Saya sebut “authentic branding” karena senjatanya adalah authenticity. Saya sebut “gincu branding” karena senjatanya gincu. Authenticity adalah sesuatu yang orisinil, tak dibikin-bikin, penuh kepolosan, penuh kejujuran, penuh keikhlasan, nir-rekayasa. Sementara gincu adalah lambang kepalsuan. Ya, karena dengan gincu wanita yang jelek bisa disulap menjadi cantik. Dengan gincu, yang polos menjadi menor. Dengan gincu keindahan bisa dipalsukan.
Di ranah branding politisi, saya berani berteriak: “Wahai para calon bupati, para calon walikota, para calon gubernur, para calon anggota DPR, juga tentu calon presiden, gunakanlah authentic branding”. Saya juga lantang berkoar: “Wahai para bupati, para gubernur, para anggota DPR, juga presiden, enyahkan jauh-jauh gincu branding. Enyahkan jauh-jauh kepalsuan, kemunafikan, politiking, dan perekayasaan dalam melakukan komunikasi politik dan membangun personal brand.”
Untuk menjelaskan apa itu authentic branding dan gincu branding ada baiknya saya menggunakan contoh-contoh yang gampang dan mudah dicerna.
Authentic
Jokowi adalah politisi yang saya sebut piawai dalam menjalankan authentic branding. Kenapa? Karena gaya personal branding Jokowi sebagai politisi, dulu walikota Solo, dan kini gubernur DKI Jakarta selalu diwarnai orisinalitas, tak dibuat-buat, penuh kepolosan, tak menggunakan rekayasa yang ndakik-ndakik (canggih dan penuh intrik), alias apa adanya. Kalau meminjam tagline-nya salah satu produk rokok, gaya personal branding Jokowi tak banyak basa-basi.
Gebrakan terbaru Jokowi dalam membangun authentic personal brand terjadi minggu ini (Kamis, 20/12) saat ia melantik salah satu walikotanya di perkampungan kumuh. Pelantikan dilangsungkan secara sederhana, murah-meriah, tapi penuh makna. Tempat pelantikan apa adanya, tanpa AC, tanpa atap, sehingga terik matahari menyengat dan kucuran keringat melumuri tubuh pak walikota. Tentu saja bau tak sedap khas kampung kumuh mengiringi detik demi detik prosesi pelantikan.
Gaya pelantikan yang “out of the box” ini adalah cermin dari sosok Jokowi yang sederhana, merakyat, dan mau turun ke bawah untuk mendengarkan soft voice of customers. Langkah Jokowi bukanlah untuk mencari sensasi atau untuk menaikkan elektabilitas, tapi dilandasi keinginan tulus agar para walikota peka dan mau mendengar masalah masyarakat yang terpinggirkan. Bagi Jokowi momen pelantikan di kampung kumuh merupakan momentum penting agar si walikota ingat terus rakyat kecil selama ia menjabat.
Niat tulus dan keikhlasan akan selalu menemukan jalannya sendiri menuju kebaikan. Niat ikhlas Jokowi untuk membangun karakter mulia para walikota rupanya direspons luar biasa oleh kalangan media dan masyarakat umum. Acara pelantikan diberitakan begitu massif dan kemudian menghasilkan buzz luar biasa tak hanya di Jakarta tapi hingga ke seantero negeri. Acara pelantikan nyentrik ala Jokowi dibicarakan mulai dari anggota DPR hingga pedagang pasar Mayestik; dari pegawai kantoran Jl. Sudirman hingga sopir Kopaja.
Dalam ilmu pemasaran, promosi yang dilakukan oleh pihak lain (third party) secara otentik dan apa adanya memiliki kekuatan pengaruh (power of influence) yang luar biasa. Tanpa rekayasa dan strategi yang ndakik-ndakik, acara pelantikan tersebut telah menghasilkan dampak promosi yang luar biasa bagi personal brand Jokowi. Itulah yang saya sebut authentic branding. Sebuah strategi branding yang “roh”-nya adalah keikhlasan dan niat tulus.
Gincu
Itu authentic branding. Lalu bagaimana dengan gincu branding? Untuk menjelaskannya saya ingin mengambil contoh gaya personal branding para politisi yang hampir setiap malam saya saksikan iklannya di TV. Gaya dari iklan-iklan itu umumnya setali tiga uang: si tokoh menggunakan atribut-atribut partai dan atribut merah putih, menyuarakan nasionalisme, membela keadilan, perhatian kepada rakyat kecil, anti korupsi. Selalu saja tak ketinggalan, si tokoh mengedepankan prestasi-prestasi hebat yang telah dicapainya selama ini.
Dalam iklan itu si tokoh umumnya dipersonifikasikan sebagai sosok yang arif-bijaksana, pemurah, taat beragama, peduli pada kaum papa. Dalam adegan-adegan iklan biasanya digambarkan si tokoh merangkul pedagang pasar, memberikan sumbangan bencana alam, atau bersalaman dengan masyarakat tertinggal di pedalaman. Agar dramatis dan mengena hati pemirsa, seringkali gambar direkayasa dengan memberikan efek slow motion.
