yuswohady.com
  • Home
  • Biography
  • Home
  • Biography
bu zamana kadar sadece babası ile beraber yaşayan mobil porno genç oğlan üniversiteyi bitirdikten sonra hiç bir iş bulamaz porno izle ve evinde pineklemeye başlar Babasının milf bir kadın porno resim ile evlenme kararı ile adeta dumura uğrayan oğlan bunu porno izle ilk başta istemese de belki onunla iyi anlaşacağını seks izle düşünerek evde olduğu zamanlarda canı sıkıldığında üvey annesi sex hikayeleri ile sohbet edeceğini düşünerek kendisini rahatlatır Babasının yeni evlendiği porno izle kadın beklediğinden de çok iyi anlaşan genç oğlan sapık ensest hislerine mobil seks hakim olamayarak üvey annesinin odasına gelip siker
yuswohady.com

Aku Cinta Merek (Bukan Produk) Indonesia

by yuswohady June 1, 2013
June 1, 2013

Dalam gelaran Indonesia Brand Forum (IBF), 20 Mei 2013 lalu, dalam sambutan pengantar, saya mengungkapkan bahwa sebagai anak bangsa kita harus cinta merek Indonesia. Saya tekankan di situ bahwa kita harus “cinta merek Indonesia”, tidak cuma sekedar “cinta produk Indonesia”. Yang tidak begitu peduli dengan pengertian “merek” dan “produk” barangkali akan menganggapnya sambil lalu saja. “Lhah, produk dan merek kan sami mawon… sama saja!”

Padahal dua kata itu memiliki pengeritan yang secara substansi berbeda, tentu dengan implikasi kebijakan yang berbeda pula. Karena itu dalam pengantar IBF tersebut saya menekankan bahwa kampanye cinta produk Indonesia yang pernah begitu gencar dikampanyekan di masa Orde Baru sesungguhnya mengandung pengertian yang misleading. Jangan salah, misleading ini bisa membawa konskuensi yang tidak bisa dianggap remeh. Kenapa rupanya?

Produk vs Merek
Untuk menjelaskan perbedaan antara produk (product atau goods) dan merek (brand) paling gampang saya menggunakan contoh Starbucks. Starbucks adalah contoh salah satu merek yang memiliki ekuitas tertinggi di dunia. Tingginya ekuitas merek (brand equity) inilah yang kemudian membawa berkah luar biasa bagi Starbucks dalam bentuk harga yang lebih tinggi (premium price) di banding pesaingnya.

Ekstrimnya saya sering menggambarkan, kopi tanpa merek yang disajikan di warung kopi sebelah pasar Inpres mungkin dijual satu cangkir seharga Rp.3000. Sementara kopi yang disajikan di gerai-gerai Starbucks yang cool paling murah dijual Rp.30.000. Kenapa sama-sama kopi harganya bisa njomplang seperti itu?

It’s the power of brand. Inilah hebatnya sebuah merek. Ingat, kopi yang dikemas sedemikian rupa dan disajikan di gerai Starbucks adalah “merek” (brand).  Sementara, kopi yang disajikan di warung kopi adalah produk (product/goods). Starbucks bisa mahal karena ia menambahkan seabrek nilai dan manfaat (value & benefit) yang membuatnya menjadi kopi istimewa berharga mahal. Manfaat itu bisa berupa manfaat fungsional (functional benefit) maupun emosional (emotional benefits).

Nilai tambah itu bermacam-macam, mulai dari kualitas biji kopi yang prima; pengolahan kopi yang excellent dan berteknologi canggih; logo yang membanggakan, pilihan menu kopi yang komplit; store experience pas untuk nongkrong; gengsi tinggi dan sarana pamer/narsis ke sesama teman; medium untuk penanda identitas dan ekspresi diri (self-expression); cerita dan legenda (brand story) yang mengitarinya; dan sebagainya.

Makanya saya sering melontarkan guyonan: “Harga kopi Starbucks Rp.33.000 itu, untuk beli kopinya cuma tiga ribu perak, tiga puluh ribu perak sisanya untuk beli nongkrong, narsis, gengsi, dan tetek-bengeknya.” Itulah istimewanya merek hebat bernama Starbucks.

