Bib.. bib..bib.. Twitter saya meraung-raung. Seorang teman @hudaFirm memberikan mention begini bunyinya: “Jakarta Dibanjiri 5 Konser di Akhir Pekan, Mana Pilihan Anda? http://de.tk/3gSj2 via @detikhot.” Saya coba klik link-nya sampailah saya ke laman Detikhot. Dan betul, rupanya minggu ini, seperti halnya minggu-minggu sebelumnya, kita kebanjiran artis asing manggung di Jakarta.
Di Tennis Indoor Senayan ada artis Kpop Wonder Girls yang sedang moncer. Di MEIS Ancol ada jumpa fans Personil JYJ Kim Jaejong yang imut. Di Gandaria City ada supergrup rock asal Paman Sam, Creed. Sementara di Mal Taman Anggrek, aktor Kpop Lee Seung Gi menggelar jumpa fans. Semuanya digelar bareng hari Sabtu-Minggu ini.
Melayang Jauuuh!!!
Untuk nonton dan menghadiri jumpa fans itu tiketnya selangit. Nonton Wonder Girls para ABG kita harus keluar duit paling murah Rp 1 juta. Untuk nonton wajah imut Lee Seung Gi tiketnya berkisar Rp 1-1,85 juta. Sementara untuk nonton Creed di Ancol tiket paling murah dibanderol Rp 400 ribu. Ya ampuuun!!!
Harga tiket ini kontras kalau kita bandingkan dengan konser artis lokal. Di hari yang sama kebetulan ada konser “Soundrenaline 2012” berlangsung di Sunburst Extention, BSD City yang menampilkan 35 artis lokal. Berapa tiket untuk nonton 35 artis lokal nan hebat-hebat itu? Super murah, “cuma” Rp 25 ribu perak. Upsss… kita dihargai super murah oleh bangsa sendiri. Beginilah nasib anak negeri. Ngiri saya dengan artis asing.
Karena jengkel saya jawab mention teman saya tadi begini: “Devisa MELAYANG JAUUUH… #c3000 @hudaFirm: Jakarta Dibanjiri 5 Konser di Akhir Pekan, Mana Pilihan Anda?” Ya, karena honor artis-artis asing tersebut dibayar dalam bentuk dolar yang begitu menguras devisa kita.
Itulah konsekuensi dari tumbuhnya kelas menengah (“Consumer 3000”) kita yang luar biasa. Dengan meningkatnya pendapatan, kebutuhan mereka juga makin aneh-aneh. Yang dulunya nggak penting kini menjadi sangat penting. Contohnya nonton konser asing ini. Apa akibatnya kalau banyak kelas menengah kita nonton konser asing? Seperti saya tulis di Twitter: “Devisa MELAYANG JAUUUH…”
So, di samping sebagai penopang kekuatan pasar domestik yang luar biasa, kelas menengah kita juga adalah pemboros devisa yang luar biasa.
Weekend di Orchard Road
Julukan Consumer 3000 sebagai “pemboros devisa” tak hanya menyangkut urusan tonton-menonton konser asing. Urusan liburan ke luar negeri juga menjadi problem pemborosan devisa yang kian akut. Seperti kita tahu, kini liburan ke Universal Studio Singapura, ke pantai Pataya Bangkok, atau Disney Hong Kong menjadi hobi baru Consumer 3000 yang kian ngetren. Weekend di Orchard Road atau nonton konser akhir pekan di Indoor Stadium Singapura kini menjadi hal yang biasa, bahkan rutin. Now, it becomes a mass luxury.
Biaya fiskal dan penerbangan LCC (low cost carrier) ke luar negeri yang super murah menjadi pemicu revolusi Consumer 3000 berlibur ke luar negeri. Celakanya, liburan ke Kuta Bali, Bunaken Menado, apalagi Raja Ampat Papua kini jauh lebih mahal dari liburan ke Singapura atau Bangkok. Itu sebabnya saya risau, destinasi wisata lokal kita bakal kian terpuruk karena kalah bersaing dengan destinasi wisata negara tetangga yang kian kinclong.
Itu dari sisi fungsi. Dari sisi gengsi, liburan ke Singapura, Bangkok, atau Hong Kong juga lebih keren. Bagi kita, yang penting bukan jalan-jalannya Singapura atau Hong Kong. Yang justru lebih penting adalah cerita ke tetangga atau sharing foto di Twitter/Facebook bahwa kita jalan-jalan di Singapura atau Hong Kong. Kenikmatan liburan ke luar negeri tak hanya sebatas kita enjoy menikmati indahnya pantai Pataya atau di heboh belanja di Orchard Road, tapi yang justru extraordinary experience adalah menjadi omongan tetangga dan narsis di Twitter/Facebook. Inilah biang revolusi libur ke luar negeri
Seperti halnya nonton konser asing, liburan ke luar negeri juga merupakan pemborosan devisa yang size-nya bahkan jauh lebih besar.
Defisit
Apa jadinya kalau banyak Consumer 3000 nonton konser asing dan liburan ke luar negeri? Dampak paling mengawatirkan adalah meroketkan defisit neraca transaksi berjalan kita khususnya di sektor jasa. Coba kita lihat bagaimana pengaruh dari “ulah” Consumer 3000 nonton konser asing dan libur ke luar negeri terhadap difisit neraca transaksi berjalan kita.
