Dalam buku baru saya Consumer 3000, saya menggunakan sub-tittle: “Revolusi Konsumen Kelas Menengah Indonesia”. Di cover bahkan saya tulis: “Consumer 3000 merupakan revolusi terbesar dalam sejarah pemasaran di Indonesia”. Sub-title itu bukanlah sembarangan saya tulis untuk memicu sensasi agar buku saya populer atau agar laris manis di pasar.
Sub-title itu saya tulis karena sebuah keyakinan bahwa revolusi kelas menengah di Indonesia akan menghasilkan revolusi perilaku konsumen yang akan mengubah secara sangat mendasar rule of the game pemasaran di Indonesia. Dan perubahan rule of the game itu ujung-ujungnya akan merevolusi strategi yang dijalankan pemasar. Ingat hukum paling dasar di pemasaran: Ketika konsumen berubah, maka strategi harus diubah. Ketika konsumen mengalami revolusi, maka strategi pemasaran Anda pun harus direvolusi.
Bagaimana pergeseran perilaku yang terjadi ketika sebuah masyarakat naik kelas dari kelas bawah menjadi kelas menengah? Mari kita ungkap satu-persatu.
Beyond Basic
Ketika seseorang naik kelas dari miskin menjadi lebih kaya, maka naiknya daya beli tersebut akan mempengaruhi perilaku mereka dalam membeli dan mengkonsumsi barang dan jasa. Karena itu pergeseran massif suatu negara dari negara miskin menjadi negara perpendapatan menengah juga membawa dampak perubahan perilaku konsumen yang luar biasa.
Kecenderungan umum yang terjadi di berbagai negara, seiring meningkatnya daya beli, porsi pengeluaran kelas menengah untuk dibelanjakan makanan dan minuman akan turun. Seiring dengan penurunan tersebut, konsumen kelas menengah juga bergeser ke produk makanan-minuman yang lebih berkualitas dan lebih mahal. Akibatnya, kalori yang mereka konsumsi tumbuh lebih lambat dibanding pertumbuhan pengeluaran untuk makanan-minuman.
Kalau porsi pengeluaran untuk makanan-minuman kian mengecil, pertanyaannya kemudian, kemana larinya uang mereka? Salah satu yang besar adalah dialihkan untuk hiburan (entertainment). Itu sebabnya penjualan televisi di negara-negara berpendapatan menengah (middle-income countries) melonjak drastis seiring dengan meningkatnya konsumsi masyarakat. Kenaikan yang siknifikan juga terjadi untuk berbagai produk dan kebutuhan sekunder (non-essential categories) lain seperti pendidikan, kesehatan, dan perlengkapan rumah tangga advance, hingga barang-barang mewah.
Amazing China
Ambil contoh Cina. Cina adalah produsen kelas menengah terbesar di dunia. Dengan acuan pengeluaran $2-20 perhari, menurut Asian Development Bank (ADB) selama kurun waktu 1997-2007 Cina menghasilkan sekitar 500 juta penduduk kelas menengah baru. Dengan munculnya ledakan kelas menengah di Cina, maka perilaku membeli dan mengkonsumsi mereka juga bergeser. Dengan meningkatnya daya beli, pengeluaran untuk makanan dan pakaian (essential needs) tak tumbuh secara berarti. Sebaliknya pengeluaran untuk produk-produk yang lebih sekunder seperti produk kosmetik dan perawatan kulit, produk dekorasi rumah (home decoration), atau mobil mulai meningkat secara siknifikan.
Satu fenomena yang menarik dari perilaku konsumen kelas menengah di Cina adalah konsumsi terhadap barang-barang mewah. Dengan kian menggembungnya pundi-pundi, kelas menengah Cina (khususnya untuk upper middle-class) mulai “rakus” membeli merek-merek mewah top macam LV atau Guci. Kini Cina mulai menggeser Jepang sebagai pasar terbesar barang-barang mewah di dunia. Menurut McKinsey&Co, tahun 2015 Cina menguasai sekitar 22% pasar barang-barang mewah dunia. Mereka mulai membeli barang-barang mewah seperti pakaian (ready to wear), produk-produk kulit, jam tangan, hingga berlian baik melalui internet, bepergian ke luar negeri, atau membeli langsung di butik-butik kelas atas yang kini menjamur di Cina.
