Membaca artikel di majalah Harvard Business Review (HBR) edisi bulan Maret 2013 bertema “Advertising that Works” saya jadi galau. Kenapa, karena membaca artikel itu saya jadi tersadar bahwa dunia marketing sudah berkembang sedemikian rupa sehingga seorang marketer saat ini haruslah seorang techy, tak boleh gaptek seperti dulu-dulu lagi. Ya, karena promosi dan channel untuk menjangkau konsumen kini sudah menggunakan medium yang tak bisa lepas dari teknologi. Salah satunya adalah platform mobile melalui medium smartphone.
Menurut survei Nielsen tahun lalu, pengguna smartpone kita saat ini sudah mencapai 20% dari total pengguna telepon, dengan pertumbuhan yang amat pesat dari tahun ke tahun. Indonesia merupakan pasar Blackberry terbesar di dunia di luar Kanada. Dan harus diingat, populasi pengguna Facebook dan Twitter di Indonesia merupakan salah satu yang terbesar di dunia. Apa artinya ini? Artinya, pemasaran dengan platform mobile melalui smartphone sudah terhampar di depan mata. Kalau memakai istilah Krisdayanti, “tinggal menghitung hari”.
Seiring dengan kian merosotnya efektifitas iklan melalui media konvensional seperti TV, Radio, atau koran, pemasaran melalui “the fourth screen” (“first screen”: movies; “second screen”: TV; “third screen”: PC) ini akan kian populer sekaligus menjadi killer apps bagi media-media pendahulunya. Sehingga marketer juga harus mengikuti arus besar ini, kalau tidak maka bisa dipastikan si marketer tak akan relevan lagi: “relevant or die!!!”.
New Media, New Tools
Ketika media berubah, maka tools yang harus dimanfaatkan marketer harus berubah. Kalau dulu marketer menggunakan iklan untuk berkomunikasi dan meyakinkan konsumen untuk membeli produk, maka kini di platform mobile, mereka harus menggunakan mobile applications (apps) yang cool plus engaging. Ya, karena di medium personal seperti smartphone, privasi merupakan hal paling sensitif. Itu sebabnya promosi dengan mobile ads (iklan di smartphone) tak akan bisa survive karena konsumen emoh melahapnya.
“The best way for marketers to communicate through mobile will be with apps,” ujar Sunil Gupta, seorang pakar marketing, di artikel HBR di atas. Ketika Anda menggunakan smartphone sebagai saluran promosi, maka apps menjadi pilihan paling pas dan paling efektif. Tak heran jika dalam waktu yang tidak lama apps marketing akan menjadi “the next big thing” di dunia marketing, tak hanya di tingkat global, tapi juga di Tanah Air.
Yang dimaksud dengan apps di sini adalah berbagai bentuk aplikasi yang bermanfaat bagi kita saat kita mobile. Bentuknya bisa games dari Angry Birds hingga Solitaire; bisa social network seperti Facebook atau Twitter; bisa utilities seperti peta (Google Maps), layanan pengiriman pesan (WhatsApp), jam, kalendar, email, atau kamera yang ada di smartphone kita; bisa juga aplikasi-aplikasi yang khusus diciptakan pemilik merek untuk melakukan engagement dengan konsumennya.
Promosi dengan menggunakan apps ini memiliki keunggulan dibanding iklan konvensional, karena promosi dengan memanfaatkan apps cenderung tidak dilihat interuptif dan tidak mengganggu seperti halnya iklan konvensional. Seperti kita tahu, saat-saat paling menjengkelkan bagi kita adalah saat nonton Chelsea vs Liverpool, eeh tiba-tiba dipotong iklan rokok. Dampak interuptif seperti ini adalah kelemahan paling fatal dari iklan konvensional.
Di samping itu apps marketing juga memiliki keunggulan lain karena biayanya lebih murah. Sebuah apps yang kita bikin bisa dimanfaatkan secara terus-menerus untuk berpromosi tanpa ada biaya variabel yang siknifikan. Ini berbeda dengan iklan TV atau radio yang membutuhkan biaya variabel (media buying) yang besar ketika harus ditayangkan berulang-ulang. Tak hanya itu, apps yang unik dan disukai konsumen juga bisa menjadi medium untuk terciptanya komunitas konsumen. Di dalam komunitas ini merek dan konsumen bisa melakukan conversation secara berkelanjutan.
Don’t Interupt, Give Benefits
Mindset mendasar dari promosi dengan menggunakan apps adalah bahwa pendekatan ini tidak menginterupsi audiens dengan pesan-pesan menjengkelkan (selfish, brand-centric), tapi justru sebaliknya, memberikan exciting user experience dan manfaat bagi mereka (empathic, customer-centric). Karakteristik inilah yang membuat pemasaran dengan menggunakan apps lebih horizontal, lebih permission-based, dan lebih tidak menjengkelkan bagi konsumen.
Manfaat yang diberikan ini bisa bermacam-macam bentuknya. Maskapai penerbangan misalnya, bisa menciptakan mobile apps yang memudahkan penumpangnya melakukan city check-in atau mengetahui jadwal penerbangan. Sebuah bank bisa menciptakan mobile apps yang memudahkan nasabahnya mencek saldo atau memberikan kemudahan pembayaran. Atau perusahaan sepatu bola bisa menciptakan apps yang memberikan informasi update mengenai skor pertandingan tim-tim yang berlaga di liga Inggris misalnya.
Dalam apps marketing, pemilik merek tak melulu menebarkan pesan-pesan jualan yang membosankan, tapi juga memberikan user experience kepada target audiensnya, misalnya dengan memberikan games. Perusahan energy drink, Red Bull misanya, menciptakan beragam games (Red Bull Kart Fighter, Red Bull X-Fighter, atau Red Bull Air Force) untuk membangun emotional connection dengan konsumennya.
Menciptakan beragam games seperti ini memang tidak semudah membuat iklan dan kemudian menayangkannya berulang-ulang di TV-TV nasional. Butuh effort yang jauh lebih sulit dan merepotkan. Tapi apps marketing seperti ini membawa dampak yang jauh lebih powerful dan bersifat jangka panjang. Harap diketahui, mobile games apps Red Bull ini telah diunduh oleh lebih dari 2 juta konsumen. Dan setiap kali konsumen memainkan games tersebut, berarti mereka melakukan engagement dengan Red Bull. Inilah hebatnya apps!
So… kapan anda menerapkan apps marketing untuk memperampuh strategi pemasaran Anda? Mumpung yang lain belum kepikiran.
1 comment
Akan segera dipikirkan dan dicari caranya, pengen segera menerapkan cara ini.