Di Indonesia saat ini kita sedang dilanda uforia mengenai kelas menengah. Banyak kalangan (presiden, menteri, politisi, pakar, mahasiswa) bicara mengenai kelas menengah Indonesia yang tumbuh luar biasa. Kemajuan apapun sekarang dikaitkan dengan kelas menengah: Starbucks dan 7-Eleven boom dikaitkan dengan kelas menengah; Indonesia menjadi negara terbesar ketujuh di dunia pada tahun 2030 dikaitkan dengan kelas menengah; jalanan macet dikaitkan dengan kelas menengah; termasuk narkoba dan korupsi marak dikaitkan dengan tumbuhnya kelas menengah.
Tapi saya yakin, tak banyak yang tahu siapa sesungguhnya kelas menengah ini. Yang terbayang di benak kita begitu mendengar kelas menengah adalah mereka-mereka yang mulai mapan: punya rumah layak, punya mobil walau baru Xenia, berpendidikan minimal universitas; memiliki cukup pensiun dan job security yang memadai; memiliki pendapatan berlebih (discretionary income) yang memungkinkan mereka membeli TV, lemari es, AC, dan liburan.
Tapi apakah benar seperti itu? Apa sesungguhnya definisi dari kelas menengah? Berbeda dengan kelas bawah (miskin) yang bisa didefinisikan secara absolut berdasarkan kebutuhan kalori (calory requirement), tidak ada definisi yang baku mengenai kelas menengah. Setiap badan dan peneliti memiliki versinya sendiri-sendiri mengenai definisi kelas menengah. Akibatnya jumlah kelas menengah di suatu negara juga berbeda-beda tergantung definisi yang diambil.
Relatif
Secara umum ada dua pendekatan untuk mendefinisikan kelas menengah yaitu pendekatan absolut dan relatif. Lester Thurow (1987) dari MIT mendefinsikan kelas menengah di Amerika Serikat sebagai kelompok masyarakat yang memiliki pendapatan (income) dalam rentang antara 75% dan 125% dari median (titik tengah) pendapatan perkapita. Jadi batas bawah (floor) kelas menengah menurut definisi ini adalah sebesar 75% dari angka median pendapatan perkapita. Sedangkan batas atasnya sebesar 125% dari angka median pendapatan perkapita.
Sementara Easterly (2001) dari New York University mendefinisikan kelas menengah dengan membagi penduduk ke dalam lima kelompok pengeluaran konsumsi (consumption expenditure) yang sama (quintiles), dari kelompok masyarakat termiskin hingga terkaya. Kelas menengah menurut Easterly diperoleh dengan mengeluarkan quintiles terbawah (20% kelompok masyarakat termiskin) dan quintiles teratas (20% kelompok masyarakat terkaya). Jadi kelas menengah adalah kelompok masyarakat yang memiliki pengeluaran perkapita di quintiles kedua, ketiga, dan keempat.
Absolut
Kelemahan pendekatan relatif adalah bahwa setiap negara memiliki angka median pendapatan yang berbeda-beda sehingga definisi kelas menengah dari berbagai negara akan berbeda-beda. Pendekatan absolut memperbaiki kelemahan ini dengan menetapkan rentang pendapatan (income) atau pengeluaran (consumption expenditure) tertentu untuk mendefinisikan kelas menengah.
Milanovic dan Yitzhaki (2002) menggunakan pendapatan perkapita rata-rata masyarakat Brazil dan Italia sebagai batas bawah (floor) dan atas (ceiling) untuk mendefinisikan kelas menengah. Definisi ini menghasilkan angka rentang pendapatan perkapita perhari kelas menengah sekitar $12-50 (berdasarkan purchasing-power parity, PPP, tahun 2000). Bussolo, et.al. (2007) mendefinisikan kelas menengah dengan menetapkan batas bawah garis kemiskinan (poverty line) di Brazil sebesar $10) dan batas atas garis kemiskinan di Italia sebesar $20.
