“@yuswohady: Akhirnya BAYI itu lahir juga | #c3000 #MyNewBook”
Itu adalah twit saya hari Kamis sore (2/8) lalu, saat buku saya Consumer 3000: Revolusi Konsumen Kelas Menengah Indonesia (Gramedia Pustaka Utama, 261 hlm, 2012) keluar fresh from the oven dari percetakan Gramedia. Bersama twit tersebut saya lampirkan jepretan foto buku yang baru saya terima dua jam sebelumnya. Menyusul twit tersebut, ucapan selamat dari teman-teman Twitter langsung mengular hingga menjelang sahur.
Begitulah penulis, momen-momen buku keluar untuk yang pertama kali dari percetakan adalah momen-momen “kenikmatan” luar biasa yang tak ada tandingannya. Saya sudah menulis lebih dari 40 buku, tapi selalu saja, detik-detik menerima buku untuk pertama kali fresh from the oven dari percetakan adalah pengalaman yang tak terbeli oleh uang 1 triliun sekalipun. It’s a great moment of truth. Kenikmatannya menyamai kenikmatan detik-detik menyongsong bayi anak pertama. Itu sebabnya saya menggunakan “bayi” sebagai ungkapan yang pas untuk menggambarkan kenikmatan tersebut.
Bermula dari Starbucks
Melalui tulisan ini saya nggak ingin mengupas isi buku tersebut (silahkan pembaca baca sendiri). Saya justru ingin sharing sedikit mengenai bagaimana proses kreatif penulisan buku tersebut berlangsung. Prosesnya menarik karena semuanya berawal kebiasaan nongkrong di Starbucks. Di gerai yang kian diminati warga Jakarta inilah ide mengenai Consumer 3000 pertama kali muncul.
Praktis kantor saya adalah Starbucks. Ya, karena pekerjaan sebagai konsultan menuntut saya untuk mobile tiap hari mengukur jalanan Jakarta menyambangi satu persatu klien. Untuk survive di tengah kemacetan Jakarta seringkali langkah kompromi dilakukan dengan mencari tempat meeting di tengah-tengah ibukota. Maka jadilah Starbucks menjadi alternatif paling menjanjikan. Bisa 3-4 kali seminggu saya meeting di Starbucks.
Dari banyak bergumul di Starbucks otak dan mata saya tak bisa lepas dari mereka-mereka yang menghabiskan waktu di gerai yang semakin diminati warga Jakarta ini. Duduk berlama-lama di Starbucks mau nggak mau saya mengamati orang-orang di situ. Ada yang sibuk kerja, ada yang serius meeting, ngobrol rame-rame ketawa-ketiwi, ada yang di pojok sendirian menggauli iPad, ada juga yang khusuk membaca buku.
Blink
Tak tahu kenapa suatu hari di tengah melamun di Starbucks tiba-tiba otak saya bergetar, “Great! Indonesia kini bertebaran orang kaya nan mapan,” gumam saya. Mereka adalah para profesional, entrepreneur, dokter, bankir, arsitek, mahasiswa, yang potretnya saya saksikan di Starbucks. Rupanya, lamunan ini kemudian terus menyandera otak saya. Jalan-jalan di mal, menunggu pesawat di bandara, terjebak di belantara kemacetan Jakarta, bahkan beol pun pikiran saya terus terganggu oleh kenyataan makin makmurnya Indonesia.
Sampai suatu hari tanpa sengaja saya membaca sebuah artikel di The Jakarta Post bulan Oktober 2010 mengenai tembusnya GDP perkapita Indonesia ke posisi $3000. Dalam tulisan tersebut digambarkan bahwa angka ambang (treshold) GDP perkapita $3000 merupakan momentum yang penting bagi suatu negara karena begitu angka itu terlampaui, maka negara tersebut akan menikmati pertumbuhan yang cepat (accelerated growth). Fenomena take-off pertumbuhan itu sebelumnya telah dialami negara-negara seperti Korea Selatan, Brasil, dan terakhir Cina dan India.
Lamunan di Starbucks dan artikel di The Jakarta Post rupanya meletupkan ide mengenai apa yang kemudian saya sebut “Consumer 3000”. Istilah ini saya ciptakan untuk menandai konsumen baru di Indonesia, yaitu konsumen kelas menengah (middle-class consumer). Saya meyakini bahwa konsumen kelas menengah ini akan memicu gempa tektonik dalam kancah pemasaran di Indonesia. Itu sebabnya, tak sungkan-sungkan saya menulis subtitle di cover buku ini: “Consumer 3000 merupakan revolusi terbesar dalam sejarah pemasaran di Indonesia”.
