“Kemerdekaan Merek Indonesia” adalah istilah yang saya berikan untuk merujuk kondisi di mana merek lokal Indonesia berjaya di negerinya sendiri, menjadi “tuan rumah” di negerinya sendiri. Kondisi ini terwujud ketika sebagian besar rakyat Indonesia menggunakan merek-merek bangsa sendiri dan merek-merek bangsa sendiri itu sekaligus juga dimiliki bangsa sendiri.
Tak hanya memakai merek-merek bangsa sendiri mereka juga bangga dan passionate menggunakan merek bangsa sendiri.
Layaknya rakyat Jepang bangga menggunakan Sony atau Toyota di masa-masa awal kejayaan merek-merek tersebut. Layaknya rakyat Korea Selatan bangga menggunakan Hyundai atau Samsung. Atau layaknya rakyat China yang bangga menggunakan Baidu ketimbang Google (tahun lalu market share Baidu mencapai hampir 80%, sementara Google hanya 15%).
Pertanyaan menggelitik kemudian muncul: merdekakah merek Indonesia?
Belum Merdeka
Jawaban atas pertanyaan itu kita dapatkan manakala kita melihat kenyataan merisaukan yang kita temui saat ini. Negeri ini memiliki kekayaan alam yang luar biasa: bahan-bahan tambang yang melimpah, tanah subur yang membentang seantero Nusantara, hutan yang kaya flora-fauna, dan tentu jumlah penduduk besar yang memiliki potensi pasar luar biasa.
Lagu Koes Plus “Kolam Susu” pun kemudian mengiang-ngiang di telinga: “Orang bilang tanah kita tanah surga. Tongkat kayu dan batu jadi tanaman.”
Namun memprihatinkan, yang bisa memanfaatkan potensi bangsa yang luar biasa tersebut justru adalah merek-merek global asing. Seiring kian ranumnya pasar Indonesia (dengan sekitar 130 masyarakat kelas menengah) ekspansi merek-merek global untuk mengeksploitasi potensi besar itu kian agresif.
Kini, industri demi industri di negeri ini secara konsisten satu persatu mulai dikuasai oleh merek-merek asing tersebut. Kita tak berdaya melawannya karena memang mereka begitu perkasa. Mereka memiliki segalanya: kapital tak terbatas, SDM hebat, teknologi tercanggih, manajemen yang ekselen.
Coba renungkan kenyataan meresahkan berikut ini. Industri hot seperti telekomuniasi, saat ini mulai dikuasai merek-merek asing. Telkom yang kini menjadi “sisa laskar Pajang” dikepung dari segala arah dan penjuru oleh merek-merek telco asing yang hadir di negeri ini.
Di industri hot yang lain yaitu perbankan, kondisinya tak kalah memprihatinkan. Bank-bank swasta besar kita saat ini sudah pindah kepemilikan ke pemain-pemain asing, baik regional maupun global. Bank-bank yang dulu menjadi kebanggaan nasional seperti Bank Niaga, BII, atau Danamon kini sudah pindah kepemilikan ke asing.
Di industri hot yang lain lagi yaitu FMCG (fast moving consumer goods) kondisinya tak kalah memprihatinkan. Coba saja Anda ke kamar mandi atau ke dapur. Anda akan temui mulai dari sabun mandi, pasta gigi, shampo, sabun cuci, margarin, keju, susu, kecap, hingga sambel, semuanya dikuasai oleh merek-merek asing.
Kalau mau, deretan fakta itu bisa dibentang lebih panjang lagi. Coba kita telusur lebih jauh lagi: di industri otomotif, farmasi, toiletris, kosmetik, ritel, elektronik rumah tangga, gadget, makanan/minuman, pertambangan, alat berat, periklanan, riset pasar, bahkan dotcom, dominasi pemain global asing sudah sampai ke tulang sumsum.
