Liverpool tadi malam memukau puluhan ribuan fans di Senayan. Gelora Bung Karno pun berubah warna dari merah putih menjadi merah menyala. “Indonesia Raya” kalah berkumandang oleh “You’ll Never Walk Alone”, chant kebanggaan The Reds. Gerrard layaknya dewa dielu-elukan para fans (terus terang saya iri kenapa pemimpin negeri ini tak ada yang dielu-elukan rakyatnya layaknya Steven Gerrard dielu-ulukan fans fanatiknya). Itulah kehebatan global brand bernama: Liverpool FC.
Liverpool adalah salah satu the most admired brand di dunia yang memiliki komunitas konsumen (para fansnya di seantero jagad) yang fanatik abis. Mereka sudah menjadi brand evangelist (pembela merek fanatik) yang tak hanya sekedar nonton dan mengoleksi jersey/merchandise The Reds, tapi juga mengajak teman, tetangga, teteh-aa’, suami-istri, anak, siapapun untuk mengagumi klub yang bermarkas di Anfield ini.
Jumlah mereka sekarang mencapai 240 juta di seluruh dunia, di mana 16 juta di antaranya ada di Indonesia. Wow, Indonesia adalah pasar yang luar biasa bagi Liverpool. Di Asia Indonesia hanya kalah dari Cina dengan fans mencapai 60 juta. Jutaan fans inilah yang memutarkan uang dan menghasilkan pundi-pundi triliunan rupiah bagi Liverpool.
Ekspansi Asia
Karena alasan pasar itulah Liverpool hadir di Jakarta. Yup, “there ain’t no such thing as a free lunch”. Jangan keliru. Mereka hadir bukan agar persepakbolaan Indonesia maju. Bukan pula untuk memberikan latih-tanding agar tim Garuda tak kalah melulu. Mereka hadir tak beda dengan Lady Gaga atau Beyonce yang menggelar konser di sini. Mereka hadir untuk meraup pasar Indonesia yang sedang ranum-ranumnya.
Jonathan Kane, International Business Development Director, Liverpool beberapa waktu lalu mengatakan di Bangkok bahwa Asia merupakan pilar bagi pendapatan Liverpool. Asia merupakan sumber pendapatan kunci dari lisensi penyiaran televisi dan media, iklan/sponsorship, dan tentu dari tiket pertandingan karena kini makin banyak kelas menengah Asia yang berlibur ke Inggris untuk nonton bola.
Liverpool sangat serius menggarap pasar Asia karena sekitar setengah pendapatan Liverpool (tahun lalu sekitar $300 juta) saat ini didapatkan di luar Inggris dimana sebagian besar di peroleh dari pasar Asia. Sponsor-sponsor besarnya mulai dari Standard Chartered, Chevrolet and Carlsberg menggunakan Liverpool sebagai senjata untuk melakukan penetrasi ke pasar Asia termasuk tentu Indonesia.
Ekspansi Liverpool (dan klub-klub Eropa lain seperti Manchaster United, Juventus, atau Real Madrid) ke Asia bukanlah hal aneh mengingat Eropa dan Amerika sekarang masih didera krisis (Upss!!! kota Detroit yang menjadi pusat otomotif AS bangkrut karena terlilit hutang). Ketika sumber pendapatan di Eropa terancam, wajar saja kalau klub-klub tersebut lari ke Asia yang memang kini sedang menggeliat.
Secara agresif mereka menggaet mitra-mitra sponsor lokal; mempeluas basis penonton TV bola, dan menumbuh-suburkan komunitas-komunitas fans di seluruh pelosok Asia termasuk Indonesia. Tujuannya jelas: agar hak siaran, sponsorship, dan merchandise mereka laku keras di Indonesia. Makin laku keras dagangan mereka, makin keras pula devisa kita melayang.
Tuan Rumah
Karena itu, kedatangan Liverpool (dan Chelsea, dan Arsenal, dan Juventus, dan klub Eropa lain yang nanti bakal ke Jakarta) sesungguhnya menyimpan keprihatinan. Prihatin melihat kenyataan bahwa dominasi merek global di bumi pertiwi telah meluas kemana-mana, termasuk untuk urusan sepak bola. Dan yang menyedihkan, di tengah dominasi itu kita hanya sekedar menjadi pasar empuk bagi mereka.