Untuk urusan nonton konser artis asing, pengaruhnya terasa di komponen jasa pada neraca transaksi berjalan kita, yaitu jasa personal, kultural, dan rekreasi. Menurut data Bank Indonesia (BI), di pos ini pada triwulan II-2012 lalu kita mengalami defisit sebesar US$15 juta. Padahal di triwulan I-2012 defisitnya cuma sebesar US$7 juta. Artinya, defisitnya naik lebih dari dua kali lipat. Honor para awak Wonder Girls dalam bentuk dolar adalah salah satu biang berlipatnya devisit ini.
Lalu bagaimana dengan liburan ke luar negeri? Lebih seringnya wisatawan kita ke luar negeri tergambar di neraca jasa pariwisata. BI mencatat pada triwulan II-2012, surplus neraca jasa pariwisata menyusut menjadi US$197 juta dari US$678 juta pada triwulan sebelumnya. Biang tergerusnya surplus neraca jasa pariwisata ini adalah karena wisatawa kita yang ke luar negeri naik drastis dari 1,72 juta menjadi 1,9 juta pada dua triwulan tersebut.
Kelas Menengah Nasionalis
Tak ada cara lain untuk mengurangi defisit di atas kecuali kita mengurangi liburan ke luar negeri atau puasa nonton konser artis asing. Alih-alih nonton Creed atau Wonder Gilrs lebih baik kita nonton Noah. Alih-alih liburan ke Singapura atau Hong Kong lebih baik kita ramaikan Raja Ampat atau Wakatobi nan eksotik. Alih-alih memakmurkan Singapura atau Hong Kong (“yang sudah makmur”), mari kita makmurkan negeri sendiri.
Tak ada seorang pun yang bisa melarang kita liburan ke luar negeri atau nonton konser asing. Tak ada seorang pun yang bisa memaksa kita puasa devisa. Yang bisa hanyalah hati kecil kita. Hati kecil yang dilumuri spirit nasionalisme Indonesia. Alangkah hebatnya ratusan juta kelas menengah Indonesia, jika mereka adalah kelas menengah nasionalis… yang peduli pada kejayaan negeri ini.
9 comments
Indonesia dangerously beautiful!
Hahaha… ada bernarnya juga!!!
Di sisi lain adalah kualitas, performance dan experience dari luar negeri masih jauuuh lebih baik dibandingkan yang diberikan dalam negeri. Bandingkan saja nilai mata uangnya, sebagai contoh di Filipina saja yang dekat sekali dengan Indonesia memiliki nilai mata uang yang lebih tinggi. Ini menandakan bahwa daya saing Indonesia memang masih dibawah negara-negara lain bahkan untuk se-Asean saja. Dan untuk memiliki rasa nasionalisme yang tinggi, kita juga harus punya Offering Value yang memang bisa bersaing dengan International Value. Caranya ya dengan mulai membenahi mulai dari diri sendiri. Start from small thing to make a big impact.
#IndonesiaBisa
Betul, sebagai konsumen kita berhak untuk mendapatkan yang terbaik. Jadi nasionalisme konsumen tanpa diikuti kualitas produk/jasa kita yang bagus nggak fair juga, karena konsumen harus “berkorban” terus. Jadi dua-duanya memang harus jalan. produsen nasional berjuang keras, terus konsumen nya kasih kesempatan produsen untuk improve dengan membeli produk/jasa nasional. Saya setuju, nasionalisme konsumen yang tidak diikuti kualitas roduk/jasa yang memadai merupakan sesuatu yang tidak sehat, tidak mendidik.
Kalau sudah begini, siapa yg salah? Dan apa yg harus kita lakukan? Selamat datang di alam nyata !!!
wah ini bisa jadi gerakan baru nih mas..
gerakan kelas menengah nasionalis dari sudut pandang marketing 🙂
Bgmana dengan sekolah, training dan berobat di Luar Negeri ?
Sekolah dan trainig saya kira merupakan bentuk “investment”, asalkan hasilnya untuk dibawa ke dalam negeri, mestinya ok. Sementara kalau berobat, saya kira kasus khusus. Kalau memang tidak ada rumah sakit di dalam negeri yang bisa memberikan kualitas layanan sebaik di luar negeri, ya apa boleh buat. Apalagi kalau sudah darurat dan menyangkut nyawa.
jujur, indonesia saja blm khatam di jelajah …
support brand local. harusnya ada semacam gerakan nyata nih pak. tolong dipionirkan hehehe 😀
Sebenarnya mungkin kita akan lebih suka berlibur di dalam negeri jika fasilitas & harga yg ditawarkan lebih murah dan lebih baik. Seandainya Jakarta Great Sale bisa menawarkan barang2 yg berkualitas dan harga yg sama seperti di S’pore tentu kita akan pilih di Jakarta 🙂 Harusnya Gerakan Cinta Produk Indonesia bukan hanya slogan aja tapi di-support habis-habisan
semangat . . . . .