Middle-income trap adalah istilah yang diberikan kepada negara-negara berpendapatan menengah (middle-income countries) yang “terjebak” di posisinya dan tidak bisa melakukan lompatan untuk masuk menjadi negara maju baru. Jadi suatu negara telah mencapai suatu level pendapatan perkapita tertentu yang relatif cukup makmur, namun tidak mampu lagi mempertahankan momentum pertumbuhan yang tinggi, sehingga negara tersebut tidak kunjung naik kelas masuk dalam jajaran negara-negara maju. Jadi seolah-olah negara tersebut terkunci di tengah (stuck in the middle) di posisinya sebagai negara berpendapatan menengah.
Belajar dari Malaysia
Ambil contoh kasus Malaysia. Malaysia adalah negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi luar biasa sejak Perang Dunia II. Negara ini konsisten menikmati pertumbuhan ekonomi 7% setahun selama 25 tahun terakhir. Malaysia juga sukses mengentaskan kemiskinan selama kurun waktu tersebut. Kalau pada tahun 1970 sekitar 50% masyarakatnya berada di bawah garis kemiskinan, maka sekarang angka itu tinggal sekitar 4%.
Namun apa yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini? Mesin pertumbuhan Malaysia mulai mengalami kelelahan. Kalau pada kurun waktu 1990-1997 rata-rata pertumbuhannya 9,1%, maka pada kurun waktu 2000-2008 melemah menjadi hanya 5,5%. Coba bandingkan dengan Korea Selatan. Pada tahun 1970, pendapatan perkapita (per capita gross national income) Korea selatan lebih kecil dibanding Malaysia ($260 dibanding $380). Namun pada tahun 2009 Korea Selatan memiliki pendapatan perkapita tiga kali lipat Malaysia ($21.530 dibanding $6.760). Jadi Malaysia terjebak menjadi negara berpendapatan menengah, sebaliknya Korea Selatan mampu meloncat menjadi negara maju baru.
Kenapa negara-negara seperti Malaysia bisa stuck in the middle seperti itu. Penjelasannya simpel: “It’s easier to rise from a low-income to a middle-income economy than it is to jump from a middle-income to a high-income economy.” Penyebabnya, setelah masuk menjadi negara berpendapatan menengah mereka merasa nyaman dan tak cukup membangun SDM dan berinovasi untuk menghasilkan produk-produk dengan kandungan teknologi yang semakin tinggi.
Inovasi dan SDM
Pada saat negara tersebut masih miskin mereka bisa memanfaatkan kemiskinannya untuk membangun daya saing melalui upah buruh yang rendah. Jadi negara-negara tersebut memacu perkembangan industri manufaktur berupah buruh rendah (labor-intensive manufacturing) seperti tekstil atau sepatu untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Perkembangan pesat industri macam ini akan mendorong terciptanya lapangan kerja dan pada gilirannya akan mendorong tingkat pendapatan masyarakat.
Tapi industri manufaktur berbasis upah buruh murah ini tidak sustainable. Seiring dengan meningkatnya pendapatan, maka ongkos upah buruh pun akan meningkat. Kalau ini terjadi maka produk-produk yang dihasilkan berbagai industri tersebut tidak lagi kompetitif di pasar internasional. Kalau tidak kompetitif, maka industri-industri tersebut tak mampu berkembang, akibatnya pertumbuhan ekonomi negara menjadi terkendala.
Untuk bisa naik kelas menjadi negara maju baru dan terhindar dari middle-income trap, maka mau tak mau negara-negara tersebut harus berinovasi dan mengelola SDM/modal menjadi lebih produktif. Mereka harus membangun kemampuan R&D dan mempekerjakan SDM yang berkualitas (highly educated & skilled worker). Gampangnya, untuk lolos dari middle-income trap, kemajuan negara harus didukung “otak“, bukan sekedar “otot”
Korea Selatan adalah contoh negara yang sukses keluar dari middle-income trap dengan mengembangkan kemampuan R&D dan SDM. Perusahaan-perusahaan seperti Samsung, LG, Hyundai adalah perusahaan yang memiliki kemampuan teknologi yang sangat baik sehingga produknya tetap kompetitif di pasar internasional.
