yuswohady.com
  • Home
  • Biography
  • Home
  • Biography
bu zamana kadar sadece babası ile beraber yaşayan mobil porno genç oğlan üniversiteyi bitirdikten sonra hiç bir iş bulamaz porno izle ve evinde pineklemeye başlar Babasının milf bir kadın porno resim ile evlenme kararı ile adeta dumura uğrayan oğlan bunu porno izle ilk başta istemese de belki onunla iyi anlaşacağını seks izle düşünerek evde olduğu zamanlarda canı sıkıldığında üvey annesi sex hikayeleri ile sohbet edeceğini düşünerek kendisini rahatlatır Babasının yeni evlendiği porno izle kadın beklediğinden de çok iyi anlaşan genç oğlan sapık ensest hislerine mobil seks hakim olamayarak üvey annesinin odasına gelip siker
yuswohady.com

Vicious Circle Merek Lokal

by yuswohady June 15, 2013
June 15, 2013

Saya kagak tahu. Barangkali karena bangsa ini kelamaan dijajah, maka kita kemudian menganggap bangsa sendiri sebagai bangsa kelas teri, kelas gurem, kelas momor buncit. Apapun yang dibikin bangsa ini – merek, produk, jasa, teknologi, apapun – selalu kita anggap sebagai kelas teri, kelas gurem, kelas nomor buncit. Sebaliknya apapun yang dibikin oleh asing selalu kita anggap sebagai kelas kakap, kelas utama, kelas nomor wahid.

Stereotip
Saya sedih mendengar cerita ibu Martha Tilaar bulan lalu di event yang saya gelar Indonesia Brand Forum (IBF). Sekitar 15 tahun lalu bu Martha ingin produk-produknya hadir di mal-mal bergengsi di Jakarta. Makanya ia menghubungi salah satu pengelola mal di Jakarta untuk bisa membuka outlet. Bu Martha kaget karena ditolak mentah-mentah oleh si pengelola mal. Ya, karena mal tersebut diprioritaskan untuk merek asing.

Singkat cerita, setelah melalui proses negosiasi yang alot, pakai acara marah-marah segala, akhirnya permintaan bu Martha dikabulkan. Tapi itu dengan satu syarat: “Ibu harus di lantai 4 atau 5, karena lantai bawah hanya untuk merek-merek asing,” begitu kira-kira penjelasan pengelola mal.

Pemilik dan pengelola mal tersebut adalah 100% orang Indonesia, mereka orang Indonesia tulen. Tapi karena mereka berkeyakinan bahwa bikinan bangsa sendiri adalah kelas teri, kelas gurem, kelas nomor buncit; maka merek lokal tersebut tak layak berbaur dengan merek asing berkelas kakap, berkelas utama, berkelas nomor wahid. Kilah mereka 1001 macam: merek bikinan bangsa sendiri tidak bergengsi, tidak cool, tidak keren, dan tidak mendatangkan cuan berlimpah.

Dengan kian massifnya ekspansi merek-merek global ke dalam seluruh industri dan seluruh sisi kehidupan masyarakat kita, stereotip “lokal kelas gurem” vs “asing kelas utama” kini kian tertanam begitu dalam di sistem kesadaran setiap anak negeri. Tak mengherankan jika gerakan-gerakan nasional seperti “aku cinta produk Indonesia” atau “aku cinta merek Indonesia” kini menjadi kian tak relevan dan hanya sebatas isapan jempol belaka.

Brain Drain
Rupanya stereotip “lokal kelas gurem” vs “asing kelas utama” tak hanya mempengaruhi kesadaran kita dalam memutuskan dan memilih produk yang kita beli dan konsumsi. Stereotip serupa kita alami saat kita memilih perusahaan tempat kita bekerja.

Seiring massifnya kehadiran perusahaan-perusahaan global (MNC: multinational corporation) di Tanah Air, kini kian mengeras stereotip bahwa bekerja di perusahaan lokal itu kelas teri, kelas gurem, kelas nomor buncit; sementara bekerja di perusahaan asing itu berkelas kakap, berkelas utama, berkelas nomor wahid.

Dan kenyataannya memang begitu, bekerja di MNC tak hanya gaji lebih tinggi, fasilitas lebih memadai, sistem lebih mapan, karir lebih menjanjikan, tapi secara sosial juga lebih bergengsi, lebih prestise, dan lebih bisa dipamer-pamerkan. Di kalangan fresh graduate kita muncul kesadaran bahwa bekerja di MNC merupakan pilihan pertama dan kedua; sementara perusahaan-perusahaan lokal menjadi pilhan terakhir setelah masuk di sekian banyak MNC ditolak. Dengan kata lain, dari sisi modal manusia (SDM), perusahaan lokal hanya mendapat “ampas”, sementara “sari-sarinya” sudah diambil MNC global.

Inilah yang saya sebut bahwa kini telah terjadi “brain drain” secara struktural dan sistemik di dalam sistem ekonomi kita dimana orang-orang terbaik kita mengalir bukan ke perusahaan-perusahaan lokal, tapi ke MNC-MNC global. “Gula-gula” yang ditawarkan MNC-MNC dalam bentuk gaji, fasilitas, karir, ekspertis, hingga gengsi, mampu secara sangat efektif menghisap potensi dan talenta terbaik dari anak negeri.

