Artis yang paling saya tunggu-tunggu di Java Jazz tahun ini adalah Dave Grusin, Ya, karena ini adalah kali pertama musisi jazz legendaris ini tampil di Java Jazz. Yang belum tahu, Dave (kini berusia 79 tahun) adalah pianis, komposer, produser gaek pendiri GRP record, label yang begitu berpengaruh di jagad jazz tahun 1980-an. Saking spesialnya, Peter Gontha, pendiri Java Jazz, menyempatkan diri menyambut secara khusus sebelum sang maestro tampil Jumat malam (1/3) lalu.
Saat Dave menyapa penonton di awal penampilannya, ia mengungkapkan keheranannya bahwa Indonesia memiliki event jazz yang demikian besar. “Saya kaget luar biasa, begitu banyak musisi jazz dan penonton di sini,” ujarnya. Dave takjub, ternyata ada festival jazz begitu sukses, diselenggarakan oleh negara yang selama ini tak diperhitungkan. Mendengar kekagetan Dave tersebut saya pun bergumam, “Baru tahu dia…”
Keheranan Dave barangkali memang beralasan, mengingat Java Jazz memang sukses luar biasa dibanjiri penonoton. Harap tahu saja, dengan jumlah penonton 112 ribu orang tahun lalu, Java Jazz kini merupakan salah satu festival jazz terbesar di dunia kalau diukur dari jumlah penontonnya. Coba bandingkan: tiga hari penyelenggaraan North Sea Jazz Festival (Belanda) hanya dikunjungi oleh 70-an ribu penonton; dan Monterey Jazz Festival (AS) yang sudah berusia 54 tahun cuma dikunjungi 40 ribu penonton untuk 3 hari event.
Java Jazz
Sukses Java Jazz meraup penonton adalah potret dari Indonesia baru: yaitu Indonesia yang masyarakat kelas menengahnya rakus mengadopsi budaya dari manapun di seluruh pelosok dunia. Perlu diingat, mayoritas penonton Java Jazz adalah masyarakat kelas menengah. Mereka adalah kelompok masyarakat baru yang memiliki daya beli tinggi, berpengetahuan luas, dan berwawasan global. Mereka bersekolah tinggi. Mereka pengkonsumsi apps yang passionate. Mereka tiap hari nonton TV kabel 200 kanal. Dengan bekal itu semua mereka mampu mengunyah budaya global bernama “jazz” dengan begitu nyaman dan natural.
Melihat kelas menengah tumplek-blek di JIExpo Kemayoran menonton jazz, saya jadi sadar bahwa Indonesia kini bukan lagi berada di bagian pelosok terpencil dunia; Indonesia kini bukan lagi “negara kampung” yang minderan. Indonesia kini telah menjadi negara yang begitu confident berada di pusat pusaran peradaban dunia (peradaban konsumtifisme? uppss!?!!). Karena itu, Indonesia kini adalah negara yang begitu rakus menyantap kebudayaan dunia dari Gangnam Style hingga iPad; dari Hollywood hingga Twitter. Termasuk, tentu saja, jazz.
Karena itu saya katakan, sukses Java Jazz bukanlah semata keberhasilan tim Peter Gontha membesut event luar biasa ini, tapi juga karena sukses konsumen kelas menengah dalam menceburkan diri ke dalam pusaran kebudayaan dunia. Wawasan dan mindset global yang dimiliki konsumen kelas menengah kita telah menjadikan jazz, sedekat gamelan, wayang, atau ludruk. Terbukanya informasi yang mengalir deras melalui gadget-gadget mereka telah membuat jazz kini menjadi keseharian, bahkan menjadi simbol baru gaya hidup dan identitas mereka.
Gamelan
Sukses Java Jazz membawa saya melayang mengarungi masa-masa mahasiswa di Yogya lebih dari 15 tahun yang lalu. Waktu mahasiswa saya adalah pengunjung setia Yogyakarta Gamelan Festival di yang tiap tahun digelar Gedung Purnabudaya, kampus UGM. Event ini digagas dan dimotori oleh mendiang mas Sapto Rahardjo, orang hebat yang mendedikasikan hidupnya untuk seni musik kontemporer dan gamelan. Kalau di Jazz kita punya Peter Gontha, maka di Gamelan kita punya mas Sapto Rahardjo. Setiap tahun saya selalu menunggu event yang mengangkat seni adi luhung bangsa ini.