Creative Class
Apa pesan terpenting dari adanya fenomena middle-income trap ini bagi Indonesia? Dengan terlampauinya pendapatan perkapita $3000 tahun 2010, maka kini Indonesia beranjak untuk menjadi negara berpendapatan menengah. Prestasi ini tak boleh membuat Indonesia berada dalam zona nyaman, karena bisa-bisa Indonesia terkena middle-income trap seperti yang dialami Malaysia. Indonesia harus tetap bekerja keras untuk membangun basis kemampuan teknologi dan SDM agar bisa melompat menjadi negara maju.
Melihat fenomena middle-income trap, saya jadi teringat satu buku luar biasa yang ditulis Richard Florida berjudul The Rise of Creative Class (2002). Intinya buku ini mengatakan bahwa suatu bangsa akan maju jika mereka memiliki kelompok masyarakat kreatif (creative class) yang berperan strategis menghasilkan nilai tambah ekonomi melalui olah pikir, kreativitas, dan inovasi yang mereka hasilkan. Mereka adalah seniman, programer/software developer, arsitek, product designer, konsultan, creative director, pengrajin, fotografer, dan tentu saja entrepreneur. Merekalah kelompok masyarakat yang akan bisa membawa Indonesia lolos dari middle-income trap.
Kita patut bangga kini punya sekitar 150 juta masyarakat kelas menengah. Tapi itu semua tidak ada apa-apanya kalau kelas menengah itu hanyalah sebatas kelas pembelanja dan kelas konsumeris. Pekerjaan besar bangsa ini adalah membentuk kelas menengahnya menjadi creative class yang produktif menciptakan lapangan kerja dan membangun daya saing Indonesia.
Ingat rumus ampuh ini: [MC = CC]*
*MC: middle class; CC: creative class
(Baca: Agar Indonesia menjadi negara basar, kelas menengahnya haruslah kelas kreatif)
Note: Penjelasan lebih rinci mengenai perbandingan Malaysia dan Korea Selatan untuk lolos dari “middle-income trap” dapat dilihat di: Michael Schuman (2010), “Escaping the Middle-Income Trap,” Time, 10 Agustus. Data-data mengenai hal ini diambil dari tulisan tersebut.
6 comments
Belajar dari Korea. Wah saya suka 😀
Pantes negara jiran itu kerjaannya nyolong mulu, ga kreatif sih 😀
Setuju Mas, kunci utama Ada di pendidikan, meletakkan fondasi yang kuat menciptakan kelas kreatif, sdm yang kuat handal Dan kreatif ditopang dengan sda yg berlimpah siap menuju bangsa maju
Mantab Pak! ‘kesuksesan’ itu juga bisa menjadi ‘comfort zone’ ya pak? Mental kita ini jg sebagian besar begitu ya pak, cepat puas, atau merasa sdh kerja keras lalu ‘nyantai’ dulu, tau-tau kebablas 🙂 Himbauan bapak ini sangat dibutuhkan buat kita, dan kreativitas itu memang senjata ampuh. Setau saya sih, kreativitas itu bisa tumbuh di saat ‘kepepet’ atau tidak complacent. Sehingga sense of urgency mungkin yg harus terus dibangun ya Pak? Menarik nih, saya sdg mulai terjun di usaha konsultasi manajemen organisasi, mungkin hal ini bisa juga dishare ya pak? tinggal dipikirin komunikasinya…
[…] “revolusi konsumen kelas menengah”. Saya bisa pastikan kita tak akan mampu lolos dari “middle-income trap” alias tak mampu masuk dalam jajaran negara maju baru, kalau UMKM kita hanya menjual komoditas […]
[…] bahwa kita adalah, invisible giant. Perekonomian kita yang disokong pabrik manufaktur ada di ambang middle income trap. Buruh-buruh kita menuntut upah tinggi, sedangkan keterampilan mereka tidak meningkat, kita […]