Politisi, pengamat, budayawan merespons kebijakan mobil murah (LCGC: low cost, green car) dengan beragam cemoohan. Ada yang menuduh kebjakan ini akan menjadi biang kian mampetnya lalu-lintas Jakarta. Ada yang menyebut kebijakan ini predator, karena mematikan kebijakan transportasi massal. Ada juga yang menuduh mobil murah akan memperhitam langit Jakarta.
Saya melihatnya lain. Dengan duka yang sangat mendalam, saya melihat kebijakan ini merupakan “momentum bersejarah” takluknya industri otomotif nasional di tangan jejaring kapitalisme global. Kita tahu di industri ini 100% pasar bumi pertiwi dikuasai brand asing. Bagi saya, pasar mobil murah (dengan harga di bawah 100 juta) merupakan “benteng terakhir” perlindungan pasar otomotif nasional dari hegemoni merek global.
Ketika benteng ini pun rubuh, dan pasar lukratif mobil murah begitu mudah dan sepelenya kita serahkan kepada jejaring kapitalisme global (tentu dengan lobi-lobi tingkat tinggi nan canggih) maka pupuslah sudah mimpi bangsa ini memiliki merek mobil nasional. Betul-betul ini adalah tragedi nasional memilukan yang terpaksa harus kita terima. Tragedi nasional yang bahkan lebih memilukan dari tenggelamnya kapal Tampomas atau gempa/tsunami Aceh.
Sekarang industri otomotif, besok industri perbankan, lusa industri farmasi, lusanya lagi industri telekomunikasi, begitu seterusnya sampai di suatu titik dimana kita sudah tidak punya apa-apa lagi.
Diingatkan oleh tragedi nasional ini, saya semakin yakin bahwa bangsa ini harus punya identitas sendiri, punya cara unik sendiri, dan punya rule of the game sendiri dalam melawan hegemoni raksasa kapitalisme global di pasar Indonesia. Saya menyebutnya dengan “Lo:Lo”, merupakan kependekan dari “long tail” dan “locality”. Intinya, “giant” harus dilawan dengan “long tail”. Dan “globality” harus dilawan dengan “locality”.
Giant vs Long Tail
Ciri paling menonjol dari mesin kapitalisme global adalah ukurannya yang segedhe gajah. Tak hanya skala yang segedhe gajah, mereka juga memiliki sumber daya nyaris tak terbatas baik dalam hal kapital, teknologi, manajemen, kemampuan SDM, dan tentu pengalaman puluhan bahkan ratusan tahun.
Toyota misalnya, hingga kini telah berusia 80 tahun. Dan dalam kurun waktu yang panjang tersebut secara intensif Toyota menimbun pengalaman, kapital, teknologi, manajemen dan kemampuan SDM yang solid. Akibatnya, kini bisa dihitung dengan jari perusahaan-perusahaan yang bisa menandinginya. Mana mungkin mobnas (kalau memang bisa terwujud) bisa menandingi Toyota. Artinya, saya ingin mengatakan bahwa gajah tidak bisa dilawan dengan gajah. Merek-merek lokal kita tak bakal mampu, yang terjadi mereka akan mampus.
Jadi untuk menjadi tuan rumah di negeri sendiri, alih-alih membangun perusahaan gajah, akan lebih realistis jika kita membangun ratusan bahkan ribuan perusahaan kecil dan menengah (UKM) yang menjadi mata rantai produksi perusahaan raksasa asing tersebut. Alih-alih membangun satu merek raksasa untuk menandingi Toyota atau Ford, akan lebih realistis jika kita membangun ratusan bahkan ribuan UKM yang membuat merek-merek suku cadang mobil Toyota atau Ford.
Intinya saya ingin mengatakan bahwa, di tengah hegemoni raksasa-raksasa merek global saat ini, pilar daya saing untuk mempertahankan pasar domestik bukannya terletak pada segelintir merek-merek besar yang dibangun begitu susah-payah (seperti chaebol di Korea Selatan), tapi oleh ribuan bahkan jutaan merek-merek UKM yang berdaya saing global. Jadi “giant” harus dilawan dengan “long tail” alias perusahaan-perusahaan kecil dalam jumlah amat besar.
Globality vs Locality
Ciri lain dari raksasa merek global adalah adanya citra global dan standarisasi operasi dalam rangka mewujudkan skala ekonomi yang efisien di seluruh dunia. Starbuck’s atau McDonald’s misalnya, memang harus dibuat standard di seluruh dunia agar tercipta identitas global dan efisiensi operasi. Memang kastemisasi dan lokalisasi masih dimungkinkan agar bisa beradaptasi dengan kondisi spesifik di berbagai negara.
Citra global dan standarisasi tersebut di satu sisi merupakan kekuatan, namun di sisi lain juga bisa menjadi kelemahan. Kelemahan ini harus dimanfaatkan oleh merek lokal dengan mengedepankan lokalitas yang secara inheren memang menjadi kekuatan daya saing merek lokal di pasar Indonesia. Karena itu saya melihat, untuk menjadi tuan rumah di negeri sendiri, merek lokal haruslah mengandalkan lokalitas (locality) yang bersumber pada kekayaan alam dan budaya Indonesia.
Ambil contoh di sektor usaha kuliner. Di bidang kuliner kita memiliki ragam dan tradisi kuliner Nusantara yang demikian kaya di masing-masing daerah dari Sabang sampai Merauke. Kekayaan khasanah kuliner Nusantara ini seharusnya bisa menjadi senjata ampuh UKM untuk menyaingi dominasi jaringan fast food global yang kian menjamur.
Saya ingat, sekitar 20 tahun lalu banyak pakar menyarankan agar Indonesia mengandalkan keunggulan kompetitif (competitive advantage) yang bersumber pada teknologi dan manajemen, bukan sekedar keunggulan komparatif (comparative advantages) yang bersandar kekayaan alam dan budaya Indonesia. Kini, di tengah carut-marut dominasi raksasa asing di pasar Indonesia, saya justru berpendapat sebaliknya. Kita justru harus mulai mengedepankan keunggulan komparatif yang bersumber pada unsur-unsur kelokalan Indonesia.
Kenapa kita tidak bisa mengandalkan keunggulan kompetitif? Karena kalau kita melulu mengandalkan keunggulan kompetitif di bidang teknologi, manajemen, dan kualitas SDM, pasti kita tak akan bisa menandingi raksasa-raksasa global tersebut. Memang kita harus tetap membangun keunggulan teknologi, manajemen, dan kualitas SDM, tapi itu saja tak cukup. Untuk membagun keunggulan paripurna, keunggulan kompetitif tersebut harus dilengkapi dengan keunggulan komparatif yang berbasis kelokalan Indonesia.
So, ingat Lo:Lo… lawan giant dengan long tail; dan lawan globality dengan locality.
2 comments
Makin makmur suatu bangsa, penduduknya makin rindu dengan kampungnya…Long Tail Economic akan terus hidup
setuju dengan strategi lo:lo ini mas, apakah di Indonesia sudah ada komunitas yang concern terhadap strategi ini? thanks
Selama ini belum. Itu sebabnya sebulan lalu saya bikin komunitas memberiID, http://www.memberi.org, yang mencoba concern mengenai hal ini, let’s support