Bukber alias “buka bersama” saya gambarkan layaknya gadis molek yang sedang mencorong di bulan puasa ini. Kalau artis sinetron atau bintang iklan, ia layaknya superstar yang sedang heboh diperebutkan stasiun TV dan pengiklan. Kalau seorang model, wajahnya terpampang di billboard tiap perempatan, cover-cover majalah atau poster-poster yang tertempel di tembok-tembok gang.
Semua kegiatan kita di bulan Ramadhan ini rasanya kurang keren kalau tidak dilabel dengan embel-embel bukber. Meeting dengan klien atau partner kerja rasanya kurang afdol jika tidak “berkedok” bukber. Reuni teman SMA kurang cool kalau nggak dipas-paskan dengan saat-saat menjelang bukber. Bahkan launching sebuah produk terkenal kurang paten rasanya kalau tidak disrempetkan dengan acara bukber. Kalau dulu kita hanya mengenal aktivis mahasiswa atau aktivis LSM, maka kini kita kenal “aktivis bukber“. Yes, mereka yang selama bulan puasa nggak pernah pulang ke rumah karena ngider dari bukber satu ke bukber berikutnya.
Itulah bukber. Di tangan kaum kelas menengah urban (yup, consumer 3000) ia telah tersulap menjadi sebuah ritual yang cool, awesome, dan keren abis. Di tangan consumer 3000 bukber dipoles (baca: di-branding) menjadi medium selebrasi inklusif yang menjadi magnet bagi kita semua untuk merayakannya. Bahkan kini bukber tidak lagi sebatas milik kalangan muslim, ia telah menjadi milik kita semua.
Dulu jaman saya kecil, detik-detik menjelang berbuka puasa adalah saat yang sederhana dan biasa-biasa saja. Kita sekeluarga kumpul di meja makan sambil ngobrol biasa saja. Di meja terhidang santapan yang juga biasa saja: nasi ngepul, sayur asam, ikan teri, plus sambel bawang. Semuanya serba biasa, sederhana, dan bersahaja. Tanpa gemerlap sorot lampu; tanpa sambutan orang penting; tanpa musik dan tarian yang menghebohkan; juga tanpa makanan-makanan enak nan mahal dan menguras isi dompet.
Kini semua itu berubah. Ini setidaknya yang saya lihat dan amati di Jakarta. Mari kita cermati peristiwa-peristiwa unik bukber di seputar kita. Karena terjadi di jaman consumer 3000, enteng saya menyebutnya dengan istilah seksi: bukber 3000.
Narsis di Mal
Setiap lewat jam 4 sore selama bulan puasa ini jalanan Jakarta macet minta ampun. Rupanya pada jam tersebut karyawan-karyawan kantor sudah pada pulang. Mereka bukannya pulang ke rumah, tapi tergopoh-gopoh menuju mal-mal di pusat kota. Tujuan mereka jelas: ada yang janjian dengan pacar atau istri untuk bukber; ada yang janjian reuni SMA sambil bukber; ada yang arisan ibu-ibu berkedok bukber; ada yang mau menghadiri talk show sambil bukber; ada yang mau ikutan bedah buku beraroma bukber.
Mal menjadi tempat paling menjanjikan bagi consumer 3000 untuk berbukber-ria karena di situ heboh dan happening; di situ makanan enak-enak (dan mahal-mahal) ada semua; dan yang terpenting di situ kita bisa narsis. Bukber di mal yang penting bukan cuma bersosialisasi dan makan-makannya; yang jauh lebih penting justru adalah foto-fotonya, lalu di-upload di Twitter Facebook, atau Instagram.
Oasis
Di kota besar seperti Jakarta banyak orang yang tak cukup bersosialisasi dengan keluarga, kerabat, atau teman karena tertawan oleh jadwal pekerjaan yang begitu padat. Dalam kondisi seperti ini bukber menjadi sebuah “oasis” yang menyejukkan kita semua. Lama tak bersosialisasi, berkoneksi, dan bercengkrama dengan keluarga, kerabat, atau teman adalah “hutang” yang harus dibayar.
Nah, bukber adalah momen yang tepat untuk “membayar” hutang tersebut. Mengajak keluarga, kerabat, atau teman yang lama tidak berakrab-akrab ria dalam sebuah selebrasi berlabel bukber adalah sesuatu yang cool dan menyejukkan jiwa. Itu sebabnya di bulan puasa ini kita mendapati tren tempat-tempat publik seperti mal, cafe, restauran, atau hotel penuh sesak menjadi ajang bukber keluarga, kawan arisan, teman reuni, atau sobat komunitas.
Kopdar Yuk!!!