Secara musikalitas Yogyakarta Gamelan Festival tak beda dari Java Jazz Festival, sama-sama adi luhung. Cuma kalau melihat dari sisi jumlah penonton, maka kita melihat perbandingan bumi dan langit. Sejak awal diselenggarakan, Yogyakarta Gamelan Festival sepi pengunjung. Peminatnya tak jauh dari: mahasiswa seni karawitan, mahasiswa-mahasiswa nyentrik seperti saya (hehehe…), bule-bule yang sedang belajar di UGM, seniman-seniman, dan dosen-dosen seni. Jumlahnya bisa dihitung dengan jari: cuma puluhan, paling banyak ratusan.
Dari waktu ke waktu saya juga melihat event musik luar biasa ini makin melayang tinggi di menara gading dan makin sepi peminat. Setahu saya, sepeninggal mas Sapto Rahardjo event itu kian meredup. Saya tidak tahu apakah event hebat itu sekarang masih ada atau tidak.
#Stayrelevant
Membandingkan jazz yang mencorong dan gamelan yang kian meredup saya jadi ingat temen saya di Twitter. Namanya @Sydsalesman. @Sydsalesman sering me-mention saya twit dengan tagar #stayrelevant. Intinya ia selalu mengingatkan bahwa di tengah perubahan yang luar biasa saat ini, kita harus bisa terus berubah agar tetap bisa relevan dengan kondisi yang ada. Kita harus adaptif mengubah paradigma, mindset, platform, pola pikir, atau strategi agar tetap relevan. Pokoknya, kata @Sydsalesman, untuk bisa survive kita harus #stayrelevant. Atau kalau mau dibikin jargonnya: “relevant or die!!!”
Ingat #stayrelevant-nya @sydsalesman, saya pun kemudian berpikir, apakah mencorongnya jazz dan meredupnya gamelan juga tersangkut-paut dengan persoalan #stayrelevant? Kalau Java Jazz dikunjungi 112 ribu penonton, sementara gamelan cuma puluhan paling banter ratusan penonton, apakah ini karena masalah #stayrelevant?
Menarik sih dibahas lebih lanjut, apalagi kalau @sydsalesman ikutan nimbrung meramaikan diskusi. Tapi mohon maaf pembaca, ini saya lagi males mikir euy. Mau nonton Java Jazz dulu… soalnya hari ini hari terakhir… byeeeee.
2 comments
kalo sekarang ngetren Harlem Shake mas hehe
Kalo dari sisi Jazz, makin lama memang makin banyak peminatnya apalagi di kota-kota besar. Tapi menurut saya yang nyebur di musik indie jalur underground (sebenernya jazz juga indie sih) juga makin banyak peminatnya, ibarat seperti jazz setahun dua tahun yang lalu. Ada event-event besar macam Hammersonic Maret mendatang yang diisi oleh musisi musik rock luar negeri papan atas, menurut saya bener kata mas Siwo nih, Indonesia menjadi menarik bagi artis-artis luar 😀
Namun yang beda, musik indie jalur underground (entah julukannya kerennya gimana) belum bisa seperti jazz. Entah kenapa komunitas ini hubungannya sangat erat sekali dengan brand-brand pakaian lokal kecil (UKM) yang kian banyak dan sukses. Apa yang dipakai oleh band idola, pasti dipakai oleh fans fanatiknya. Jadi ada paham tersendiri bahwa clothing-clothing/brand-brand UKM ini harus didukung dan antara band indie dan clothing harus saling mendukung. Jadi bisa menghidupkan perekonomian Indonesia hahaha. Tapi saya lihat masih banyak juga anak-anak muda (kebanyakan yang hidup di komunitas ini anak muda) yang masih juga bangga sama produk brand luar, ini mindset yang pengen banget saya rubah mas 🙂
Sekian sharing saya hehehe
Tenang saja pak Yuswo..saat ini Indonesia sedang sadar akan hebatnya dirinya, akan garangnya dentuman ombak lautnya, tentang mampunya dia bersaing.
Sebentar lagi akan berputar, saat tiba2 di panggung pertunjukan yang ditonton Indonesia tiba2 saja tertutup cermin lalu memantullah berjuta keindahan berlipat2 dari suguhan panggung saat ini..
#keepOptimis #IndonesiaOptimis