Seharian, hari Sabtu kemarin (13/4) saya menthengin akun Twitter @SBYudhoyono, pagi hingga detik-detik menjelang rampungnya tulisan ini malam hari. Tentu saja ini akun spesial, karena resmi milik pak presiden. Di akun tersebut tertulis: “Akun Resmi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dikelola oleh Staf Khusus Presiden Republik Indonesia. Twit dari Presiden ditandai *SBY*”.
Ada satu hal yang saya tunggu dari akun ini, yaitu sepatah twit dari si empunya akun. Namun celaka tiga belas, sampai kata-kata terakhir kolom ini ditulis, tak sepatah twit pun saya temukan. Yang saya dapati justru jumlah follower yang melesat bak meteor hingga mencapai ratusan ribu orang dalam ukuran jam. Ya, memang buzz mengenai bakal “go twitter”-nya pak SBY beberapa hari ini membahana di setiap sudut jagad Twitterland.
Sambil berdebar menunggu twit pertama pak presiden, saya ingin memberikan catatan-catatan iseng mengenai langkah yang super simpatik sang presiden ini. Catatan iseng ini sekaligus merupakan harapan seorang jelata kepada pemimpinnya.
Let’s Listen
Kesalahan terbesar banyak tokoh figur publik adalah bahwa mereka menggunakan Twitter hanya sebagai status. Alasannya: ya, kalau punya akun Twitter kan cool+awesome; dianggap gaul; dianggap tech savvy, dianggap social networker; dan segudang anggapan keren lain. Padahal esensi ber-Twitter ria bukanlah di situ. Perilaku paling mulia di ranah Twitter adalah jika kita selalu mendengar (listening) para followers. “The GREATEST gifts and loving acts you can give to your followers is to LISTEN to them”. Gimana caranya? Caranya adalah blusukan di Twitter: mendengarkan cit-cit-cuit para followers. Karena itu, saya berharap agar pak SBY nantinya banyak blusukan di Twitter mendengarkan jeritan hati rakyatnya.
Pak SBY perlu tahu bahwa blusukan itu tak melulu di kampung-kampung kumuh seperti yang dilakukan pak Jokowi. Blusukan juga ampuh dilakukan di Twitter. Blusukan di Twitter adalah alat cespleng untuk mendengarkan curhatan-curhatan rakyat dari Sabang sampai Merauke. Memang pak SBY kalah dari pak Jokowi kalau untuk urusan blusukan di kampung-kampung. Tapi siapa tahu, begitu akun Twitter hidup, pak presiden menang dari pak gubernur untuk urusan blusukan di Twitter (hehehe.. biar skornya 1:1 kayak laga Barca vs. Paris St. Germain tiga hari lalu).
Let’s Talk
Saya juga berharap, kalau betul nanti Twitter-nya hidup, pak SBY juga ngobrol dengan para followers-nya. Ngobrol tak hanya diwakili oleh staf, tapi juga obrolan pak SBY menyapa para followers-nya. Kenapa? Karena memang Twitter adalah platform untuk ngobrol (conversations). Namanya juga ngobrol, maka arah komunikasinya harus dua arah. Ketika memutuskan nyemplung di Twitterland, maka inilah mindset yang harus dipegang: “Conversations yang dulunya merupakan liabilities karena “membahayakan” ketentraman si presiden kini justru harus menjadi asset dan peluang luar biasa untuk menjalin koneksi sosial (social connections) dengan seluruh stakeholders.”
Ngobrol memiliki dua elemen: bicara (talk) dan mendengar (listen). Dua elemen itu haruslah dilakukan secara proporsional dalam melakukan relationship dengan followers. Kita tak boleh terlalu banyak bicara tapi kurang mendengar. Sebaliknya, terlalu banyak mendengar kurang bicara juga nggak bagus. Ya, karena kita akan dinilai tidak responsif dan tidak empatik. Saya sering menggambarkan tweeps yang tak pernah mau ngobrol di Twitter sebagai “menekin yang hadir di sebuah resepsi pernikahan”. Ketika tamu undangan lain sibuk ngobrol dan bercengkrama, si menekin diam tanpa perasaan, tanpa ekspresi, layaknya robot yang nir-empati. Pak SBY tidak boleh menjadi menekin di Twitterland.
