Manekin umumnya ada di mal atau department store. Tapi kini mulai banyak saya temui di rumah-rumah di seluruh penjuru Tanah Air. Coba saja lihat tipikal suasana keluarga kelas menengah Jakarta di Sabtu pagi yang cerah. Di ruang keluarga, di situ tercermin kedekatan sebuah keluarga muda yang begitu indah. Di ruangan itu ada si bapak, si ibu, dan si anak yang usianya belum genap tujuh tahun. Mereka sama-sama di depan TV ruang keluarga, duduk di satu sofa yang sama, wajahnya berseri-seri penuh kebahagiaan. Melihat kedekatan mereka terlintas potret sebuah keluarga yang ideal.
Tapi tunggu dulu. Di balik kedekatan tersebut sesungguhnya ada satu hal yang nggak beres. Coba kita lihat apa yang mereka masing-masing lakukan. Si bapak duduk di sofa sibuk dengan laptopnya mengutak-atik presentasi Powerpoint yang hari Seninnya harus dipresentasikan ke bos di kantor. Di samping mengerjakan presentasinya, tentu saja ia tetap multifungsi, dengan begitu lincah membagi perhatianya pada akun Twitter, Youtube, dan layar televisi yang ada persis di depannya.
Ibu ngapain? Duduk di sofa sampingan dengan sang ayah, si ibu sedang semedi dengan Galaxi Tab di tangan. Setali tiga uang dengan si ayah, si ibu pun begitu piawai memainkan layar sentuh tablet-nya dari Twitter ke Facebook ke Instagram ke Gmail ke Twitter lagi ke blog ke Play Store berburu apps ke Facebook balik lagi ke Instagram dan seterusnya. Jangan lupa, di tangan kiri si ibu muda nan trendi dan techy ini juga terpegang Blackberry yang terus meraung-raung. Obrolan teman-teman BB group pagi itu demikian seru sehingga sayang dilewatkan. Tak heran jika di tengah-tengah kekhusukan bersemedi, sesekali si ibu senyum-senyum sendiri, kadang geli.
Nah sekarang si anak lagi ngapain? Tentu saja si anak nonton TV. Sesekali ia pencet-pencet tombol remote untuk memindah-mindah channel dari Cartoon Network ke Disney Channel ke Nickelodeon. Rupanya menonton TV adalah aktivitas sambilan si anak. Aktivitas utamanya adalah fokus pada layar smartphone Android yang tak pernah lepas dari tanganya. Eh jangan salah, anak-anak sekarang di usia dini pegangan-nya sudah gadget nan canggih. Beragam aplikasi games satu persatu ia jajal. Saking serunya itu games, sesekali si anak berteriak keras, mengumpat “sialan!!!” saat kalah bermain, atau menggoyang-goyang tubuhnya yang tambun.
Disconnection
So, di balik potret kedekatan keluarga yang kasat mata terlihat menyejukkan hati itu sesungguhnya terjadi sebuah tragedi keluarga yang dahsyat. Sebuat saja itu sebagai “tragedi keluarga terbesar abad ini”. Tragedi apa gerangan? Bahwa hubungan kita dengan istri kita, suami kita, dan anak kita sedang dalam masalah besar. Coba saja lihat, walaupun secara fisik si bapak, si ibu, dan si anak berada di sofa yang sama, namun selama tiga jam kebersamaan mereka di pagi yang cerah itu, praktis mereka tak saling bicara. Mereka telah menjadi “manekin” yang dingin tak banyak bicara.
Mereka menjadi manekin mini-kata karena perhatian mereka terhisap oleh gadget mereka. Dunia di dalam gadget demikian indah dan memabukkan sehingga mengalahkan perhatian pada suami, istri, dan anak. Sesekali memang mereka saling bicara, namun mata dan hati mereka tak pernah bisa lepas dari layar sentuh gadget.