Dua Himpitan
Saya tidak mengkhawatirkan bahwa orang-orang terbaik kita bekerja di MNC-MNC global. Saya justru bersyukur mereka bisa bekerja di MNC karena berarti mereka bisa mengembangkan karir dan kompetensi berkelas dunia. Yang saya cemaskan adalah nasib merek dan perusahaan lokal kita di negerinya sendiri.

Kalau saya amati berbagai perkembangan di atas, merek dan perusahaan lokal kini terhimpit dari dua jurusan oleh adanya stereotip “lokal kelas gurem” vs “asing kelas utama”. Pertama dari sisi konsumen, tren ke arah konsumen yang kian “asing-minded” menyebabkan merek global akan mendapatkan preferensi utama dari konsumen, sementara merek lokal mendapat preferensi paling buncit. Bisa juga diartikan, merek lokal hanya mendapat “ampas” dari isi dompet konsumen (customer wallet). Untuk yang premium dan yang mahal-mahal menjadi jatah merek asing; sementara yang murah-meriah (“sudah murah masih ditawar lagi”) menjadi jatah merek lokal.

Kedua, dari sisi SDM, orang-orang terbaik kita bukannya mengalir ke perusahaan-perusahaan lokal, tapi ke MNC global. Sekali lagi MNC global mendapatkan jatah orang-orang kelas utama; sementara perusahaan-perusahaan lokal hanya mendapatkan “ampas” berupa orang-orang kelas gurem. Karena itu saya meramalkan, masuknya MNC global yang begitu massif ke Tanah Air, juga bakal diikuti dengan proses brain drain sistemik, yang pada gilirannya akan melemahkan posisi saing merek dan pemain lokal.

Lingkaran Setan
Kalau dua himpitan itu bekerja secara bersamaan dan sistemik, maka kita akan menyaksikan sebuah kondisi yang memprihatinkan. Merek dan pemain lokal akan mengalami “pelemahan struktural” yang terjadi karena adanya “lingkaran setan” (vicious circle) yang membelitnya.

Mekanisme lingkaran setan ini berlangsung sebagai berikut. Pertama-tama pemain lokal tak mampu menarik SDM dan talenta terbaik anak negeri. Kondisi ini berdampak buruk, karena dengan SDM berkualitas gurem, mereka hanya mampu menghasilkan produk dan layanan kelas gurem. Dengan produk dan layanan kelas gurem maka mereka tak akan kompetitif di pasar. Tak hanya itu, kondisi ini juga semakin memperkuat stereotip merek lokal sebagai merek gurem. Kondisi ini menyebabkan kinerja keuangan merek lokal terpuruk sehingga tak mampu menarik SDM dan talenta terbaik karena mereka tak mampu menawarkan gaji, fasilitas, karir, dan gengsi.

Demikian, proses ini berlangsung terus-menerus menjadi sebuah pusaran yang menjadikan merek lokal kian terpuruk dan terus terpuruk. Inilah yang saya sebut proses “lingkaran setan”. Menariknya, proses pusaran yang sebaliknya (saya sebut “lingkaran malaikat” atau virtuous circle) terjadi pada merek dan pemain MNC global. Dampaknya, merek dan pemain global tersebut mengalami penguatan secara terus-menerus.

Dalam konteks skenario besar seperti di atas, kini saya semakin meyakini pentingnya setiap insan anak negeri untuk memiliki “nasionalisme merek Indonesia”. Di tengah kehadiran massif MNC global asing, seluruh anak negeri harus merapatkan barisan dan membangun kesadaran mengenai pentingnya mengembangkan merek lokal. Pertama, kita harus mencintai dan membeli merek-merek lokal. Kedua kita harus bangga bekerja di perusahaan-perusahaan lokal.

Terus terang saya prihatin! Saya hanya bisa berdoa, semoga skenario vicious circle seperti saya ceritakan di atas hanyalah sekedar mimpi saya di siang bolong.

Related posts:

  1. Komoditisasi Merek Global
  2. Aku Cinta Merek (Bukan Produk) Indonesia
  3. Beat the Giant
  4. Beat the Giant
  5. Local Wisdom
0
FacebookTwitterWhatsappEmail
yuswohady

Yuswohady, Managing Partner Inventure. Author of 50+ books on business & marketing, incl. the best seller "Millennials KILL Everything" (2019) and "Consumer Megashift after Pandemic" (2020).

previous post
The Indonesian Dream
next post
Naik BBM dan Kelas Menengah

Baca Juga

Merek Berbahasa Indonesia

October 11, 2019

Cool Brand… Boring Brand

June 8, 2019

The Coming of the Asian Age

March 26, 2019

Asian Games & Nation Branding: eBook

September 9, 2018

Sukses Asian Games & Visi 2032

September 1, 2018

Mem-branding Indonesia lewat Asian Games

August 25, 2018

The End of Brand

February 3, 2018

Free eBook – Marketing Outlook 2018: “Welcome Leisure...