Untuk memperkuatnya, biasanya iklan dilengkapi dengan celoteh para selebriti yang berperan sebagai endorser (sebut saja mereka “cheerleader”) ngomong yang baik-baik mengenai si tokoh. Namanya saja iklan, tentu saja kurap, kudis, dan panu si tokoh disembunyikan rapat-rapat. Di layar TV pokoknya yang muncul serba kinclong. Tak tahu kenapa, setiap kali habis nonton iklan-iklan semacam ini mendadak perut saya mual. Sekonyong-konyong saya pun kemudian sigap layaknya bintang film Ninja mengambil langkah seribu ke belakang.
Tak cuma iklan TV, biasanya sosok si tokoh juga ditampilkan dalam billboard-billboard raksasa di jalan-jalan protokol dan strategis. Setiap kali saya menuju dan meninggalkan bandara Soekarno Hatta, saya selalu takjub oleh billboard-billboard raksasa di kiri-kanan jalan. Di situ terpampang para gubernur lengkap dengan seragam putih dan topi kebesarannya numpang nampang iklan promosi kampanye wisata daerah. Saya bingung tujuh keliling, kenapa juga foto si gubernur yang justru segedhe gadjah, sementara foto potensi wisatanya sendiri nyemplik kecil, kalah bersaing dengan foto mentereng sang gubernur. “Nabung elektabilitas” kali ya, untuk Pilkada mendatang, hehehe.
Tidak seperti Jokowi yang ikhlas menggelar pelantikan walikota, iklan-iklan dan billboard-billboard itu umumnya digelar dengan tujuan strategis yang jelas, yaitu: menaikkan elektabilitas, menaikkan awareness, atau membangun citra mulia si tokoh. Tujuan akhirnya lebih jelas lagi, yaitu terpilih menjadi bupati, menjadi gubernur, atau menjadi presiden. Pasang iklan tiap malam di TV tentu saja membutuhkan investasi miliaran rupiah, dan setiap investasi harusnya menghasilkan ROI (return of investment) yang setimpal. Di sinilah keikhlasan dan ketulusan itu sulit kita temukan.
Iklan adalah media promosi yang diperoleh karena kita membayar (paid media). Karena membayar maka kita bisa merekayasa, memoles, memplintir, agar sampai maksud dan tujuan yang kita inginkan. Itu sebabnya iklan-iklan itu tidak bisa otentik, tidak bisa polos, tidak bisa apa adanya. Citra yang dibangun iklan tersebut penuh dengan rekayasa, intrik, dan kemunafikan. Itulan yang saya sebut gincu branding. Sebuah strategi branding yang “roh”-nya adalah udang di balik batu.
Untuk menjalankan authentic branding dibutuhkan tokoh pemimpin yang berkarakter. Saya hanya berdoa semoga Jokowi bisa mempertahakan keagungan karakternya. Karena dengan begitu setiap polah tingkahnya akan menjadi inspirasi bagi kita semua, terutama para politisi yang berambisi menjadi bupati, gubernur, atau presiden.
9 comments
Terimakasih untuk tulisannya mas @yuswohady.
Salam,
@mohammadtazam
Salam mas 🙂
Tulisan yang sangat bagus dan berkelas! Banyak masyarakat yang alergi pada kata ‘pencitraan’. Padahal semua yang kita katakan dan lakukan adalah sebuah pencitraan tentang diri kita sendiri di mata orang2 lain. Semoga yang sudah mengeluarkan uang miliaran rupiah di berbagai media untuk mengangkat elektabilitas jadi mikir lagi setelah teamnya baca tulisan Anda ini. Mantap!
Semoga bapak-bapak itu baca… hehehe
Authentic = orisinil + luar (ke)biasa(an) pak?
Great formula!!!
Subhanallah..
Two thumbs up for you!! 🙂
Suka sekali
Menarik nih kalo kepemimpinan Jokowi dipelajari dari sdut pandang marketing 😀
He is a great marketer
Mas Yuswo … Iyah banget ! Dah lama gak ngobrol … susahnya authentic itu gak bisa lahir tiap kali .. even by design yach mas .. karena semua tergantung dari personalnya juga yach mas …
character matter, character itu ya terbangun bertahun-tahun, puluhan tahun bahkan, ups, konsultan politik jadi gak laku nih 😀
“gincu branding” membuat capek, krn harus “pura-pura” agar sesuai dgn pencitraan yg diinginkan.
“authentic branding” lebih menentramkan dan tidak bikin capek ya pak.
tulisannya nyentil dan bikin nagih baca lagi!
Makanya jadi cewek jangan banyak-banyak pake gincu… hehehhe… kwkwkwkk
pencitraan adalah realitas yg direkayasa, good notes…
Gincu branding dr politisi yg paling bikin mual itu kalo udah nyebutin kata “RAKYAT”, terasa sekali kalo mereka VERTIKAL terhadap warganya. Wahai politisi, cobalah pakai kata “WARGA”, lebih HORIZONTAL gitu. Secara sekarang udah zamannya HORIZONTAL MARKETING. 😀
Setuju!