Dalam gelaran Indonesia Brand Forum (IBF), 20 Mei 2013 lalu, dalam sambutan pengantar, saya mengungkapkan bahwa sebagai anak bangsa kita harus cinta merek Indonesia. Saya tekankan di situ bahwa kita harus “cinta merek Indonesia”, tidak cuma sekedar “cinta produk Indonesia”. Yang tidak begitu peduli dengan pengertian “merek” dan “produk” barangkali akan menganggapnya sambil lalu saja. “Lhah, produk dan merek kan sami mawon… sama saja!”
Padahal dua kata itu memiliki pengeritan yang secara substansi berbeda, tentu dengan implikasi kebijakan yang berbeda pula. Karena itu dalam pengantar IBF tersebut saya menekankan bahwa kampanye cinta produk Indonesia yang pernah begitu gencar dikampanyekan di masa Orde Baru sesungguhnya mengandung pengertian yang misleading. Jangan salah, misleading ini bisa membawa konskuensi yang tidak bisa dianggap remeh. Kenapa rupanya?
Produk vs Merek
Untuk menjelaskan perbedaan antara produk (product atau goods) dan merek (brand) paling gampang saya menggunakan contoh Starbucks. Starbucks adalah contoh salah satu merek yang memiliki ekuitas tertinggi di dunia. Tingginya ekuitas merek (brand equity) inilah yang kemudian membawa berkah luar biasa bagi Starbucks dalam bentuk harga yang lebih tinggi (premium price) di banding pesaingnya.
Ekstrimnya saya sering menggambarkan, kopi tanpa merek yang disajikan di warung kopi sebelah pasar Inpres mungkin dijual satu cangkir seharga Rp.3000. Sementara kopi yang disajikan di gerai-gerai Starbucks yang cool paling murah dijual Rp.30.000. Kenapa sama-sama kopi harganya bisa njomplang seperti itu?
It’s the power of brand. Inilah hebatnya sebuah merek. Ingat, kopi yang dikemas sedemikian rupa dan disajikan di gerai Starbucks adalah “merek” (brand). Sementara, kopi yang disajikan di warung kopi adalah produk (product/goods). Starbucks bisa mahal karena ia menambahkan seabrek nilai dan manfaat (value & benefit) yang membuatnya menjadi kopi istimewa berharga mahal. Manfaat itu bisa berupa manfaat fungsional (functional benefit) maupun emosional (emotional benefits).
Nilai tambah itu bermacam-macam, mulai dari kualitas biji kopi yang prima; pengolahan kopi yang excellent dan berteknologi canggih; logo yang membanggakan, pilihan menu kopi yang komplit; store experience pas untuk nongkrong; gengsi tinggi dan sarana pamer/narsis ke sesama teman; medium untuk penanda identitas dan ekspresi diri (self-expression); cerita dan legenda (brand story) yang mengitarinya; dan sebagainya.
Makanya saya sering melontarkan guyonan: “Harga kopi Starbucks Rp.33.000 itu, untuk beli kopinya cuma tiga ribu perak, tiga puluh ribu perak sisanya untuk beli nongkrong, narsis, gengsi, dan tetek-bengeknya.” Itulah istimewanya merek hebat bernama Starbucks.
Tidak Cukup Produk
Kembali ke persoalan semula, kenapa harus “merek” bukan “produk”. Kalau bangsa ini hanya bisa menciptakan produk (apalagi produk itu hanya sebatas produk komoditas: biji kopi, kelapa sawit, coklat, minyak mentah, batubara), maka kita tak akan pernah mendapatkan nilai tambah tinggi. Kita menjadi bangsa kelas teri yang hanya mampu menghasilkan kopi seharga Rp.3000 secangkir, bukan penghasil merek kopi hebat seharga Rp.30.000 secangkir.
Kalau hanya pemain global seperti Starbucks yang mampu mencipta nilai tambah tinggi melalui proses brand-building, sementara pemain kita hanya bermain di produk atau barang komoditas bernilai tambah Senen-Kemis, maka wajar saja kalau kita begitu gampang tergilas oleh kekuatan raksasa merek global. Produk-produk kita haruslah ditingkatkan kelasnya menjadi merek yang memiliki keunikan (diferensiasi) dan bernilai tambah tinggi, syukur-syukur memiliki daya saing di pasar global.