December 9, 2017

Brand Disruption

September 23, 2017

Brand Merah Putih

August 12, 2017

4 comments

Muhammad Azmi Farih June 15, 2013 - 9:33 am

Terus Mas, solusi nya gimana buat ngilangin lingkaran setan kayak gitu? Apa Indonesia harus menyerah pada serangan dari luar terus. Huks, sedih juga baca artikel nya mas ini

Reply
syaripudin June 15, 2013 - 9:08 pm

Ya,itu harusnya tantangan bagi kita dan bagi siapa saja di negara manapun..krn systemnya kan dibuat demikian,..yg gede makin gede dan yg kecil makin habis..so..apa yg kita harus perbuat?mnrt saya,..perushaan lokal harus pinter minimal dlm 2 hal:pertama: bgmn melakukan terobosan di pasar tenaga kerja,krn sy yakin masih banyak potensi anak negeri yg belum tergali,jadi strategi rekrutment harus lbh spesifik dan tdk generik. Yg kedua:kita harus sadar betul bahwa,pengembangan sdm,proses pembelajaran internal prshn,dan pemahaman pasar+pelanggan sama pentingnya dg financial aspect.jadi harus balance.jadi perusahaan lokal harus mengukur ke 4 aspek tsb.

Reply
santi djiwandono June 17, 2013 - 3:15 am

vicious circle memang hanya mempan diputus oleh virtuous effort…salah satunya, belajar dari MNC lalu dibagi dan didedikasikan untuk merek lokal. Saya belajar dari buku Bapak “Beat The Giant’ itu, bahwa merek lokal harus berstrategi, meskipun masih perlu dukungan yg integrated dari pemerintah dan masyarakat. Perusahaan2 lokal yg heroik itu harus diacknowledge dan digadang-gadang sehingga minimal ‘prestise’nya naik….you have started Pak, inspirasi luar biasa! Saya dan business partner saya skearang rajin mengkampanyekan ini pada klien2 kami yg adalah pengusaha2 lokal….God bless us!

Reply
Saatnya Profesional Mengajar, Demi Daya Saing Global | Blognyakrisniy July 17, 2013 - 10:45 pm

[…] Bedanya, Anies Baswedan melihat yang perlu ditingkatkan mutunya adalah para Dosen, guru/pengajar dan mahasiswa. Sementara bagi Om Siwo – begitu beliau akrab disapa – kalangan wirausawan, UKM-er, startup dan brand owner pemula, yang harus di-upgrade daya saingnya. Selengkapnya, pandangan Om Siwo bisa disimak di link ini. […]

Reply

Leave a Comment Cancel Reply

Save my name, email, and website in this browser for the next time I comment.

Artikel Terbaru

  • Best Business Book 2020 on COVID-19: My Picks

    December 27, 2020
  • Best Business Books 2020: My Picks

    December 24, 2020
  • Industry Megashifts 2021 (3)

    December 14, 2020
  • Industry Megashifts 2021 (2)

    December 14, 2020
  • Industry Megashifts 2021 (1)

    December 14, 2020
  • 6 Forces of Change 2021

    December 13, 2020
  • Konsumen Indonesia Optimis

    November 28, 2020
  • Prospective Businesses for UKM

    October 14, 2020
  • UKM Outlook 2021

    October 11, 2020
  • New Omni Marcomm

    October 1, 2020
  • Dunia Hiburan Terkoyak Pandemi

    September 4, 2020
  • Family Life in the Pandemic Era

    September 4, 2020
  • 5 Digital Consumer Megashifts

    August 26, 2020
  • 15 Banking Consumer Megashift

    August 10, 2020
  • New Normal 100: Leisure & Travelling Trends

    July 26, 2020
  • New Normal 100: Digital Life & Privacy Trends

    July 24, 2020
  • 25 Retail Megashifts

    July 18, 2020
  • New Marcomm Paradigm

    July 18, 2020
  • #IBF2020: The Inside Story

    July 9, 2020
  • #IBF2020 – ReBound, ReBoot, ReBorn

    June 27, 2020

Langganan Artikel via Email

Recent Posts

  • Best Business Book 2020 on COVID-19: My Picks
  • Best Business Books 2020: My Picks
  • Industry Megashifts 2021 (3)
  • Industry Megashifts 2021 (2)
  • Industry Megashifts 2021 (1)
  • 6 Forces of Change 2021
  • Konsumen Indonesia Optimis
  • Prospective Businesses for UKM
  • UKM Outlook 2021
  • New Omni Marcomm
  • Dunia Hiburan Terkoyak Pandemi
  • Family Life in the Pandemic Era
  • 5 Digital Consumer Megashifts
  • 15 Banking Consumer Megashift
  • New Normal 100: Leisure & Travelling Trends
  • New Normal 100: Digital Life & Privacy Trends
  • 25 Retail Megashifts
  • New Marcomm Paradigm
  • #IBF2020: The Inside Story
  • #IBF2020 – ReBound, ReBoot, ReBorn
  • Facebook
  • Twitter
  • Instagram
  • Youtube

@2020 - All Right Reserved. Designed and Developed by Wihgi.com


Back To Top