Bukber juga menjadi “alasan” bagi kita yang demen berjejaring sosial di dunia maya untuk kopi darat (kopdar). Terus-menerus sepanjang hari atau sepanjang minggu berjejaring sosial lewat Twitter atau Facebook membuat kita tak tahan untuk sekedar melepas kangen, melempar senyum, atau curhat-curhatan secara langsung. Di sinilah bukber menjadi solusi cespleng. Mereka yang tidak pernah bertemu muka saling berakrab-ria membangun silaturahmi.
Tak heran jika 7-Eleven yang biasanya baru ramai setelah jam 9 malam di bulan puasa ramai lebih awal oleh para ABG yang bergerombol menggelar kopdar. Ciri dari para social media freak di Indonesia adalah bahwa mereka tak bisa lepas untuk melakukan engagement secara offline. Itu sebabnya kopdar menjadi tren sosial yang marak beberapa tahun terakhir. Tren inilah yang menyebabkan gerai-gerai seperti 7-Eleven atau McCafe meraup sukses luar biasa.
Komodifikasi
Bukber juga menjadi magnet bagi para pemilik merek. Bukber kini telah “dipelintir” para produsen berbagai produk sebagai alat promosi yang powerful. Semua kegiatan promosi mulai dari launching produk, sales promotion, customer gathering, penganugerahan award, talk show, fashion show, hingga konser musik digelar oleh pemilik merek di bulan puasa ini dikemas menjadi sebuah gelaran dengan cita rasa dan aroma bukber. Djarum Coklat misalnya, rutin menggelar acara konser musik dengan bumbu beraroma ngabuburit dan bukber.
Tak hanya itu, bukber juga menjadi tool yang luar biasa untuk membangun citra positif perusahaan di mata para karyawannya. Tak mengherankan jika beberapa tahun terakhir seperti dikomando kantor-kantor di seantero Tanah Air menggelar bukber untuk karyawan. Dengan menggelar bukber di kantor, perusahaan ingin dilihat karyawannya sebagai perusahaan yang peduli pada karyawannya dan peduli pada kegiatan-kegiatan keagamaan yang meneduhkan. Tak hanya keakraban saja yang penting, pencitraan justru lebih penting.
Kampanye
Jangan lupa, bukber juga menjadi alat ampuh untuk menggalang massa. Para pemimpin yang sedang getol berkampanye untuk memperebutkan kursi bupati, gubernur, DPR, atau presiden menggunakan bukber untuk menggalang massa pemilih. Bukber bersama anak yatim atau kaum papa adalah modus operandi favorit yang mereka jalankan. Tujuannya tak jauh dari pencitraan dan pemenangan hati pemilih. Di sini bukber menjadi medium yang powerful mengingat citra positif yang melekat di dalamnya. Ya, karena bukber identik dengan hal-hal positif seperti suasana religi, keakraban silaturahmi, dan kebersamaan. Sekali lagi bukber menjadi mesin pencitraan.
Inilah consumer 3000. Karena saking pintarnya, otak dan cara berpikir mereka kini menjadi ruwet nggak karuan. Sesuatu yang dulunya simpel kini menjadi ruwet. Sesuatu yang dulunya bersahaja dan apa adanya kini menjadi topeng yang pekat dengan pencitraan. Sesuatu yang dulunya genuine, kini menjadi fake.
Saya heran, bukber yang dulu waktu saya kecil begitu sederhana, bersahaja, dan murah; kini menjadi rumit, gemerlap, dan mahal minta ampun. Apa ini yang namanya jaman edan? Upsss…
5 comments
Oh, fenomena bukber pun dibahas, huaduh dahsyat 😀
garis besarnya setuju sih. Menurutku sih itu positif2 aja, apalagi kalo bisa dimanfaatkan dengan baik..misalnya jadi ajang silaturahmi pemimpin dengan rakyatnya. Cuma ya gitu, jangan terlalu gemerlap, nanti kehilangan esensi bukbernya yang untuk silaturahmi dan saling berbagi..
yup, boleh bukber dimanapun asal tidak kehilangan nawaitu nya
Kecerdasan memanfaatkan moment selama tidak diada-adakan valuenya akan tetap terjaga .. Bahasa saya “Momentnya Pas!” Buat C3000 ritual biasa yang bisa jadi luar biasa .. 🙂 gak ada salahnya in the name of Silaturahmi .. Selamat Bukber yah !!
[…] Posted: 14 August 2012 in Uncategorized 0 http://www.yuswohady.com/2012/08/11/bukber-3000/ Share this:Like this:LikeBe the first to like […]
Biasanya saya memanfaatkan momen bukber untuk promosi usaha..sembari memetakan teman2 yg potensial untuk diajak kerjasama..nice artikel
[…] Bukber 3000 […]