Bahkan industri sepak bola pun tak luput dari tren besar ini. Gelagat ekspansi merek-merek asing sudah mulai kita rasakan beberapa minggu terakhir. Ketika PSSI berantem melulu, tak kunjung berprestasi, merek-merek global asing (Liverpool, Real Madrid, Chelsea, dll.) pun mulai mengisi kefakuman prestasi ini. Mereka mulai agresif memanfaatkan basis fans di Indonesia untuk menyedot manisnya madu pasar Indonesia.
Dwi Nasionalisme
Untuk mendapatkan kemerdekaan dari penjajah kita harus memiliki nasionalisme. Untuk mendapatkan kemerdekaan merek Indonesia kita juga harus memiliki nasionalisme.
Ada dua jenis nasionalisme yang harus kita miliki untuk membawa merek Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Pertama adalah “nasionalisme produsen”. Kedua adalah “nasionalisme konsumen”.
Nasionalisme produsen adalah perjuangan para produsen merek Indonesia untuk membangun daya saing merek Indonesia sehingga mampu bersaing dengan merek-merek global di pasar dalam negeri bahkan di pasar global.
Ini adalah kerja besar, karena seperti saya singgung sedikit di depan, merek-merek global memiliki sumber daya yang luar biasa besar. Pengalaman mereka puluhan bahkan ratusan tahun, modal finansial nyaris tak terbatas, teknologi tercanggih di dunia, dan manajemen yang mumpuni.
Dalam buku baru saya Beat the Giant (Gramedia, 2013), saya sudah merumuskan empat strategi generik yang bisa ditempuh merek Indonesia untuk memenangkan persaingan melawan merek global. Keempat strategi tersebut adalah memposisikan diri sebagai Smart Flanker, Local Challenger, National Champion, dan Global Chaser.
Sementara Nasionalisme konsumen adalah kerelaan dan kecintaan untuk menggunakan merek-merek Indonesia. Harus diingat, negara seperti Korea Selatan mampu menjadi kekuatan ekonomi baru dunia dengan menciptakan merek-merek nasional hebat (seperti Hyundai, Samsung, atau Kia) salah satunya adalah karena faktor nasionalisme konsumen ini.
Pada awal perkembangannya, rakyat Korea “memberi kesempatan” kepada merek-merek nasional seperti Samsung atau Hyundai untuk mengembangkan diri agar sejajar dengan merek Jepang atau Amerika, dengan cara membeli dan menggunakan merek-merek tersebut.
Karena dibeli rakyatnya, merek-merek nasional Korea tersebut memiliki kesempatan memperbaiki kualitas dalam mengejar global best practice. Kini merek-merek tersebut telah “dilepas” dan telah memiliki daya saing kokoh melawan pesaing-pesaing global.
Rasa nasionalisme tak cukup hanya dengan menjalankan ritual upacara bendera tiap tanggal 17 Agustus. Rasa nasionalisme juga menuntut kita melakukan kerja besar di lapangan masing-masing. Kalau Anda seorang marketer, kerja besar itu adalah: membangun merek-merek Indonesia yang menjadi tuan rumah di negerinya sendiri.
Ikuti PPM Book Talk “Beat the Giant”… yessss
5 comments
[…] Jangan lupa baca referensi ini: Kemerdekaan Merek Indonesia […]
Betul, memperihatinkan sekali. Dari contoh yang disebutkan di atas, betapa kita banyak hidup dengan brand asing.
Wahhh kereen banget nih artikelnya 🙂
Jadi semakin paham arti kemerdekaan yang hakiki untuk negara kita, Indonesia 🙂
kalo di Indonesia, yg saya amati; nasionalisme konsumen baru tergugah ketika batik kita di klaim Malaysia. Jadi mungkin memang butuh cara yg ‘ekstrim’ begitu ya, baru bisa produk kita ‘merdeka’, Pak Yuswo? Selama 68 tahun, kita terbukti masih belum berhasil soalnya. Penyelenggra pemerintahan masih sibuk dengan kepentingan sendiri2, konsumennya masih import minded, produsennya, melulu cari pasar dan untung saja…
Definetly agree! That’s what we require! Love, Nationalism, and Passion about our own country, what we love doing and total dedication! So, it does inspires me to move on, and to one day prove that our own product can possibly be our national brand..