Tak bisa disangkal lagi bahwa bisnis merupakan salah satu biang dari kian kurusnya bumi dan turunnya kualitas lingkungan; musabab segepok problem sosial dari kesehatan, pendidikan, hingga korupsi; juga kontributor persoalan-persoalan ekonomi dari kemiskinan hingga ketidakberdayaan masyarakat tertinggal.
Coba saja lihat “dosa-dosa” dunia bisnis. Yang bisnis minyak dan batu bara menguras kekayaan dari dalam bumi tanpa mengenal ampun. Yang bisnis rokok dan minuman bersoda menjadi biang kompleksitas masalah kesehatan. Yang bisnis properti membabi-buta membangun gedung dan perumahan yang menjadikan Jakarta tenggelam. Yang bisnis mobil-motor memicu kemacetan dan polusi yang bikin stres semua orang.
Ketika kini persoalan ekonomi, sosial, dan lingkungan merajalela di masyarakat, maka bisnis tak bisa cuci tangan menganggap semua persoalan itu adalah tanggung jawab pemerintah atau LSM. Bisnis haruslah menempatkannya di jantung operasinya: menjadi core activity-nya, bukan sekedar lipstik berkedok corporate responsibility.
Bahkan bisnis harus menjadikan pemecahan persoalan ekonomi, sosial, dan lingkungan sebagai “reason for being” dari operasinya. Kalau bisnis tak mampu memberi solusi bagi masyarakat lingkungannya, maka tak selayaknya ia hidup.
Saya berani mengatakan “by default, business must be an economic, social, and environmental problem solver.” Ini haruslah menjadi “Pancasila”-nya setiap pelaku bisnis. Kemalangan terbesar pelaku bisnis jika ia selfish mengeruk keuntungan tanpa mau tahu bahwa kemiskinan, kriminalitas, korupsi, degradasi lingkungan menjadi kanker mematikan di masyarakat lingkungannya. Kini bisnis tak bisa hidup di ruang vakum, ia harus peduli.
Meminjam ungkapan dalam Islam, bisnis haruslah mejadi “rahmatan lil alamin”, menjadi rahmat bagi seluruh umat manusia; rahmat bagi sekalian alam.
CSV
Saya bungah luar biasa membaca artikel dari “mbahnya strategi” Michael Porter di Harvard Business Review berjudul “Creating Shared Value” tiga tahun lalu. Beberapa hari ini artikel tersebut saya baca-baca kembali karena kebetulan ada project assignment ke klien, dan sekali lagi saya bungah. Kenapa?
Ya, karena apa yang saya pikirkan bertahun-tahun mengenai redefenisi peran bisnis yang tak hanya sekedar economic animal dan profit-making entity rupanya juga dipikirkan dan dikaji oleh mbahnya strategi sekelas Michael Porter. Saya pun berandai-andai, ketika seorang Michael Porter saja sudah merumuskan peran mulia bisnis, maka saya berharap itu menjadi global movement, menjadi semangat jaman.
Creating Shared Value (CSV) adalah sebuah konsep yang mengharuskan perusahaan memainkan peran ganda menciptakan nilai ekonomi (economic value) dan nilai sosial (social value) secara bersama-sama (shared), tanpa salah satu diutamakan atau dikesampingkan. Memberikan solusi terhadap persoalan-persoalan ekonomi, sosial, dan lingkungan bukanlah pekerjaan sampingan, tapi haruslah embedded di dalam jantung strategi perusahaan. Bukan sekedar lipstik.
The Body Shop menampung hasil petani di negara berkembang (community trade) bukanlah sekedar lipstik, tapi sudah menjadi jantung strateginya. Grameen Bank mengentaskan kaum papa melalui pembiayaan mikro bukanlah lipstik, tapi sudah menjadi core strategy-nya. Toms Shoes membagikan sepasang sepatu untuk anak-anak miskin di Brazil bukanlah sekedar lipstik, tapi sudah menjadi reason for being bagi keberadaannya.