Kita tak cukup mencipta produk kosmetik Indonesia, kita harus membangun merek kosmetik hebat seperti Martha Tilaar, Mustika Ratu, atau Viva. Kita tak cukup mencipta produk jamu Indonesia, kita harus membangun merek jamu hebat seperti Sido Muncul, Jamu Jago, atau Nyonya Meneer. Kita tak cukup mengembangkan buah Indonesia, kita juga harus membangun ratusan atau bahkan ribuan merek sekelas Sunpride. Kita tak cukup sekedar mencipta produk-produk elektronik Indonesia, kita juga arus membangun merek-merek hebat sekelas Polytron.
Itulah sebabnya saya berkepentingan untuk mengingatkan kita semua bahwa yang harus kita bangun dan perjuangkan bukanlah sekedar produk apalagi barang komoditas, tapi adalah merek Indonesia. Harus diingat, membuat produk Indonesia itu gampang, tapi membangun merek Indonesia yang berdaya saing dan bernilai tambah tinggi itu bukan pekerjaan mudah, butuh perjuangan sampai titik darah penghabisan. Membangun merek-merek hebat Indonesia seperti Sosro, Garuda Indonesia, Indomie, Fastron, Promag, J.Co, Tolak Angin, atau Batik Keris adalah pekerjaan besar yang membutuhkan upaya keras puluhan bahkan ratusan tahun.
Middle Income Trap
Bicara “produk vs merek” saya jadi teringat fenomena “middle-income trap”, yaitu fenomena negara-negara berpendapatan menengah (middle income countries) yang “terjebak di tengah” tidak bisa melaju lebih jauh menjadi negara maju. Perlu diketahui bahwa Indonesia kini telah masuk dalam jajaran negara berpendapatan menengah. Apakah Indonesia mampu terus melaju menjadi negara maju baru, atau stuck in the middle tertahan di tengah, sangat tergantung dari kemampuan bangsa ini menghasilkan barang-barang bernilai tambah tinggi.
Barang-barang bernilai tambah tinggi ini bisa terwujud karena dua faktor. Pertama karena kandungan teknologinya tinggi (otomotif, elektronik, semikonduktor, perangkat lunak, farmasi, dsb). Kedua, barang-barang tersebut memiliki ekuitas merek tinggi sehingga menikmati premium price di antara pesaing-pesaingnya.
Jadi, sesungguhnya Indonesia tidak perlu galau kalau tidak bisa mewujudkan mobil nasional (yup, Esemka) atau pesawat nasional (N-250) yang kandungan teknologinya setinggi langit. Agar tak terkena middle income trap, Indonesia juga bisa membangun secara massal warung Tegal yang memiliki ekuitas merek sekokoh McDonalds atau warung kopi dengan kekuatan merek sekokoh Starbucks. Walaupun warung Tegal dan warung kopi kandungan teknologinya barangkali rendah, namun kalau ekuitas mereknya selangit, maka nilai tambah yang dihasilkan juga bisa tinggi tak kalah dengan industri otomotif atau dirgantara.
So kesimpulannya, mulai sekarang ngomongnya “aku cinta merek-merek Indonesia” ya, bukan “aku cinta produk-produk Indonesia”. Viva merek-merek Indonesia!!! Bangkit merek-merek Indonesia!!!
3 comments
jadi selama ini “cintailah produk dalam negri” kurang tepat ya hahaha…
ada yang menarik soal analisa mas siwo terkait pilihan strategy antara membangun kandungan teknologi yang tinggi dengan membangun ekuitas merek yang kuat…
kadang2 itu bukan merupakan pilihan, contoh warung tegal, bagaimana bisa membangun ekuitas merek yang tinggi (bangun sisi context) klo content nya masih jorok, rasanya biasa saja dan sebagainya (sisi content)
klo pun bisa…sampai se sustain apa equitas merek itu?
karena rasanya jika hanya mengacu pada context yang kuat brand tersebut jadi gak punya integrity yang kuat bukan?
CMIWW mas siwo,
btw salam kenal
Klop 🙂
saya setuju dengan artikel. Kob gandosss
apa ada saran yg lebih sederhana utk menciptakan
“aku cinta merek-merek Indonesia”
Sy punya bisnis Merek #ayam Bakar Coklat @ayamck2 follow yaa n minta sarannya..
semoga kita berkembang dgn Bangsa indonesia