Waktu sekolah di Yogya lebih dari 15 tahun yang lalu, saya masih ingat waktu itu KFC masih awal-awal masuk di Yogya, nggak sembarang orang bisa masuk ke gerai Paman Sam ini. Pertama, karena harganya masih belum terjangkau apalagi untuk kantong mahasiswa seperti saya waktu itu. Kedua, karena KFC waktu itu adalah gerai bergengsi tinggi dan “wah”. Ia masih dipandang orang Indonesia sebagai merek Amerika dengan imej selangit, sehingga nggak sembarang orang “berani” masuk ke dalamnya alias minder.
Itu dulu. Kini, seiring dengan terjadinya revolusi kelas menengah di Indonesia, gerai-gerai global seperti KFC, McD, Burger King, Pizza Hut, Dunkin Donut, hingga Starbucks kian diterima semua kalangan masyarakat kita. Harga mulai terjangkau, ketersediaan di mana-mana, dan kini gerai-gerai tersebut imejnya tak lagi se “wah” dulu (yup, saya menyebutnya “mass luxury”). Siapapun kita kini bebas melenggang di gerai-gerai global tersebut tanpa sungkan dan minder.
Di harian ini beberapa minggu lalu saya pernah menulis munculnya tren di Indonesia bahwa gerai-gerai global ini semakin merakyat. Bahkan at the of the day, saya meramalkan gerai global seperti McD atau KFC akan menjadi warung yang benar-benar merakyat layaknya warung Tegal atau warung Padang yang disambangi semua kalangan atas, tengah, maupun bawah. Apalagi jika mereka sudah mulai merambah ke kota-kota kabupaten seantero Nusantara. Let’s see.
Komoditisasi
Seiring dengan tren kian merakyatnya gerai-gerai global tersebut, saya juga menengarai adanya tren lain yang menimpa mereka, yaitu apa yang saya sebut komoditisasi merek global (brand commoditization). Komoditisi adalah istilah yang umum dipakai di dunia pemasaran untuk menunjuk proses terjadinya erosi diferensiasi dari sebuah merek. Merek-merek global seperti McD dan KFC menjadi kian biasa dan kehilangan keunikannya baik secara fungsional (rasa) maupun emosional (imej).
Kenapa begitu? Coba kita lihat satu-persatu. Secara fungsional (dari sisi rasa dan enaknya makanan), sejak awal sesungguhnya merek-merek global tersebut memiliki diferensiasi yang rawan karena adanya tuntutan bahwa produk mereka harus seragam di seluruh dunia (global standardization). Lemahnya diferensiasi fungsional ini selama ini tak menjadi problem karena “tertutup” oleh kesan “wah” dan imej global (Amerika) tadi.
Setelah mencoba dan membuktikan rasa burger-nya McD atau ayamnya KFC selama bertahun-tahun, konsumen kita kini mulai menganggap bahwa rasa yang ditawarkan merek-merek global tersebut tidaklah istimewa alias biasa-biasa saja. Berbicara rasa, konsumen kita mulai melihat, justru gerai-gerai kuliner lokal seperti Mbah Jingkrak, Ayam Goreng Ny. Suharti, Ayam Mbok Berek, Soto Kudus, Batagor Riri, Gudeg Wijilan, atau Bebek Bengil memiliki citarasa yang lebih unggul. Dari sisi rasa, sesungguhnya gerai-gerai lokal ini memiliki diferensiasi yang lebih kuat.
Tidak “Wah” Lagi
Seperti saya bilang di depan, kelemahan diferensiasi merek-merek global dari sisi rasa tersebut terkompensasi oleh adanya kesan “wah” sebagai merek global. Nah, saya melihat tren di Indonesia, bahwa kesan “wah” itu pun kini kian terkikis seiring makin dominannya kalangan kelas menengah di Tanah Air. Sebagai masyarakat yang knowledgeable dan terbuka terhadap informasi global (yup, melalui Googling, Twitter, dan Faceebook yang murah-meriah) kelas menengah kita mulai melihat merek-merek global (Amerika dan Eropa) sebagai merek yang biasa-biasa saja, tak se-“wah” dulu lagi.
