Minggu ini saya masih akan membahas hasil survei Center for Middle-Class Consumer Studies (CMCS, lembaga think-tank yang saya bentuk) mengenai perilaku nasabah bank kelas menengah di Indonesia. Biangnya, karena ada satu temuan survei tersebut yang membuat saya galau. Salah satu temuan menarik dari survei bertajuk Indonesia Middle Class Banking Consumer Report 2014: “Getting Cashless and Mobile” tersebut adalah kenyataan bahwa nasabah kelas menengah kita kian siap meyongsong era cashless society.
Survei tersebut menunjukkan, sudah cukup banyak nasabah kelas menengah kita yang menggunakan transaksi non-tunai (cashless) dengan memanfaatkan layanan transaksi elektronik seperti ATM, kartu debit, kartu kredit, internet banking, mobile banking, dan e-money. Setelah lebih dari 10 tahun terakhir struggling “belajar” menggunakan berbagai layanan transaksi elektronik tersebut, kini mereka mulai merasa convenient dan biasa. Karena itu saya memperkirakan cashless society di kalangan kelas menengah kita kian menemukan critical mass-nya.
Seperti tampak pada gambar, untuk belanja online, kian siknifikan konsumen kelas menengah kita yang menggunakan kartu debit (24%), internet banking (23%), dan kartu kredit (13%). Untuk keperluan makan di luar rumah, cukup besar mereka yang menggunakan kartu debit (21%) dan kartu kredit (14%). Sementara untuk berbagai tagihan (listrik, air, telepon, TV kabel, dll.) mereka juga mulai convenient menggunakan kartu debit (25%), kartu kredit (10%), dan internet banking (8%).
Konsumtivisme
Yang membuat saya galau adalah adanya kenyataan bahwa semakin cashless mereka, maka semakin royal pula mereka. Kian banyak konsumen kelas menengah yang membeli secara non-tunai, maka semakin besar pula kecenderungan mereka membelanjakan uangnya lebih banyak lagi. Atau gampangnya, semakin banyak konsumen menggunakan kartu kredit, kartu debit, internet banking, atau mobile banking, maka makin konsumtif mereka. Karena itu tak bisa dipungkiri, layanan non-tunai telah menjadi salah satu biang kian konsumtifnya konsumen kelas menengah kita. Mereka menjadi kian kurang berhemat dan kurang menabung. Wow!!!
Sebuah survei menarik yang dilakukan di Amerika menemukan, orang yang memiliki lebih banyak kartu kredit di dompetnya akan cenderung membelanjakan uangnya lebih besar untuk setiap mal yang dikunjunginya. Kehadiran layanan transaksi non-tunai menyebabkan willingness to pay terkatrol menjulang tinggi. “Willingness to pay konsumen bisa meroket 50% hingga 200% oleh adanya layanan transaksi non-tunai,” demikian kesimpulan dari survei tersebut.
Survei lain mengatakan, orang yang membayar secara non-tunai di restoran cenderung memberikan tips kepada pelayan jauh lebih besar dibanding konsumen yang membayarnya secara tunai. Di sini kian jelas, bahwa ketika pembayaran dilakukan secara non-tunai kita cenderung lebih royal dalam mengeluarkan uang.
Menariknya, ketika ditanya beberapa hari kemudian, orang yang membayar secara non-tunai cenderung tidak ingat persis jumlah uang yang mereka bayarkan saat membeli. Itu artinya, berapa besar duit yang kita bayarkan saat bertransaksi secara non-tunai tak begitu masuk dalam radar kesadaran kita. Itulah sebabnya, sering kali orang mengalami “self-control problem” alias tak kuasa mengendalikan diri untuk berbelanja saat kartu kredit atau debit tergenggam di tangan.
Pain of paying
Pertanyaannya, kenapa kita menjadi begitu gampang konsumtif saat terbiasa dan dimanjakan oleh layanan pembayaran non-tunai? Pertama, karena tersedianya layanan ini akan memicu terciptanya apa yang disebut “mental decoupling”, yaitu proses “keterpisahan” antara membeli barang dan membayar. Maksudnya, membelinya sekarang, membayarnya bulan depan (“buy now, pay later”). Keterpisahan inilah yang menjadikan kita cenderung oportunistik: “pokoknya hantam kromo beli dulu sekarang, bayarnya dipikirkan belakangan.”
Kedua, orang yang membeli secara non-tunai cenderung memiliki pain of paying yang rendah. Apa itu pain of paying? Ketika kita membayar dengan menggunakan uang kertas atau koin (tangible) maka secara psikologis kita akan merasakan “sakit” saat uang kertas atau koin itu berpindah dari tangan kita ke tangan penjual.
Kenapa sakit? Ya, karena untuk mendapatkan sejumlah uang tersebut diperlukan pengorbanan yang seringkali “menyakitkan” (berangkat ke kantor subuh pulang larut malam, kerja keras banting tulang, tetap tegar dimarahi bos tiap hari, dsb). Jadi kalau kita menggunakan uang yang tangible maka perasaan “sakit” dan “kehilangan” akan menerpa kita.
Nah, ketika kita melakukan pembayaran secara non-tunai (intangible alias tidak kongkrit berbentuk kertas atau logam), maka perasaan “sakit” dan “kehilangan” itu seperti sirna entah ke mana (“tanyakan pada rumput yang bergoyang,” kata Ebiet G. Ade). Jadi intangibility dari transaksi non-tunai telah membuat uang kita begitu sepele melayang. Itu pula sebabnya kenapa kita gampang lupa berapa besar uang yang kita bayarkan saat kita membeli secara non-tunai.
Mari kita songsong era cashless society. Mari kita jelang era konsumtivisme. Uppsss…
1 comment
[…] ini saya buat, karena terinspirasi karya Om Yuswohady, tentang “Cashless Society dan Konsumerisme“ dan “Manekin Keluarga“. Inspirasi yang saya dapatkan: Bahwa eksistensial […]