Jaman kecil dulu, saya masih ingat, ibu saya adalah “penguasa tunggal” rumah. Ibu saya melakukan apapun: memasak, mencuci, menyapu, mengepel lantai, beres-beres kamar, menyiapkan makan pagi-siang-malam, membersihkan pekarangan. Tak ada satu jengkal pun bagian rumah yang tak tersentuh oleh tangan terampil nan cekatan dari si ibu. Itu semua dilakukan ibu secara maraton dari lepas subuh hingga larut malam dengan suka cita dan passion yang luar biasa. Di situlah saya menemukan sosok ibu yang “perkasa”, sosok seorang hero.
Kontras dengan hal itu, pada saat hari-hari menjelang lebaran akhir Agustus lalu saya kaget membaca sebuah berita di sebuah koran ibukota. Berita itu berisi reportase tren di Jakarta, pada saat lebaran hotel-hotel penuh sesak oleh keluarga-keluarga yang tidak mudik lebaran. Rupanya kini mulai muncul tren di Jakarta, pada saat lebaran terjadi migrasi keluarga-keluarga dari rumah ke hotel. Kenapa begitu? Alasannya simpel, karena mereka ditinggalkan oleh para pembantu.
KO
Pindah ke hotel saat ditinggal pembantu memang solusi yang cespleng. Seluruh tetek-bengek urusan rumah langsung tuntas.. tas.. tas.. taaas! Ibu-ibu tak perlu repot beres-beres. Lantai disapuin, seprei digantiiin, bangun tidur breakfast disiapin. Siang mau lunch bosen makanan hotel tinggal turun ke bawah ada mal dengan ratusan macam kuliner dari nasi pecel hingga masakan Jepang. Semuanya “ready to eat”, tinggal pesan.
Saya pun kemudian bergumam: “ibu-ibu sekarang loyo, tak seperkasa ibu saya dulu.” Ibu-ibu sekarang manja dan gampang bertekuk-lutut menghadapi ruwetnya urusan rumah yang datang bertubi-tubi dari subuh hingga larut malam. Ibu sekarang tidak survive menghadapi carut-marut urusan 3M: menyapu, memasak, mencuci, yang mungkin menurut mereka kini tidak penting, tidak bergengsi, dan tidak elit lagi.
Ini wajar karena bagi ibu-ibu sekarang meeting dengan klien lebih penting; ikut seminar dan simposium lebih penting; nglembur di kantor menyelesaikan laporan budget tahun depan lebih penting; networking dengan partner bisnis di cofee shop hotel berbintang lebih penting; nge-gym di mal lebih penting. “Hareee geneee nyapu dan ngepel rumah…??? Nggak ada elit-elitnya sama sekali”.
Itulah ibu sekarang. Tak seperkasa ibu saya dulu. Mereka KO di rumahnya sendiri, tidak survive di rumahnya sendiri, hingga harus hijrah ke hotel. Mereka tak lagi menjadi “penguasa tunggal” di rumahnya sendiri. Mereka sudah tidak lagi menjadi “hero” di rumah.
Alien
Kalau ibu sekarang tidak lagi menjadi “penguasa tunggal” di rumah, lalu siapa? Kini si penguasa tunggal itu adalah pembantu. Pembantulah problem solver yang menyelesaikan seluruh tetek-bengek urusan rumah tangga. Pembantu adalah “the most valuable person” di rumah karena peran strategisnya. Tanpa pembantu, ibu-ibu sekarang mati kutu.
Karena tampuk kekuasaan berpindah ke pembantu, maka eksistensi ibu-ibu di rumah kini pelan tapi pasti mulai tergembosi. Apa akibatnya jika peran ibu tergembosi? Yang saya lihat adalah si ibu menjadi kian “terasing” di rumahnya sendiri. Mereka menjadi seperti alien dari planet Mars di rumahnya sendiri.