Dengan tidak melakukan conversation dengan para followers di Twitter, sesungguhnya pak SBY kehilangan sebuah kesempatan emas. Kesempatan emas untuk membuka diri kepada audiens (followers). Kesempatan emas untuk mengetahui lebih banyak dunia mereka. Kesempatan emas untuk membuka saling pengertian (understanding), saling percaya (trust), bahkan saling cinta (love). Kita semua memahami bahwa pak presiden sibuk luar biasa. Jadi tentu saja dimaklumi kalau sesekali saja ngetwit, selebihnya dilakukan oleh staf. Justru kalau pak SBY kebanyakan ngetwit, kita jadi curiga: “Pak presiden kita ini kerja atau kagak!” Nah, justru twit yang sedikit itulah yang ampuh luar biasa. “So, don’t worry… less is more.”
Be Open, Be Authentic
Wahai pak presiden, jangan jadikan Twitter sebagai alat pencitraan, apalagi alat untuk politiking. Janganlah jaim di Twitterland dengan menutupi yang bopeng-bopeng dengan bedak dan lipstik hingga kinclong. Percayalah bahwa Twitter adalah platform buka-bukaan. Semakin banyak bopeng-bopeng ditutupi, bukan wajah kinclong yang didapat, tapi justru pembusukan yang dituai. Dan kalau sudah begitu, maka reputasi personal (personal brand reputation) menjadi taruhan. Ingat, fondasi kesuksesan di Twitterland adalah keterbukaan. “OPENESS is a prerequisite for an HONEST and GENUINE conversation”
Untuk menciptakan authentic conversation di Twitter kita tak perlu menjadi siapa-siapa. Kita cukup menjadi diri sendiri. Be Yourself. Never be someone you are not. Kita tak perlu menjadi Superman. Kita tak perlu menjadi malaikat. Kita tak perlu menjadi Michael Jackson. Kita tak perlu mempermak diri dengan beribu kepalsuan
Pak SBY cukup menjadi diri Anda sendiri dengan kesederhanaan dan kesahajaan; dengan kelebihan dan kekurangan; dengan kebaikan dan kejelekan; dengan kebanggaan-kebanggaan dan hal-hal memalukan; dengan kekhasan gaya bertutur dan bersikap; dengan kepribadian yang unik. Tampilkanlah diri apa adanya. Semua itu akan membentuk karakter siapa SBY. Dengan tampil apa adanya, dengan sendirinya pak SBY membangun authentic character-nya. Ingat, your authentic character is your UNIQUENESS. It’s your TRULLY differentiation.
Saya Girang
Kalau betul SBY bercit-cit-cuit di Twitter barangkali saya adalah salah satu orang yang paling girang. Kenapa? Saya membayangkan akan terjadi gelombang eksodus besar-besaran para menteri, dirjen, gubernur, bupati, camat, lurah, carik, pak duta besar, dirut BUMN, kepala sekolah SD Inpres, kepala Lapas, sampai sopir busway, berbondong-bondong “go twitter”. Kok bisa? Bagaimana tidak, lha wong bos besar saja pakai Twitter, kok ini bos-bos kecil tidak! Nanti bisa kualat… upsss.
Lalu, kalau pemimpin-pemimpin kita (dari presiden hingga lurah di pelosok Papua) semua pakai Twitter, apa yang bakal terjadi? Saya adalah orang yang sangat percaya bahwa Twitter akan bisa membawa “revolusi kebaikan” bagi kita umat manusia. Ketika hubungan kita Twitterland dilandasi prinsip-prinsip saling memberi (giving) tidak selfish; mau saling mendengarkan (listening); intensif ngobrol dan bercurhat-curhatan (conversation); berperilaku jujur tanpa sedikitpun kepalsuan; dan selalu peduli dan empati kepada orang lain; maka kita akan menemukan dunia baru yang luar biasa. A whole new world. A world with peace and happiness.
Saya sangat berharap SBY bisa menjadi duta ber-Twitter yang sejuk, penuh empati, dan bernurani. Welcome to the Twitterland Mr. President.
2 comments
Ya mudah-mudahan langkah yang baik nantinya tetap berjalan baik dan awalnya dilandasi niatan yang baik.
cuma sayang sampai saat ini akun twitter SBY lebih pada pajangan saja.tidak melakukan komunikasi dua arah