Perhatian kepada suami, istri, dan anak kemudian menjadi “prioritas kedua, ketiga, atau keempat”, terkalahkan oleh prioritas pertama menyeburkan diri dalam dunia indah di dalam gadget mereka. Tak mengherankan jika kini muncul tren suami bicara ke istri, bapak bicara ke anak, atau anak bicara ke ibu dilakukan secara “sambil lalu”. Mereka bicara tanpa “mata ketemu mata”. Mereka ngobrol “tanpa hati ketemu hati”. Seringkali mereka bicara ungkur-ungkuran alias saling membelakangi tanpa kehadiran hati dan perhatian. Ujung-ujungnya, komunikasi mereka menjadi emotionally-disconnected.
Itulah dunia. Selalu pekat diwarnai oleh paradoks. Ketika kita begitu massif terkoneksi satu sama lain oleh Twitter, Facebook, atau Instagram, pada saat yang bersamaan kita juga mengalami diskoneksi (disconnection). Yang membuat saya prihatin adalah, korban paling mengenaskan dari dunia yang kian terkoneksi (hyperconnected world) saat ini justru adalah keluarga.
Ketika bapak, ibu, dan anak masing-masing terkoneksi dengan lingkungannya sendiri, maka pada saat yang bersamaan antar mereka justru saling terdiskoneksi. Serta-merta ada jurang menganga dalam komunikasi antar mereka. “Connected world (also) means disconnected family”. Kalau sudah begitu, komunikasi authentic yang melibatkan hati, emosi, dan cinta di antara anggota keluarga menjadi kian mahal.
Awalnya hal ini tak biasa, tapi lama-lama menjadi biasa. Awalnya hal ini pinggiran, tapi kemudian menjadi mainstream. Terus terang satu hal yang sangat saya takutkan adalah: kalau sampai komunikasi tanpa kehadiran hati, emosi, dan cinta ini menjadi mainstream dalam keluarga kita.
Orang Tua Kedua
Penelitian di Amerika menunjukkan gambaran yang suram mengenai diskoneksi di dalam keluarga ini. Jumlah keluarga yang mengaku kian kurang waktunya untuk keluarga oleh adanya kesibukan berinternet-ria naik lebih tiga kali lipat dari 11% pada tahun 2006 menjadi 28% pada tahun 2011. Waktu yang mereka alokasikan untuk keluarga juga berkurang drastis dari 26 jam sebulan menjadi hanya 18 jam oleh karena kesibukan berinternet. Celakanya lagi, anggota keluarga yang merasa “terabaikan” oleh bapak atau ibu yang sibuk berasyik-masyuk dengan gadget-nya naik tajam 40%.
Walaupun di Indonesia belum ada risetnya, saya berkeyakinan bahwa gambaran yang kurang lebih sama terjadi di negeri ini terutama di kota-kota besar. Lalu apa jadinya kalau bapak-ibu lebih sibuk dengan gadget-nya ketimbang anak-anaknya seperti tergambar di awal tulisan ini? Catherine Steiner-Adair seorang psikolog mengatakan bahwa gadget kita tak hanya piawai “menghisap” kita, ia juga menjalankan peran co-parenting alias “orang tua kedua” bagi anak-anak kita.
Melalui dunia indah yang ada di dalamnya, smartphone atau tablet memberi anak-anak kita pengetahuan yang demikian kaya; memberi hiburan di kala mereka sedih; membesarkan hati saat mereka galau dengan menghubungkannya ke teman-teman Facebook mereka; bahkan melalui “pergaulan maya” yang ada di dalamnya smartphone dan tablet bisa membentuk nilai-nilai dan perilaku anak kita.
Kalau demikian adanya, lalu apa bedanya gadget dengan orang tua? Smartphone dan tablet bisa menjadi orang tua kedua bagi anak-anak kita dan begitu sigap menggantikan saat kita raib dan tak cukup memberikan perhatian kepada mereka.
Mari bapak-bapak dan ibu-ibu, bersama-sama saya bersumpah: “Kami tak mau menjadi manekin”.
*Manekin dari bahasa Inggris: “mannequin,” patung peraga biasanya untuk busana.
15 comments
Tulisannya menghujam jiwa raga! terima kasih mas siwo, tulisannya bikin melek 🙂
MasyaAlloh…smg thindar dr keburukan tsb
Extended “menekin” pada calon keluarga.