Bulan Mei lalu saya menggelar event Indonesia Brand Forum (IBF) untuk mengingatkan kita semua mengenai pentingnya merek lokal membangun kemampuan dan daya saing agar bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Ide itu muncul ketika saya melihat kenyataan bahwa dominasi merek-merek global di pasar Indonesia sudah merasuk hingga ke tulang sumsum.
Di situ saya contohkan, di industri telekomunikasi misalnya, kini hampir semua merek di industri ini adalah milik asing (kecuali Telkom). Di industri perbankan setali tiga uang, gelombang pembelian bank-bank lokal oleh bank-bank asing berlangsung begitu massif sehingga praktis bank-bank swasta besar kita kini dimiliki asing (untung BNI, BRI, dan Bank Mandiri masih kita miliki).
Tak hanya itu, di hampir di semua industri kita, mulai otomotif, farmasi, toiletris, kosmetik, ritel, fashion, elektronik rumah tangga, gadget, film, konser musik, restoran siap saji, hingga makanan/minuman, kini pasarnya dikuasai oleh merek-merek asing. Mau bukti? Coba Anda ke kamar mandi atau ke dapur, berapa banyak merek lokal yang Anda temui di situ? Ujungnya bisa ditebak: Indonesia hanya menjadi pasar, tanpa pernah bisa menjadi pemain diperhitungkan di negeri sendiri.
Good, Bad, Ugly
Dengan sedikit backround di atas, tujuan saya menulis kolom ini sesungguhnya cuma satu, yaitu ingin curhat terkait kedatangan Liverpool di Jakarta. Saya pengin menumpahkan perasaan saya yang campur-aduk antara senang (“good”), galau (“bad”), dan sangat sedih (“ugly”).
Good, senang, karena saya mendapatkan tontonan kelas dunia dari seniman-seniman bola sekelas Gerrard, Alberto, atau Downing yang pasti tidak saya dapatkan dari tim lokal manapun di negeri ini.
Bad, galau, karena kedatangan Liverpool, Arsenal, Real Madrid, dan klub Eropa mana lagi nanti, merupakan momentum kebangkitan merek-merek sepak bola global mendulang emas di bumi pertiwi. Kita hanya menjadi pasar empuk, dengan risiko fatal tiap tahun devisa kita terangkut ke Eropa.
Ugly, sedih sekali, karena ketika suatu ketika pasar sepak bola kita betul-betul dikuasai merek-merek asing, maka barangkali persepakbolaan nasional akan kian kerdil. Penonton makin sepi karena loyalitas dan fanatisme anak negeri sudah diberikan kepada klub global. Begitu juga kompetisi/turnamen di dalam negeri kian sepi karena dana sponsorship perusahaan-perusahaan nasional kian terhisap oleh klub-klub ternama global.
Saya takut kalau nantinya lagu “Garuda di Dadaku” tak pernah lagi nyaring berkumandang di Gelora Bung Karno seperti yang kita temukan saat timnas ditekuk Arsenal 0-7 akhir pekan lalu.
11 comments
semoga saja di balik semua ini akan banyak peluang yang tercipta daari bangsa indonesia dan merasa memiliki indonesia yaitu beli indonesia…hidup nusantara
Sangat sependapat dengan mas Yuswohady. Kelas menengah kita jumlahnya sudah melampaui 50% total penduduk. Belanja ini itu sambil merem juga dijalani.
Sayangnya hal ini belum diimbangi oleh kesiapan pemerintah kita dalam mengelola pengusaha lokal. Yang datang selalu asing, asing, dan asing. 🙁
mantab brooo ulasanya… yang goblog itu pemerintah indonesia,,, sampai aku lupa kalau indonesia punya wapres… DPR bukan wakil rakyat.. tp pembela partai untuk mengeruk uang negara… untung rakyat indonesia kuat2 dan kreatif… sehingga tanpa presidenpun indonesia msh brjln
Tulisan yang menarik sekali Pak :). Emang harus di akui Indonesia memang menjadi pasar empuk buat semua brand dari musik sampai klub Olahraga.
Kalau untuk urusan Sepakbola sebenarnya masing2 klub mempunyai basis fans yang kuat juga seperti Persib, Persija ataupun Arema. Cuma masalahnya prestasi mereka belum mendunia di karenakan satu dan lain hal. Semoga dengan sering berdatangan tim Eropa PSSI juga bisa ambil pelajarannya selain dijadikan konsumsi tadi. Sebagai contoh Malaysia jadi juara Piala Tiger dan SEAG karena bisa mengambil keuntungan dari seringnya menghadapi laga eksibisi dengan klub Eropa.