Knowledgeable
Kelas menengah cenderung memiliki anak yang lebih sedikit dibandingkan kelompok masyarakat miskin dan cukup besar porsi pendapatannya dialokasikan untuk pendidikan. Mereka umumnya memiliki kesadaran untuk berinvestasi di bidang SDM (investing in human capital) dengan menyekolahkan anak mereka, tak hanya di tingkat dasar, tapi juga ke jenjang yang lebih tinggi. Dibanding masyarakat miskin, kelas menengah juga lebih sering ke dokter dan menikmati layanan kesehatan yang lebih mahal. Tak mengherankan porsi pengeluaran mereka untuk kesehatan meningkat tajam seiring meningkatnya pendapatan.
Karena kenyataan ini salah satu definisi yang saya berikan untuk mengidentifikasi kelas menengah adalah bahwa mereka adalah kelompok masyarakat yang berpengetahuan dan berwawasan (knowledgeable). Tak hanya itu, lebih jauh lagi mereka adalah juga kelompok masyarakat yang berperadaban (civilized) berkat dasar pengetahuan yang lebih tinggi tersebut.
Mengingat pertumbuhan kelas menengah Indonesia yang sangat fantastis dan kian dominan, saya optimis masyarakat kita semakin civilized (tidak seenaknya melanggar lampu merah traffic light, tidak sembarangan buang sampah di jalan, tidak sembarangan memakai perangkat lunak bajakan, dan tidak permisif terhadap korupsi) menyusul negara tetangga Singapura atau Malaysia yang lebih terdepan dari kita.
Mengelola Aset
Lebih jauh lagi, kebutuhan masyarakat terhadap beragam layanan keuangan meningkat seiring dengan tumbuhnya kelas menengah di suatu negara. Mereka memiliki akses yang lebih baik kepada modal dan pinjaman. Studi yang dilakukan di negara-negara Asia menunjukkan, seiring dengan menggelembungnya kelas menengah di kawasan ini permintaan terhadap produk-produk keuangan seperti kartu kredit, KPR, hingga produk-produk investasi (Deutsche Bank Research, 2009).
Masyarakat kelas menengah adalah kelompok masyarakat yang mulai sadar mengelola aset-aset mereka secara sistematis. Prosesnya berjalan secara natural. Karena mereka mulai memiliki dana menganggur yang cukup besar, akan sayang jika dana berlebih tersebut tidak berkembang. Kalau dana mereka masih kecil, maka menyimpan dana tersebut dalam bentuk tabungan biasa tidak menjadi masalah. Namun ketika dananya sudah cukup besar maka mereka mulai berpikir bagaimana dana tersebut bisa menghasilkan return yang lebih besar.
Karena itu mereka mulai mencari instrumen-instrumen investasi yang sesuai dengan kebutuhan keuangan mereka. Pilihannya beragam, mulai dari memilih saham atau reksadana yang berisiko. Ada yang memilih investasi melalui pembelian properti. Atau pilihan yang aman seperti deposito atau obligasi pemerintah. Riset yang dilakukan oleh Knight Frank dan Citi Private misalnya, menemukan sasaran investasi mereka terutama adalah obligasi pemerintah, dana tunai, dan emas yang relatif lebih aman. Intinya mereka mulai berpikir bahwa duit menganggur tersebut harusnya bekerja untuk mereka; bukannya mereka yang bekerja untuk mencari duit.
Apa pesan penting dari tulisan ini? Ringkas dan jelas. Revolusi konsumen sudah di depan mata. Rule of the game sudah berubah. Dalam kondisi seperti ini pilihan Anda cuma satu: revolusi strategi pemasaran.
4 comments
Saya browsing mencari referensi perilaku konsumen ternyata smua ada disini..terimakasih mas…
Nice view Mas Siwo ^^
Bisa banget jadi pegangan buat mengolah #Peluang3000 jadi bisnis masa depan ya ^^
Keep on inspiring
Sharing yang sangat bagus, terima kasih banyak pak.
Saya juga sudah membeli buku Consumer 3000.
Saya semakin yakin dengan bisnis saya di bidang kesehatan & pengelolaan berat badan http://www.badanideal.com.
[…] buku terbarunya, Consumer 3000, Pak Yuswohady menyebut, Klas Menengah Indonesia ini adalah pencetus Revolusi Konsumen. Yang berdampak mengubah lansekap industri. Mengubah strategi komunikasi. Sekaligus menjadi kunci […]