Apalagi kalau melihat kenyataan terjadinya kemunduran ekonomi Amerika-Eropa beberapa tahun terakhir akibat krisis ekonomi yang akut. Ditambah lagi, kini kita menyongsong “era kejayaan Asia” dimana China, India dan Indonesia menjadi tiga pilar utama. Jadi, sebagai bangsa kita menjadi konfiden tidak lagi merasa underdog seperti sebelumnya. Kita tidak “silau” lagi dengan merek-merek global dari negara-negara kelas satu Amerika-Eropa.
Jadi, saya ingin mengatakan bahwa, secara fungsional (rasa) maupun emosional (imej) gerai-gerai global tersebut secara sistematis mulai tererosi kekuatan diferensiasinya. Seiring dengan semakin merakyatnya McD atau KFC, saya melihat adanya tren bahwa mereka semakin kehilangan keunikannya karena berlangsungnya komoditisasi di atas.
Brand Customization
Apa konsekuensi penting dengan adanya tren komoditisasi merek global tersebut di Indonesia? Yang terpenting adalah, ini merupakan momentum penting bagi gerai-gerai kuliner lokal untuk membangun merek (building brand) agar tetap ada di hati konsumen Indonesia dan sekaligus menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Merek lokal seperti Ayam Mbok Berek, Batagor Riri, atau Warung Padang Sederhana harus mempersenjatai dirinnya dengan branding seperti yang dilakukan McD atau KFC agar mereka mampu melakukan kastemisasi (brand customization) sehingga memiliki diferensiasi kokoh.
Kalau ini dilakukan maka dua tren saya harapkan bisa berlangsung, yaitu di satu sisi terjadi komoditisasi merek global (“global brand commoditization”); sementara di sisi lain terjadi kastemisasi merek lokal (“local brand customization”). Inilah yang saya sebut sebagai fenomena “global paradox” di tengah kebangkitan kelas menengah Indonesia. Kenapa paradoks? Ya, karena umumnya yang melakukan kastemisasi itu itu merek global, sementara merek lokal mengalami komoditisasi. Ini justru sebaliknya.
Untuk memberikan gambaran bagaimana merek lokal seharusnya melakukan kastemisasi produk dan layanannya sehingga memiliki diferensiasi kokoh, saya mencoba mengambil contoh keripik pedas Maicih sebagai role model. Maicih adalah contoh merek lokal hebat asal Bandung yang kreatif membangun diferensiasi melalui kastemisasi sekaligus mengangkat derajat keripik singkong menjadi makanan bergengsi dengan ekuitas merek yang kokoh.
Banyak cara kastemisasi kreatif yang dilakukan Maicih untuk mendongkrak ekuitas mereknya, mulai dari tampilan (brand context) yang cool, komunikasi pemasaran murah via media sosial, membangun customer evangelism (melalui komunitas “Icihers”), pengembangan brand symbol & terminologies yang kreatif abis (seperti sebutan “Presiden” untuk pemilik, “Jendral” untuk reseller, atau sebutan “Gentayangan” untuk cara berjualan yang mobile.
Kalau Maicih bisa dan sukses luar biasa, kenapa merek lokal yang lain nggak bisa? Inilah tantangan merek lokal untuk menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Tak ada pilihan lain, merek lokal harus melakukan brand building dan brand customization secara kreatif abis seperti yang dilakukan Maicih. Kalau tidak, saya takut makanan-makanan hebat seperti pecel, rawon, rendang, atau rujak cingur tak ada lagi di jalan-jalan tergerus oleh McD dan KFC. Saya takut pecel, makanan kesukaan saya, adanya cuma di museum kuliner Nusantara.
5 comments
hoho mantep. perlu banget nih pak kita ngembangin brand-brand lokal 😀
Wwaaa lidah saya mang uda ga “ketipu” brand global, bukannya sombong, tapi lama2 jd biasa, sing real kuliner yoo makan di warung2 or resto2 enyak murah serta kuat citarasa lokalnya.. Smg brand kuliner n tentu makanannya siap menghadapi tantangan global-lokal..
Bener banget nih mas. Bener-bener “Jleb!” jika dibaca oleh para pemilik franchise global brand haha
Semoga tidak dibaca pemilih franchise global bisa bahaya he he he
tenang pak, kami Nasi Pecel Quluub @PecelQuluub semoga bisa mengglobalkan Nasi Pecel sebagai Java Salad
Hidup Pecel!!!