Beberapa minggu terakhir ini saya ketemu tiga CEO hebat. Pertama adalah Arief Yahya, CEO Telkom; kedua Johari Zein, CEO JNE, perusahaan jasa pengiriman terkemuka di Tanah Air; dan ketiga David Marsudi, CEO restoran D’Cost. Mereka-mereka ini hebat bukan sekedar karena mereka pencetak laba yang besar bagi perusahaan masing-masing. Mereka hebat juga bukan hanya karena mereka sukses melakukan transformasi di perusahaan masing-masing. Mereka hebat karena memiliki prinsip dan filosofi bisnis yang menurut saya teduh dan mulia. Mari kita lihat sosok mereka satu-satu.
Berpikir Mega
Yang pertama adalah Arief Yahya. Yang istimewa dari pak AY (demikian ia biasa dipanggil di Telkom) adalah filosofi bisnisnya yang disebut “Mega Thinking”. Filosofi ini mengatakan bahwa untuk mencapai suatu tujuan tertentu Anda harus memulainya dari tujuan maha besar (mega). Ketika tujuan mega terwujud maka pasti dengan sendirinya tujuan-tujuan yang lebih kecil akan terwujud. Pak AY menggunakan filosofi ini untuk membentuk Telkom bukan menjadi “economic animal”, tapi sebaliknya menjadi institusi bisnis mulia penuh rahmat.
Pak AY mengatakan bahwa prioritas utama Telkom dalam menjalankan bisnisnya adalah untuk memberikan yang terbaik bagi Bangsa Indonesia dan bahkan bagi umat manusia. “Telkom harus menjadi rahmatan lil ‘alamin,” ujarnya. Ya, menjadi rahmat bagi alam semesta. Dengan logika Mega Thinking, jika Telkom bisa mempersembahkan excellent value bagi bangsa Indonesia dan umat manusia di seluruh dunia, maka secara otomatis ia akan mampu mempersembahkan excellent value bagi industri (makro) dan konsumen (mikro).
Filosofi ini indah dan mulia karena bisnis dikelola dengan prinsip dasar bahwa ia harus mendatangkan kebaikan, kemuliaan, dan kemakmuran bagi bangsa dan negara, dan seluruh umat manusia. Ketika kebaikan itu mampu diwujudkan, maka dengan sendirinya perusahaan akan mendapat manfaat yang luar biasa. Jadi prinsip yang melandasinya adalah memberi: “give first, and then you get”.
Abundance
Yang kedua adalah Johari Zein. Sama dengan pak AY, pak Johari punya filosofi bisnis keberlimpahan (abundance), yaitu prinsip bisnis yang tidak selfish alias mementingkan diri sendiri semata. Prinsip bisnis yang dipegang JNE, perusahaan yang didirikan dan dibesarkannya, adalah memberikan manfaat kepada masyarakat dan negara dengan landasan spirit berkelimpahan (abundance mindset)
Ketika umumnya pebisnis begitu selfish berlomba-lomba untuk memupuk keuntungan untuk kepentingan sendiri, pak Johari justru berprinsip bahwa perusahaan harus membawa berkah dan kemanfaatan ke sebanyak mungkin orang. Ia meyakini, jika perusahaan bisa memberikan kemanfaatan luar biasa ke masyarakat dan negara, maka dengan sendirinya perusahaan akan mendapat kemanfaatan yang luar biasa pula. Ia meyakini bahwa “giving is receiving”.
Saat ini misalnya, JNE sedang serius mengembangkan usaha kecil dan menengah di seluruh Tanah Air. Ia bahkan membetuk tim khusus di divisi pengembangan usahanya untuk melakukan pemberdayaan ke UKM melalui pelatihan dan capacity building. JNE juga secara khusus membuat produk Pesona (Pesanan Oleh-Oleh Nusantara) untuk mendistribusikan produk-produk kuliner (oleh-oleh) yang dikembangkan oleh pelaku UKM di seluruh Tanah Air.
Distributor Rezeki
Yang ketiga adalah pak David Marsudi. Yang membuat saya salut luar biasa ke pak David adalah prinsip bisnisnya yang meneduhkan. Begini bunyi falsafah bisnisnya: “Hanya konsentrasi pada apa yang dapat Anda berikan, jangan kawatir atas apa yang akan Anda dapatkan.” Intinya, D’Cost harus memberi, memberi, dan memberi. Semakin banyak membari, maka ujung-ujungya akan semakin banyak mendapatkan. The more you give, the more you get!!!
Pak David memberi perumpamaan pendulum: “Ketika dilempar, maka pada akhirnya pendulum pasti akan kembali.” Saya kemudian iseng menimpali, “Tapi masalahnya, kapan pendulum itu akan balik pak?” Dengan tangkas ia menjawab, “mungkin saat itu juga, mungkin sebulan kemudian, mungkin setahun kemudian, bisa juga bertahun-tahun kemudian. Nggak masalah, itu semua Tuhan yang atur, kita manusia tak usah repot-repot mikirin,” jawabnya enteng.
Prinsip memberi inilah yang melandasi kenapa pak David memilih restoran sebagai bidang usahanya. “Karena restoran itu menampung banyak pegawai,” ujarnya. Kalau bisnis D’Cost sukses, maka makin banyak karyawan yang ditampung, semakin banyak berkah diberikan kepada karyawan. Karena itu pak David punya spirit bahwa D’Cost harus menjadi “distributor rezeki” bagi para karyawan dan siapapun yang berbisnis dengan D’Cost. Wow… betapa indahnya.
Character Matters
Ada satu kesamaan yang kita temui dari tiga CEO hebat tersebut. Yaitu bahwa mereka menyikapi bisnis dengan nurani yang bening. Mereka memposisikan perusahaan yang mereka kelola sebagai agen untuk mendatangkan rahmat bagi banyak orang: bagi masyarakat, bangsa, dan umat manusia. Mereka menempatkan spiritualitas sebagai landasan berpijak yang kemudian termanifestasi dalam tindak-tanduk organisasi yang mulia.
Saya kemudian jadi berpikir, alangkah indahnya jika seluruh perusahaan yang ada di Tanah Air dikelola dengan filosofi dan prinsip-prinsip berbisnis mulia seperti itu. Saya membayangkan, kalau itu terjadi mungkin Indonesia lebih cepat melaju menjadi big five ekonomi terbesar di dunia. Mungkin kemiskinan di negeri ini akan lebih cepat dientaskan. Dan mungkin KPK tidak lagi menjadi selebriti seperti sekarang karena tak ada lagi perusahaan yang nyogok aparat dan pejabat negara.
Akhirnya saya hanya bisa berdoa, semoga sosok-sosok seperti tiga CEO hebat di atas bisa tumbuh sumbur di negeri ini. Saya menyebut mereka: orang-orang yang berbisnis dengan karakter.
4 comments
Insaallah berkah bisnis berkarakter
Informasi yang menarik untuk disimak.
Terima kasih
Wow inspiratif gan, memang sekarang karakter sudah pada banyak di tinggalkan, pdahal dgn karakter yg baik maka dipastikan inilah kunci sukses sebenarnya apapun bisnisnya,.
[…] by yuswohady […]