Mau koreksi sedikit Liverpudlian = Sebutan fans Liverpool FC yang tinggal di Merseyside, Liverpool. Kalau untuk fans di seluruh dunia namanya The Kop.
Tx info nya 🙂
Garuda Di Dadaku tetap akan berkumandang mas. Dan akan lebih berkumandang jika prestasi dan industri sepak bola kita sehat. Itu saja sih yg diinginkan grupies bola di Indonesia. Itu dari perspektif saya..
🙂
Garuda di dadaku akan terus berkumandang mas Yuswo
tapi memang brand2 klub bola asing memang memiliki prestasi luarbiasa yang layak untuk di jadikan idola
Lucu tulisan anda, Mas
Fanatisme dan agama sepakbola di Indonesia (dan global juga), tidak sama dengan CSR dan gosip tetangga tentang produk kosmetik.
It’s beyond. Lihat produk sport lain yg dikelola sebagai entertainment oleh pasar amerika. Sama-sport pun tidak bisa seglobal sepakbola.
Tidak mungkin produk lokal Indonesia mengejar fanatisme sekelas religion terhadap produk mereka. Kecuali mungkin 1 bisa, jualan agama. Agama laku di negara ini utk dagangan.
Terkait dengan obrolan brand, persaingan sudah global sekarang. Salah kalau kita cuma berpikir bagaimana menutup akses brand luar masuk ke dalam. Impossible dream..
dan jika terjadi maka negara ini menjadi negara fasis..
Kita ga bisa cuma bicara membangun brand yg kuat di lokal. Prepare to get notice minimal regional. Than later go international..
Dan saya cukup senang baik brand personal, maupun brand produk creative kita sudah ada yg Go International.. Entah om Yuswo tahu atau tidak 🙂
Semoga kita bisa mengambil sisi positifnya, dan mengisi sisi negatif dengan kekuatan anak bangsa sendiri. Ayo berjuang kawan jadi raja di negeri sendiri! Garuda Di Dadaku!!!
Keprihatinan yang diungkapkan melalui tulisan cerdas.
Jangan khawatir Pak, brand lokal pasti bakal melejit, meskipun mungkin tidak sedahsyat brand global menggempur kita saat ini. Anda sudah memulai perjuangan dengan buku, forum, dan tulisan2 semacam ini. Garuda di dada saya ikut gelisah Pak 🙂
Terima kasih!
Pagi semua,,,
kalo boleh saya menambahkan / mengomentari isinya, saya setuju dengan pemikiran bpk, masyarakat indonesia ini konsumtif dan bergengsi, jadi mereka berfikiran kalo menggunakan produl lokal itu tidak bergengsi, makanya harga segimana mahalnya ttp mereka beli demi kegengsiannya, sedang kan untuk produl lokal mereka ingin yang sangat murah dan kualitas no 1, nah tantangan bagi kita sebagai pemilik produk adalah bagaimana membangun produk yang mereka inginkan, sehingga mereka terbiasa dengan produk dalam negri dan dalam jangka panjang bisa menumbuhkan produk” dalam negri (contoh di sini batik), jadi kesimpulannya, sebagai pemilik produk harus berani ambil resiko demi membangun branding dan tester produk, sehingga akan muncul pemikiran bahwa produk local ga kalah baik dan harga terjangkau, jika sudah seperti itu pengalihan konsumtif terhadap produk luar akan berpindah dengan perlahan .
mungkin sekian pemikiran saya, dan ini harus di lakukan secara tim jangan perorangan, karena produk luar pun membangun branding secara tim.
Mas, dari yg ‘bad’ yaitu cuma jadi target market bisa jadi good starting point. Yaitu Indonesia punya size pasar yg besar. Ini modal bagi local player memulai. Sama seperti dulu banyak yg iri kenapa banyak brand global bagus dari USA.. ada yg bilang begini: Ya iyalah, brand USA tdk perlu repot masarin ke luar negeri sdh dapat size pasar lokal yg besar.
Nah Indonesia skr sdh punya size pasar yg besar juga, sdh punya modal pasar yang bagus untuk local brand memulai.
Lebih baik telat daripada tidak sama sekali yach 🙂