Bukan CSR
CSV bukanlah CSR (corporate social responsibility). Praktek yang umum berlangsung hingga saat ini, CSR diarahkan untuk menciptakan citra dan reputasi perusahaan agar kinclong bersinar. Celakanya, banyak perusahaan-perusahaan yang sesungguhnya tidak kinclong dipoles sedemikian rupa hingga terlihat kinclong. Banyak perusahaan-perusahaan yang merusak lingkungan, merusak kesehatan masyarakat, atau menjadi biang persoalan sosial, menutupinya dengan kedok corporate responsibility, philantrophy, atau sustainability.
CSV sebaliknya, dilaksanakan dengan niatan mulia untuk memecahkan persoalan-persoalan sosial yang selaras dengan upaya untuk menghasilkan profit. Kata Porter, “companies can create economic value by creating societal value”. Jadi penyelesaian persoalan sosial tidak ditempatkan sebagai aktivitas sampingan, tapi dilaksanakan sepenuh hati sebagai bagian dari misi dan eksistensi perusahaan.
Praktek CSR yang selama ini masih banyak terjadi adalah, perusahaan menyisihkan sebagian kecil dari profitnya (2-5%) untuk membantu bencana gempa atau banjir, memberdayakan UKM (di BUMN melalui Program Kemitraan dan Bina Lingkungan: PKBL), atau menyelenggarakan beragam award di bidang sosial-kemasyarakatan yang menyentuh kalbu.
Nah, yang penting bagi perusahaan bukanlah kegiatan-kegiatan itu dan bagaimana kegiatan itu menghasilkan solusi terhadap persoalan sosial. Yang terpenting justru liputan dan foto-foto kegiatan tersebut terpampang di halaman-halaman advertorial koran. Tujuannya jelas untuk membagun corporate image tadi. Dengan polesan di sana-sini, maka borok-borok dan bisul-bisul pun wes ewesss ewess.. bablasss. CSV tidak selfish macam begini.
Bisnis di Indonesia harus mulai berbuat baik (“do good”) dan menebar kebaikan (“spreading goodness”). Berbuat baik bukan hasil dari polesan dan kepura-puraan; tapi yang betul-betul authentic dan muncul dari nurani yang paling dalam. Demi kebaikan Indonesia, demi kejayaan Indonesia.
Itu artinya… bisnis di Indonesia harus mulai meredefinisi aktivitas CSR menjadi CSV.
7 comments
Distro Voxitive juga berupaya “menyebarkan kebaikan” melalui gerakan suarakan tentang hal positif 🙂
Kereen… kebaikan itu biasanya menular..
[…] Yuswohady.com Related PostsPertanyaan untuk Bisnis AndaMenghindari Jebakan MediokerKonferensi Pebisnis Muslim […]
Di era serba terbuka dan flat ini yang jelek/palsu pasti mati dengan sendirinya !! #yakin
Ngena banget om hadi..
Selama ini saya mmg kepikiran dengan ‘lipstik’ CSR ini. Apalagi tujuannya sederet dengan penampilan seremoni advertorial di surat kabar ‘keesokan harinya’.
Kalo bentuk CSV-nya bertanggung jawab terhadap ‘limbah’ produk after use gimana om?
Misal, pabrik pampers bertanggung jawab dengan pengolahan limbah pampers.
Perusahaan otomotif bertanggungjawab terhadap kendaraan keluaran pabrik mereka yang sudah uzur.
dan sebagainya..
Gimana om?
Menurut saya, perubahan memang sudah fokus pada ‘back to basic’ ya Pak? Faktor “manusia”nya yang pada dasarnya suka berbagi, bersosialisasi, toleransi. Dari sononya sudah diciptakan dengan maksud baik sih…
Mas Siwo, nuwun sewu barangkali bisa diberikan contoh apakah sudah ada perusahaan di Indonesia yang melaksanakan CSV?