Kriteria lain diberikan oleh Banerjee dan Duflo (2008) yang mendefinisikan kelas menengah dengan dua alternatif angka absolut yaitu rentang pendapatan perkapita perhari $2-4 dan $6-10. Sementara Ravallion (2009) dari Bank Dunia menggunakan batas bawah berupa median garis kemiskinan di 70 negara berkembang sebagai batas bawah, yaitu pendapatan perkapita perhari sebesar $2 (PPP, 2005). Sementara untuk batas atas ia menggunakan angka batas garis kemiskinan di Amerika Serikat sebesar $13. Karena menggunakan batas atas kemiskinan di Amerika Serikat, definisi ini cocok diterapkan untuk negara-negara berkembang.
Di Indonesia
Lalu bagaimana definisi kelas menengah di Indonesia? Definisi yang lebih cocok untuk negara-negara Asia dikeluarkan oleh Asia Development Bank (ADB). ADB (2010) mendefinisikan kelas menengah dengan rentang pengeluaran perkapita perhari sebasar $2-20. Rentang inilah yang kini banyak dipakai untuk mengukur jumlah keas menengah di Indonesia.
Rentang pengeluaran perkapita tersebut dibagi lagi ke dalam tiga kelompok yaitu masyarakat kelas menengah bawah (lower middle class) dengan pengeluaran perkapita perhari sebesar $2-4; kelas menengah tengah (middle-middle class) sebesar $4-10; dan kelas menengah atas (upper-middle class) $10-20 (PPP tahun 2005). Dengan rentang pengeluaran $2-20 maka didapatkan jumlah kelas menengah Indonesia sebanyak 134 juta (2010) atau sekitar 56% dari seluruh penduduk, suatu jumlah yang sudah cukup besar. .
Dalam surveinya yang dikeluarkan 2 bulan lau, McKinsey Global Institute menyebut kelas menengah dengan istilah “consuming class”. Definisinya adalah individu yang memiliki pendapatan sebesar $3600 (PPP, 2005) ke atas. Dengan definisi ini, maka jumlah kelas menengah kita mencapai 45 juta pada tahun 2010 dan akan meroket menjadi 134 juta pada tahun 2030.
Kelas menengah sesungguhnya tidak melulu ditentukan secara kuantitatif dengan indikator pendapatan dan pengeluaran semata. Berbagai indikator kualitatif lain bisa digunakan seperti tingkat pendidikan, akses pada layanan kesehatan, pekerjaan, bahkan indikator psikografis seperti tingkat melek investasi, wawasan pengetahuan, atau kesadaran partisipasi politik. Kalau ukuran-ukuran itu juga dimasukkan, maka sudah pasti kriteria kelas menengah menjadi kian beragam.
So, mulai saat ini Anda harus berhati-hati ketika menyebut kelas menengah karena kita akan menemukan sosok yang berbeda-beda sesuai dengan kriteria yang kita pakai.
7 comments
Agaknya menetukan kriteria siapa yang masuk kelas menengah harus ekstra hati-hati. Menurut kami, perlu dimasukkan unsur jaminan sosial atau jaminan asuransi dalam mengukur “consuming class”. Ssocial security yang baik mencerminkan masyarakat yang sehat ekonominya.
[…] ekonomi bangsa. Terkesan klise dan ndakik-ndakik memang. Tapi eman-eman ‘kan kalau pasar Kelas Menengah Indonesia yang luarbiasa, dibiarkan dieskploitasi global brand? Sayang-sayang ‘kan, potensi yang […]
[…] ekonomi bangsa. Terkesan klise dan ndakik-ndakik memang. Tapi eman-eman ‘kan kalau pasarKelas Menengah Indonesia yang luarbiasa, dibiarkan dieskploitasi global brand? Sayang-sayang ‘kan, kalau potensi yang […]
tulisan yang enak dibaca, nambah pengetahuan. konsumen kelas menengah memang perlu diperhitungkan, seperti contohnya orang yang ingin berwisata sekarang ini sudah banyak kemudahan yang diberikan. terima kasih pak.
[…] itu kelas menengah? Terangkum dalam tulisan Yuswohady, Asia Development Bank (ADB) di tahun 2010 mendefinisikan ‘kelas menengah’ adalah […]
[…] ‘kan kalau pasarKelas Menengah Indonesia yang luarbiasa, dibiarkan dieskploitasi global brand? […]
[…] ‘kan kalau pasarKelas Menengah Indonesia yang luarbiasa, dibiarkan dieskploitasi global brand? […]