Sudah menjadi ritual tahunan, setiap akhir tahun saya merapel baca buku. Ini sekaligus untuk “menghapus dosa” diri yang berbulan-bulan sebelumnya terus beralasan nggak punya waktu membaca. Biasanya di awal bulan Desember saya list sejumlah buku yang menurut saya “the best book of the year”. Lalu dilihat mana-mana yang belum terbaca dan kemudian dikebut baca agar sebelum pergantian tahun buku-buku itu kelar seluruhnya.
Salah satu buku terbitan tahun lalu yang mencuri perhatian saya adalah David and Goliath tulisan Malcolm Gladwell. Buku ini menarik, karena membukakan mata saya bahwa kecil itu tak selalu mesti harus menjadi kelemahan, begitupun besar tak selalu kekuatan. Bahkan justru kecil bisa menjadi kekuatan (“the advantages of disadvantages”), sebaliknya besar bisa menjadi kelemahan (“disadvantage of advantages“).
Ciptakan Rule of the Game
Conventional wisdom akan mengatakan bahwa Goliath berada di atas angin dan gampang sekali mengalahkan David karena tubuhnya yang besar, ototnya yang kekar, dan pedangnya yang setajam petir. Namun apa yang terjadi? Goliath justru tumbang dan kepalanya terpotong oleh pedang miliknya.
Kenapa bisa begitu? Karena David tak mau bertarung ala Goliath. Ia menciptakan rule of the game-nya sendiri, kemudian mendikte dan mendominasi rule of the game tersebut untuk menumbangkan Goliath. David tahu bahwa di balik kelebihan tubuh besarnya Goliath memiliki kelemahan fatal: gerak yang lamban, manuver yang terbatas, dan matanya yang rabun sehingga tak bisa melihat jarak jauh.
Dengan cerdas David membalik kelemahannya yaitu tubuh yang kecil, menjadi kekuatan mematikan: kecepatan gerak dan kelincahan bermanuver. Tahu bahwa mata Goliath rabun, David pun tak mau bertarung jarak dekat sehingga Goliath sulit mengamati gerak cepat David. Dengan pergerakan tubuh yang cepat, kelincahan bermanuver, dan ketepel di tangan, David pun siap mengendalikan pertarungan.
Dengan tidak terpancing melakukan pertarungan jarak dekat, David mengambil posisi yang tepat, dan dalam sekejap mata… “darrr!!!” peluru ketepelnya tepat mendarat di jidat dan serta-merta Goliath terkapar. Tak mau kehilangan kesempatan, secepat kilat David pun mengambil pedang terhunus dari tangan Goliath dan menggunakan untuk memotong lehernya.
Kenapa David bisa menang? Pertama, karena ia tahu betul kelemahan dan kekuatan dirinya, maupun kekuatan dan kelemahan lawan. Tak cuma itu, ia juga cerdas membalikkan kelemahan tersebut menjadi kekuatan untuk dijadikan senjata pamungkas memenangkan pertarungan.
Kedua, ia menciptakan rule of the game-nya sendiri mengacu pada kekuatan yang dia miliki seperti: bertarung jarak jauh, menggunakan ketepel bukan kekuatan otot dan pedang, memaksimalkan manuver dan kecepatan. Ia tak mau sedikitpun terjebak pada rule of the game si besar Goliath. Inilah pelajaran terpenting pertarungan David vs Goliath.
Menyalip Ala David
Buku David and Goliath mengingatkan saya pada kondisi bisnis tahun 2014 yang penuh ranjau. Dua minggu lalu di rubrik ini saya menulis artikel mengenai marketing outlook 2014. Saya katakan di situ bahwa tahun 2014 merupakaan tahun berat karena berbagai perkembangan tak menguntungkan: rupiah terjun bebas, pertumbuhan ekonomi melambat, hingga gonjang-ganjing politik akibat pemilu.
Di artikel tersebut saya juga mengusulkan kepada para marketer untuk memanfaatkan momentum tahun berat untuk bisa “menyalip di tikungan”. Maksudnya memanfaatkan riak-riak perubahan yang terjadi untuk mengalahkan pesaing.
Nah, melalui artikel kali ini saya ingin mengatakan bahwa tahun 2014 adalah “Tahun si David”, alias “Tahun si Kecil” alias “Tahun si UKM”. Kenapa? Karena ontran-ontran ekonomi-politik 2014 seharusnya menjadi momentum peluang yang luar biasa bagi usaha kecil menengah (UKM) untuk bisa menyalip di tikungan. Ketika kondisi stabil, kecil kemungkinan UKM bisa beat the giant. Justru ketika bisnis sedang bergolak, kans untuk bisa menyalip di tikungan terbuka lebar.
Ada dua alasan kenapa UKM punya kans lebih besar untuk menyalip di tikungan. Pertama, seperti halnya David, karena kekecilannya UKM bisa lebih cepat bergerak, lebih lincah bermanuver, dan lebih fleksibel memainkan strategi untuk memenangkan persaingan. Di tengah kondisi bisnis yang bergolak, kecepatan, kelincahan, dan fleksibilitas merupakan harta karun tak ternilai.
Kedua, kita tahu kebanyakan UKM memiliki local content tinggi, bahkan 100%. Nah, ketika rupiah makin terpuruk digerus dolar, UKM akan lebih kompetitif dibandingkan perusahaan-perusahaan besar dan perusahaan asing yang kebanyakan bahan bakunya bergantung pada impor. Cost advantage yang dinikmati UKM ini seharusnya menjadi peluang emas untuk menyalip di tikungan.
Lalu bagaimana UKM bisa menyalip di tikungan? Kiatnya persis yang dilakukan David. Pertama-tama kenali kelemahan-kekuatan diri maupun lawan; balikkan kelemahan tersebut menjadi kekuatan; lalu ciptakan rule of the game Anda sendiri mengacu pada kekuatan tersebut.
Ingat, jangan sampai tergoda masuk pada jebakan rule of the game pemain besar. Karena kalau dilakukan, itu artinya Anda bunuh diri.
Selamat datang 2014. Selamat datang “Tahun si Kecil”.
3 comments
[…] by yuswohady UKM harus optimis menyambut 2014!!! Walaupun 2014 adalah tahun penuh ranjau dan pergolakan (rupiah terjun bebas, ekonomi melambat, gonjang-ganjing pemilu), dengan berbekal kapabilitas berkelas dunia, UKM harus optimis bisa “menyalip di tikungan” dan memenangkan persaingan. […]
Pak Yuswo dan Malcolm Gladwell sudah senada dan seirama nih ! Yang kecil memang harus realistis dan cerdik. Tantangannya adalah membuat pemain-pemain kecil ini ter-expose dengan informasi2 dari Pak Yuswo dan Gladwell ini ya Pak? Kita-kita yg harus bisa jadi ‘jembatannya ‘ ya?
hal yg sulit bagi manusia adalah memahami diri sendiri : kelebihannya
kelemahannya dan posisi dirinya di tengah hidup yg penuh dg persaingan ini