Ada dua bukti ibu-ibu teralienasi di rumahnya sendiri. Pertama, mereka makin jarang di rumah. Orang Jawa bilang, kini banyak rumah di Jakarta yang “suwung” alias tak berpenghuni. Kedua, mereka makin nggak betah berada di rumah, selalu resah kepikiran pekerjaan di kantor.
Mampir Tidur
Saya melihat fenomena di Jakarta, rumah kini hanya menjadi tempat untuk “mampir tidur”. Bagaimana tidak? Karena Jakarta macet minta ampun, bapak/ibu berangkat ke kantor pagi-pagi buta agar jam 8 atau 9 sudah sampai kantor. Sekali lagi karena macet, balik dari kantor baru pukul 9 atau 10 malam, sesampai di rumah capek, langsung tidur. Di Jakarta, yang namanya home sweet home, kini menjadi kian langka.
Anak-anak pun setali tiga uang. Pagi-pagi buta harus berangkat sekolah agar jam 7 sudah sampai di sekolah. Pulang sekolah pukul 12 siang, sudah menunggu jadwal tiga les: pukul 1 les Kumon, pukul 3 kursus Bimbel, lalu lanjut les piano petang hari. Praktis si anak balik ke rumah selepas magrib, tenaga terkuras habis.. bis.. bis, langsung tewas di tempat tidur. Seperti orang tua mereka, anak-anak pun kini teralienasi di rumahnya sendiri.
Yang membikin saya tersenyum kecut, banyak keluarga-keluarga di Jakarta yang membeli perangkat home theater tercanggih, lukisan termahal, atau kitchen set termewah, tapi itu semua hanya menjadi pajangan karena mereka tak pernah punya waktu di rumah untuk menikmati atau menggunakannya. Lalu siapa yang menikmati home theater dan lukisan di rumah? Tak lain adalah “si penguasa tunggal”: pembantu.
Kumpul Keluarga di Mal
Bukti lain keluarga-keluarga terasing di rumahnya sendiri adalah kenyataan rumah tidak lagi menjadi tempat yang hot untuk kumpul-kumpul seluruh anggota keluarga. Dulu jaman kecil, saya masih ingat ritual kumpul keluarga setidaknya dilakukan empat kali sehari.
Pertama saat makan pagi, kami seluruh keluarga kumpul di meja makan, bersantap lahap sambil bercengkerama dan ngomong ngalor-ngidul. Ritual yang sama diulang saat kami makan siang dan makan malam. Lalu ada satu lagi ritual kumpul keluarga saat kami lepas makan malam. Kami berkumpul di ruang tamu, sambil nonton TV dan membaca majalah/koran kami ngobrol kesana-kemari.
Potret keluarga yang hangat dan happening berikut fungsi rumah yang home sweet home macam itu kini kian langka di Jakarta. Bahkan sejak beberapa tahun terakhir saya melihat tren munculnya kebiasaan baru keluarga-keluarga di Jakarta yang tidak lagi kumpul-kumpul keluarga di rumah tapi di mal. Candle-light dinner dengan istri yang sedang ulang tahun dilakukan di mal. Anak ulang tahun di mal. Makan malam dengan seluruh anggota keluarga di mal. Kumpul trah keluarga besar di mal. Rumah kian tak laku, kalah bersaing dengan mal. Fungsi rumah pun kian mekanistis, tak lagi humanistis. Ya, mungkin karena penghuninya telah menjadi robot, bukan lagi manusia.
Inilah perubahan luar biasa yang terjadi pada keluarga-keluarga Indonesia. Perubahan yang muncul karena adanya gempa tektonik maha dahsyat sebagai dampak adanya revolusi kelas menengah: “Revolusi consumer 3000”. Mereka saya sebut “Family 3000”. Mereka adalah keluarga-keluarga yang terasing di rumahnya sendiri.