Tidak Cukup Produk
Kembali ke persoalan semula, kenapa harus “merek” bukan “produk”. Kalau bangsa ini hanya bisa menciptakan produk (apalagi produk itu hanya sebatas produk komoditas: biji kopi, kelapa sawit, coklat, minyak mentah, batubara), maka kita tak akan pernah mendapatkan nilai tambah tinggi. Kita menjadi bangsa kelas teri yang hanya mampu menghasilkan kopi seharga Rp.3000 secangkir, bukan penghasil merek kopi hebat seharga Rp.30.000 secangkir.

Kalau hanya pemain global seperti Starbucks yang mampu mencipta nilai tambah tinggi melalui proses brand-building, sementara pemain kita hanya bermain di produk atau barang komoditas bernilai tambah Senen-Kemis, maka wajar saja kalau kita begitu gampang tergilas oleh kekuatan raksasa merek global. Produk-produk kita haruslah ditingkatkan kelasnya menjadi merek yang memiliki keunikan (diferensiasi) dan bernilai tambah tinggi, syukur-syukur memiliki daya saing di pasar global.

Kita tak cukup mencipta produk kosmetik Indonesia, kita harus membangun merek kosmetik hebat seperti Martha Tilaar, Mustika Ratu, atau Viva. Kita tak cukup mencipta produk jamu Indonesia, kita harus membangun merek jamu hebat seperti Sido Muncul, Jamu Jago, atau Nyonya Meneer. Kita tak cukup mengembangkan buah Indonesia, kita juga harus membangun ratusan atau bahkan ribuan merek sekelas Sunpride. Kita tak cukup sekedar mencipta produk-produk elektronik Indonesia, kita juga arus membangun merek-merek hebat sekelas Polytron.

Itulah sebabnya saya berkepentingan untuk mengingatkan kita semua bahwa yang harus kita bangun dan perjuangkan bukanlah sekedar produk apalagi barang komoditas, tapi adalah merek Indonesia. Harus diingat, membuat produk Indonesia itu gampang, tapi membangun merek Indonesia yang berdaya saing dan bernilai tambah tinggi itu bukan pekerjaan mudah, butuh perjuangan sampai titik darah penghabisan. Membangun merek-merek hebat Indonesia seperti Sosro, Garuda Indonesia, Indomie, Fastron, Promag, J.Co, Tolak Angin, atau Batik Keris adalah pekerjaan besar yang membutuhkan upaya keras puluhan bahkan ratusan tahun.

Middle Income Trap
Bicara “produk vs merek” saya jadi teringat fenomena “middle-income trap”, yaitu fenomena negara-negara berpendapatan menengah (middle income countries) yang “terjebak di tengah” tidak bisa melaju lebih jauh menjadi negara maju. Perlu diketahui bahwa Indonesia kini telah masuk dalam jajaran negara berpendapatan menengah. Apakah Indonesia mampu terus melaju menjadi negara maju baru, atau stuck in the middle tertahan di tengah, sangat tergantung dari kemampuan bangsa ini menghasilkan barang-barang bernilai tambah tinggi.

Barang-barang bernilai tambah tinggi ini bisa terwujud karena dua faktor. Pertama karena kandungan teknologinya tinggi (otomotif, elektronik, semikonduktor, perangkat lunak, farmasi, dsb). Kedua, barang-barang tersebut memiliki ekuitas merek tinggi sehingga menikmati premium price di antara pesaing-pesaingnya.

Jadi, sesungguhnya Indonesia tidak perlu galau kalau tidak bisa mewujudkan mobil nasional (yup, Esemka) atau pesawat nasional (N-250) yang kandungan teknologinya setinggi langit. Agar tak terkena middle income trap, Indonesia juga bisa membangun secara massal warung Tegal yang memiliki ekuitas merek sekokoh McDonalds atau warung kopi dengan kekuatan merek sekokoh Starbucks. Walaupun warung Tegal dan warung kopi kandungan teknologinya barangkali rendah, namun kalau ekuitas mereknya selangit, maka nilai tambah yang dihasilkan juga bisa tinggi tak kalah dengan industri otomotif atau dirgantara.

So kesimpulannya, mulai sekarang ngomongnya “aku cinta merek-merek Indonesia” ya, bukan “aku cinta produk-produk Indonesia”. Viva merek-merek Indonesia!!! Bangkit merek-merek Indonesia!!!

