusung flagship carrier kebanggaan Indonesia ini.
Teman-teman entrepreneur begitu takjub mendengar paparan Pak Faik mengenai New Service Concept Garuda Indonesia. Maka saya pun kemudian mendapatkan cerita-cerita inspiring dari tangan pertama mengenai bagaimana Garuda mengusung servisnya. Yang paling menarik tentu adalah konsep “Garuda Indonesia Experience” dan layanan First Class yang relaunch tahun lalu setelah sempat absen selama 18 tahun.
Menyimak paparan pak Faik mengenai servis kelas dunia ala Garuda, entah kenapa dada ini terasa meledak-ledak. Sekonyong-konyong menyeruak kebanggaan atas karya anak negeRI. Saya bangga bahwa bangsa ini rupanya bukan hanya bisa membikin tahu-tempe, tapi juga meracik sebuan mahakarya layanan berkelas dunia yang laku keras di pasar mancanegara. Ya, karena layanan Garuda saat ini merupakan salah satu yang terbaik di dunia.
Branded Service
Ada dua pelajaran servis yang saya dapat dari Pak Faik dan Garuda Indonesia. Pertama adalah bahwa servis, sepeti juga halnya produk, bisa di-branding menghasilkan unbeatable differentiation ketika diramu dengan cerdas. Bagaimana Garuda mem-branding servisnya? Ini yang menarik. Agar berbeda dari pesaing di seluruh dunia, Garuda menggunakan keunikan local wisdom dan budaya Indonesia yang eksotik.
Kekayaan budaya Indonesia dari Sabang sampai Merauke dijadikan sebagai penanda identitas merek (brand identity) Garuda sehingga sulit ditiru oleh pesaing manapun. Dengan begitu Garuda sekaligus menjalankan misi mulia melakukan branding terhadap Indonesia alias country branding. Kemanapun Garuda terbang di seluruh penjuru dunia, ia serta-merta menjalankan misi maha mulia mengharumkan nama Indonesia. Sebuah “two-in-one” strategy yang saya kira sangat cerdas.
Branded service yang dinamai “Garuda Indonesia Experience” itu oleh pak Faik disebut sebagai “a concept of service designed to allow passengers to experience Indonesia at its best”. Bagaimana bentuknya? Bentuknya dengan menyentuh lima panca indera penumpang (5 senses: sight, sound, scent, taste, touch) di 28 titik sentuh penumpang (customer touch points) selama mereka menikmati perjalanan bersama Garuda mulai dari pre-journey, pre-flight, post flight, hingga post-journey.
Gampangnya, ketika terbang bersama Garuda maka Anda akan disuguhi pengalaman khas Indonesia seperti sapa dan senyum ikhlas khas Indonesia (touch), kuliner khas Indonesia dari Sabang sampai Merauke (taste), lagu daerah khas Indonesia dengan aransemen mutakhir Addie MS (sound), juga tentu para pramugari cantik berbalut kebaya batik (sight).
Detail
Pelajaran kedua yang saya dapat adalah bahwa kunci dari sebuah service excellence, apapun bentuknya, adalah detail. Service excellence mustahil diwujudkan tanpa adanya attention to detail. Bahkan saya berani mengatakan bahwa “roh”-nya servis adalah attention to detail, ketelitian yang luar biasa. Dan karenanya orang servis mutlak harus memiliki budaya attention to detail.
Mengenai attention to detail, Pak Faik memberikan contoh yang sangat simpel tapi mengena ke ulu hati. “Di kabin First Class Garuda, bunyi sendok saja bisa menjadi masalah besar,” ujarnya. Lho kok bisa? Saat perjalanan pesawat tengah malam, ketika penumpang sedang terlelap tidur, penumpang First Class Garuda bisa complaint ketika si pramugari menimbulkan suara-suara yang bisa membangunkan tidur lelap mereka. Karena itu pramugari First Class memang dilatih memiliki kepekaan luar biasa agar tak sekecilpun mengeluarkan suara saat si penumpang super istimewa ini sedang terlelap tidur.
Mendadak sontak saya jadi teringat pengalaman kontras seminggu sebelumnya, saat saya makan di salah satu restoran waralaba lokal kondang yang menurut saya serampangan menjalankan servis. Selama setengah jam makan di restoran tersebut saya mendapatkan bad experience mulai dari wastafel yang jorok minta ampun, respons pesanan makanan yang lama, tampilan pelayan yang seadanya, hingga muka petugas kasir yang masam dan pelit senyum akibat beban kesibukan yang menghimpit.
Why not restoran tersebut tak bisa memberikan standar servis kelas dunia seperti halnya Garuda. Masalahnya sesungguhnya simpel. Pertama karena si pemilik restoran tak sungguh-sungguh dan tak memiliki sense of urgency untuk menciptakan service excellence. Ia berpikir, begitu makanan yang disajikan enak, semuanya akan beres. Kedua, ia tidak memiliki attention to detail dalam men-deliver servis. Ia masih punya mindset bahwa servis bisa dijalankan secara sembarangan. Mindset inilah yang harus diubah.
Dari ngobrol dengan teman-teman entrepreneurs yang umumnya pelaku usaha kecil/menengah, (UKM) saya menangkap keresahan di wajah mereka setelah mendengar paparan Pak Faik. Kenapa mereka resah? Karena mereka terkena shock therapy. Di dalam hati mereka malu bukan main sambil bergumam, “Garuda yang segedhe gajah aja begitu serius dan detail menjalankan servis, kami yang masih liliput serampangan melakukannya.”
Harap tahu saja, salah satu tujuan saya mendirikan Komunitas Memberi adalah memberikan shock therapy macam ini kepada UKMers di seluruh Tanah Air. Agar apa? Agar mereka bangun dari tidur panjang untuk menjadi perusahaan kelas dunia, seperti halnya Garuda.
4 comments
thanks inpirasinya mas yuswohady!
ayo maju brand Indonesia!
Jd Service selain about “Attention to detail”, jg mesti pake hati ya Pak… 🙂
Btw, contoh ttg “Scent”nya belum disebut Pak…:D
Memang salah 1 paling menyenangkan dalam berbisnis adalah bisa memberi PELAYANAN yang MENYENANGKAN.
Karena semua yang kita BERIKAN, adalah untuk KITA juga.
Dahsyat !!
🙂
Keren dan menginspirasi. Sukses utk UKM Indonesia …