12 comments
cocok buat didiskusikan pak
cerminan masyarakat metropolitan, di mana waktu harus ditukar dengan uang untuk membeli kebutuhan primer yang telah tergeser yaitu sesuatu yang menjadi tren di masyarakat, apapun itu.
yang penting Kita harus tetap menjadi manusia seutuhnya, bukan menjadi robot yang dikendalikan oleh uang
kontras sekali ya kehidupan d jakarta dgn kehidupan d kampung saya jogja. bagaimanapun kehidupan yg kita jalani, pertanyaan ny adlh ap kehidupan yang kita lakoni mampu membuat kita bahagia?
true, hidup adalah pilihan. Pilihan selalu membawa konsekuensinya masing-masing. Artikel ini saya tulis untuk mengingatkan bahwa pilihan ibu bekerja mengejar karir membawa konsekuensi yang berat. Ibu-ibu harus berupaya lebih keras untuk menyeimbangkan keluarga dan karirnya
Waa ini gambaran keluarga kelas menengah ibukota yaa pak, Alhamdulillah Ibu saya tergolong masih “Ibu tradisional” yang masih menguasai rumah.. tapi memang dari cerita sanak keluarga & kawan mulai menjurus sesuai penjelasan diatas..
intinya sih kita bisa ga survive dengan pola & niali yang “basic” dan tradisional tersebut nggak ya?
Gambaran yang memang muram, tapi itu adalah konsekuensi dari kemajuan yang hendak kita raih, ketika ibu harus juga survive disektor domestik sekaligus publik, maka konsekuensinya berat. Para ibu harus berjuang lebih berat lagi untuk menyeimbangkan keduanya. Salut untuk ibu-ibu kelas menengah Indonesia
That’s true Pak Yuswo :), kenyataan yang memilukan. Rumah dan isinya yang dicapai dr kerja keras siang malam hanya jadi pajangan tanpa benar2 dinikmati :). Karenanya saya sendiri memutuskan u/ segera “kembali” ke rumah. Mengambil alih kekuasaan dr si Mba dan menghidupkan dan menghangatkan kembali keluarga dengan pelukan nyata bukan sekedar ditelp/bbm bahkan di sosial media 😀
Great! memang berat jadi ibu, dituntut survive di sektor domestik maupun publik
kalau saya kebalik Pak Yuswo. Karena jakarta macet, jadi nggak sempet makan di luar karena malas. Alhasil selalu di rumah kalau urusan makan. Kedua, keluarga jarang sekali ke mall, karena mall itu2 saja isinya (bosan), tidak ada yang baru, bisa juga sih mungkin gara-gara anaknya udah pada besar-besar. Jco, KFC, mc.donals, breadtalk, dan sejenis yang kayaknya di tiap mall ada.
Tapi seperti yang pak Yuswo bilang tentang potret keluarga yang hangat itu jg terjadi sama saya.
Entah benar atau salah (?), mohon maaf kalau salah, hehe. Internet (laptop dan hape) adalah gap yang membuat orang tua sama anak jadi terpisah (beda generasi). Beda sama keluarga yang bisa mengimbangi diri dengan dunia sosial media, atau keluarga muda yang juga melek sosial media, lebih ‘akur’ dan ‘hangat’ karena sepemahaman.. iya nggak ya?
Happy mother
Mudah-mudahan tidak terjadi pada keluarga kami.
Btw, mau nanya apakah semua negara yang meningkat menjadi negara maju maka perilaku manusianya seperti ini?.
Apakah ada contoh negara maju yang berhasil mengatasi masalah ini?
Di semua negara yang telah lebih dulu maju,hal yang sama terjadi. Itu semua merupakan konsekuensi dari kemajuan yang kita capai. Kemajuan di satu bidang membawa konsekuensi terkorbankannya hal lain yang kita dambakan.