Semalam saya makan bareng istri, dekat meja saya ada dua pasang muda-mudi yg menikmati makanannya masing2. Entah mereka teman atau sedang pacaran, saya tidak tahu. Karena letaknya dihadapan saya, perilaku selama makan tidak pernah lepas dari pengamatan saya. Yang menarik dan jadi komentar saya kpd istri saya, adalah selama makan, mereka tdk pernah ngobrol… mereka asyik dgn gadgetnya masing2. Jadi kalau belum berkeluarga saja mereka telah jadi menekin, bgm pula nanti jika mereka bersatu dlm keluarga … so disconnected people happened before marriage … ini jadi extension artikel mas Siwo …
uppssss…
Mengingatkan dan menyadarkan kita, termasuk sy
Manfaat keren ulasannya mas
Salam
Mas, njenengan pas ngepost ini gak dlm kondisi spt sang bapak dlm tulisan kan? #eh
Kwkwkwkkkkk… 😀
Apa nanti akan kita kenal, istilah “puasa koneksi” demi menjaga hubungan harmonis dalam keluarga?
Menarik untuk disimak, ulasan berikutnya.
bikin takut berkeluarga hihihi… *kabur ke fiji*
[…] karya Om Yuswohady, tentang “Cashless Society dan Konsumerisme” serta “Manekin Keluarga“. Inspirasi yang saya dapatkan: Bahwa eksistensial digital, ternyata tak serta merta […]
Touching, yet sad, but true! :'( terimakasih mas Yus,terus ingatkan kami semua para ortu. God bless U
sad…
Makasih Mas Siwo, sdh menyentak kesadaran. Dan makin tau betapa kita terjerembab dalam dikoneksi yg begitu membahayakan.
Makasih sdh sharing Mas.
Dan seperti budak teknologi…
Semoga pas nulis ini tidak sedang dalam kondisi seperti tadi. x)
Kwkwkwkkkk…
Saya satu warna dg tulisan anda. Sebenarnya tdk sedikit org yg tengah berjuang mengembalikan pola kehidupan spt semula. Sy adl salah satu orang yg berjuang melalui bidang saya. Sy system analyst computer yg memahami segala sesuatu dibalik gadget. Sy tahu adanya provokasi raksasa yg menyulam program2 gadget. Itu yg terpenting untuk diketahui, bahwa kerusakan ini bukan sesuatu yang mengalir tanpa sengaja, tapi memang di rancang secara mendetail utk menembus titik lemah manusia yg bermasalah dan menancapkan aura kecanduan (addiction) langsung didalamnya. Jadi, pertanyaan nya adalah .. Maukah kita masuk golongan sebagai KORBAN dan bahkan mengorbankan keluarga kita demi sebuah kejahatan SEKUMPULAN MANUSIA (bukan setan) yg memang direncanakan?
Dan sy telah lama berjuang mencari solusi, dan memutuskan utk menggunakan gadget yg sama untuk segala perbaikan. Program apapun saya buatkan untuk tujuan persuasif kearah jalan kembali. Alhamdulillah saya tidak sendiri. Lumayan banyak tokoh yang tidak rela membiarkan pengrusakan ini bertambah akut. Mari kita semua berjuang bersama melalui kemampuan diri kita masing2 sebelum semua tergilas habis ..
Tambah ngeri… dari sekarang saya sudah membayangkan betapa masa depan keluarga-keluarga mjd demikian suram karena anggotanya sudah menjadi manekin. Hanya kita yang bisa menghentikannya.
Woowww… berarti keluarga tersebut mengusung gaya hidup yang sangat kekinian heheheh
yang komunikasi digital, i.e BBM, lebih penting dari yang nyata, i.e. komunikasi verbal. thanks for reminding.
Wah jleb banget mas siwo, bagus sekali artikelnya, sepertinya memang seharusnya dlm keluaraga mulai diterapkan kesepakatan jam khusus di mana gadget, koneksi internet & alat-alat elektronik lainnya wajib dimatikan 🙂