Related posts:

  1. Komoditisasi Merek Global
  2. Brand “Indonesia”
0
FacebookTwitterWhatsappEmail
yuswohady

Yuswohady, Managing Partner Inventure. Author of 50+ books on business & marketing, incl. the best seller "Millennials KILL Everything" (2019) and "Consumer Megashift after Pandemic" (2020).

previous post
National Champion
next post
The Indonesian Dream

Baca Juga

Merek Berbahasa Indonesia

October 11, 2019

The Coming of the Asian Age

March 26, 2019

Brand Merah Putih

August 12, 2017

Best Business Book 2016 – My Picks

December 24, 2016

Core Economy-nya Jokowi

September 10, 2016

Pahlawan Pajak

September 3, 2016

Transformasi Branding BRI

July 3, 2016

DISRUPT!

June 4, 2016

“Nothing to Lose”

April 27, 2016

The Second Generation Challenges #IBF2016

April 9, 2016

3 comments

Ferry Setia June 2, 2013 - 12:19 pm

jadi selama ini “cintailah produk dalam negri” kurang tepat ya hahaha…

Reply
andi June 6, 2013 - 11:32 pm

ada yang menarik soal analisa mas siwo terkait pilihan strategy antara membangun kandungan teknologi yang tinggi dengan membangun ekuitas merek yang kuat…

kadang2 itu bukan merupakan pilihan, contoh warung tegal, bagaimana bisa membangun ekuitas merek yang tinggi (bangun sisi context) klo content nya masih jorok, rasanya biasa saja dan sebagainya (sisi content)
klo pun bisa…sampai se sustain apa equitas merek itu?
karena rasanya jika hanya mengacu pada context yang kuat brand tersebut jadi gak punya integrity yang kuat bukan?
CMIWW mas siwo,
btw salam kenal

Klop 🙂

Reply
arahman July 1, 2013 - 1:35 am

saya setuju dengan artikel. Kob gandosss

apa ada saran yg lebih sederhana utk menciptakan
“aku cinta merek-merek Indonesia”

Sy punya bisnis Merek #ayam Bakar Coklat @ayamck2 follow yaa n minta sarannya..

semoga kita berkembang dgn Bangsa indonesia

Reply

Leave a Reply to arahman Cancel Reply

Save my name, email, and website in this browser for the next time I comment.

Artikel Terbaru

  • Sharing Economy in the Pandemic

    February 19, 2021
  • Syariah Universal

    February 12, 2021
  • Stay @ Home Lifestyle

    February 7, 2021
  • Best Business Book 2020 on COVID-19: My Picks

    December 27, 2020
  • Best Business Books 2020: My Picks

    December 24, 2020
  • Industry Megashifts 2021 (3)

    December 14, 2020
  • Industry Megashifts 2021 (2)

    December 14, 2020
  • Industry Megashifts 2021 (1)

    December 14, 2020
  • 6 Forces of Change 2021

    December 13, 2020
  • Konsumen Indonesia Optimis

    November 28, 2020
  • Prospective Businesses for UKM

    October 14, 2020
  • UKM Outlook 2021

    October 11, 2020
  • New Omni Marcomm

    October 1, 2020
  • Dunia Hiburan Terkoyak Pandemi

    September 4, 2020
  • Family Life in the Pandemic Era

    September 4, 2020
  • 5 Digital Consumer Megashifts

    August 26, 2020
  • 15 Banking Consumer Megashift

    August 10, 2020
  • New Normal 100: Leisure & Travelling Trends

    July 26, 2020
  • New Normal 100: Digital Life & Privacy Trends

    July 24, 2020
  • 25 Retail Megashifts

    July 18, 2020

Langganan Artikel via Email

Recent Posts

  • Sharing Economy in the Pandemic
  • Syariah Universal
  • Stay @ Home Lifestyle
  • Best Business Book 2020 on COVID-19: My Picks
  • Best Business Books 2020: My Picks
  • Industry Megashifts 2021 (3)
  • Industry Megashifts 2021 (2)
  • Industry Megashifts 2021 (1)
  • 6 Forces of Change 2021
  • Konsumen Indonesia Optimis
  • Prospective Businesses for UKM
  • UKM Outlook 2021
  • New Omni Marcomm
  • Dunia Hiburan Terkoyak Pandemi
  • Family Life in the Pandemic Era
  • 5 Digital Consumer Megashifts
  • 15 Banking Consumer Megashift
  • New Normal 100: Leisure & Travelling Trends
  • New Normal 100: Digital Life & Privacy Trends
  • 25 Retail Megashifts
  • Facebook
  • Twitter
  • Instagram
  • Youtube

@2020 - All Right Reserved. Designed and Developed by Wihgi.com


Back To Top