Hmmm…catatan Bapak saya pikir lebih untuk kalangan atas..karena kalo kalangan menengah, akan lebih “wise” utk spending money di hotel waktu lebaran 😀
Dan saya share jg yang saya dan bbrp teman lakukan juga tidak murni seperti yang bapak tuliskan, karena mencari pembantu sekarang bahkan lebih susah daripada saya mencari tenaga marketing ataupun manager untuk bisnis saya 😀
Alhasil working mom harus pintar bagi waktu, jam 3 pagi bangun utk beberes rumah dan siapkan sarapan+bekal, siapkan anak-anak sekolah, lanjut ngantor, pulang kantor, beberes lagi, siapin makan malam, temanin belajar, lanjut lembur kerjaan (kalo ada) sehingga berasa tidur nyenyak lebih dari 6 jam adalah suatu kemewahan…. 🙂
Tapi Puji Tuhan, saya punya suami yang bukan “diktator” (suami diktator = hanya mau tau rumah beres, bersih, anak-anak baik, selalu menuntut tanpa terlibat di dalamnya :p)..jadi saya menikmati hari-hari saya, walo masih jauh dari kata super mom tp karena saling bagi tugas dengan anak dan suami, jadi semuanya enak untuk dibawa enjoy aja 🙂
Great mother… great father… happy family.. 🙂
Artikel Bpk menarik sekali pak yuswo. Like It! harusnya semua Ibu-Ibu di jagad negeri ini membacanya. Saya rasa tawuran yang memakan korban beberapa waktu lalu juga salah satu effek dari bergesernya fungsi Ibu dari penguasa tunggal di rumah
menjadi penguasa gedung kantor. Tetapi klo mau dilihat dengan adil, dan dilakukan survey yang terukur, Working Mom pun sesungguhnya sangat ingin bisa punya pilihan utk stay at home drpd bekerja di kntor yg terkadang sampai larut malam. Tp kebanyakan Ibu-ibu ( terutama di kota besar ) terpaksa tidak bisa memilih karena desakan ekonomi dan keinginan yang besar untuk memberikan hidup yang layak untuk anak-anaknya. karena kalo tidak bekerja di luar rumah = bbrp kebutuhan penunjang keluarga tidak bisa terpenuhi. Rata-rata Working Mom tetap bertahan lebih karena faktor ekonomi n bukan dalam rangka mengejar self achievement. Untuk bisa kembali pada ‘posisi ideal’ seorang ibu spt tulisan pak Yuswo mmg perlu pengorbanan besar. Disamping kerelaan melepas karir , tentunya harus menerima kenyataan bhw income automaticly reduced. Bagusnya sih, kebanyakan Ibu2 kelas menengah di kota besar saat ini, yang berani mengambil pilihan utk resign, menjadi kreativ untuk bisa earn money tanpa harus sepanjang hari di kantor.
Challenge ibu-ibu untuk bisa survive di dua sektor (domestik & publik) memang sangat berat. Saya sebut mereka adalah “super woman” yang luar biasa. Idealnya memang kalau mereka bisa menjadi mompreneur yang tetap “berkuasa” di rumah. Tapi untuk menjadi mompreneur juga nggak gampang, butuh nyali, kejelian menangkap peluang, keberanian mengambil risiko, dsb. Menjadi profesional dengan bekerja di kantor di kota seperti Jakarta yang sarat macet berat minta ampun. Akhirnya hidup adalah pilihan, masing-masing pilihan membawa rsiko. Dan setiap super woman harus berani mengambil setiap risiko itu, dan sejauh mungkin menguranginya.
Waw… tertampar..ehehe tapi sedikit sih. Utamanya masalah ART (Asisten Rumah Tangga). Fungsi utama saya meng-hire ART sih, ada yang jaga anak selama saya dan suami kerja. Kalau pekerjaan rumah sih masih bisa gotong royong sama suami. Walau emang pas gak ada ART 3 minggu, badan saya remek, kecapekan hahaha. Kalau mau ke hotel, mahal mas… mending buat investasi hahaha 😀
Terimakasih artikelnya. Artikelnya bagus.
Menarik artikelnya mas hihihi