Ide Ada di Mana-Mana
Sejak mencetuskan Consumer 3000 akhir tahun 2010 maka otak saya mulai terkena “guna-guna” Consumer 3000. Kapanpun dan dimanapun saya memikirkannya. Saya menjadi demikian sensitif terhadap berbagai fenomena yang terjadi di sekitar saya. Bandara krodit dan jalanan macet menjadi ide tulisan. 7-Eleven dan McCafe penuh sampai pagi menjadi sumber kajian. Konser artis asing (Katy Perry, Justin Bieber, hingga Dream Theatre) tiap minggu menjadi bahan perenungan.
Untung saya punya kolom rutin tiap minggu, salah satunya adalah di Harian Sindo. Karena dengan begitu setiap minggu saya di-push untuk putar otak dan menulis. Yup, writing is about “kepepet”. Kalau kita tidak kepepet (atau “dipepet” oleh redaktur) maka pasti tulisan nggak akan jadi-jadi. Maka pengamatan di lapangan itu satu persatu saya tuliskan dalam kolom-kolom tiap mnggu.
Melalui tulisan tersebut saya mencoba mengangkat fenomena-fenomena baru konsumen kelas menengah Indonesia. Misalnya fenomena budaya “buy now, pay later” yang sudah mulai menjangkiti konsumen kita. Atau fenomena mal yang sudah menjadi pusat kehidupan kita (yes, “mall is the killer app”), sehingga seluruh kegiatan kita diusung di mal mulai dari sale, nongkrong, launching produk, pertunjukkan musik, pameran lukisan, hingga perpustakaan. Nikmat sekali rasanya bisa menuangkan amatan-amatan di keseharian menjadi sebuah tulisan yang bisa menginspirasi banyak orang.
Setiap saat saya juga ngetwit mengenai Consumer 3000, bahkan secara khusus saya menciptakan hashtag #c3000 untuk memicu conversation di media sosial. Ide-ide luar biasa mengenai perilaku kelas menengah Indonesia justru saya dapatkan dari cit-cit-cuit di Twitter. Inilah yang disebut cocreation atau social intelligence. Teman-teman di Twitter merespons luar biasa ide mengenai #c3000 ini, dengan memberikan feedback, insight, sanggahan, kritikan, dan berbagi pengalaman sehari-hari mereka. Ini semakin memperkaya khasanah pemikiran saya mengenai konsumen kelas menengah di Indonesia.
Kenikmatan
Tak terasa sudah hampir dua tahun saya menggumuli Consumer 3000, tak terasa pula saya menemukan sebuah kenikmatan intelektual yang luar biasa. Hampir dua tahun menekuni, mengamati, dan mengkaji, akhirnya butir-butir pemikiran mengenai konsumen kelas Indonesia pun mulai mengkristal menjadi sebuah buku. Serta-merta Consumer 3000 telah menjadi deep passion saya.
Sejak awal saya menekuni dunia penulisan sekitar 20 tahun lalu saya percaya bahwa menulis memerlukan sebuah passion yang luar biasa. Pekerjaan membaca, mengamati, meneliti, mengkaji, dan kemudian menulis bagi sebagian besar orang merupakan pekerjaan yang menjemukan, memuakkan, bahkan menyiksa. Tapi saya tidak. Saya justru menemukan kenikmatan yang luar biasa. Dan kenikmatan puncak itu terjadi persis ketika untuk pertama kalinya buku itu keluar dari percetakan. Kenikmatannya menyamai kenikmatan detik-detik menyongsong bayi anak pertama.
“Akhirnya BAYI itu lahir juga”
7 comments
Selamat ya mas. Atas kelahiran bayinya.
Semoga selalu sehat dan menggemaskan, dan bisa terus2an re-born. Hehehe…
Selamat Pak! Saya sedang tdk bisa henti membaca ‘bayi’ ini, hehehe…krn kbtulan saya baru mentas jd karyawan dan sdg merintis usaha sendiri. Kebetulan passion sy jg nulis, dan mengamati juga hobi saya. Terima kasih atas inspirasi dan ketekunan bapak ‘mengamati’ dan ‘melamun’.
ya ampun mas..dua tahun?? Seriusan???
XD
Selamat ya mas Siwo atas kelahiran bukunya. Ikut bangga, lulusan B21 menjadi penulis yang hebat 🙂
Aha, akhirnya keluar juga bukunya.
[…] Atas) Solo kita akan adakan buka bersama dadakan sekalian ngobrol santai mengenai buku baru saya: Consumer 3000: Revolusi Konsumen Kelas Menengah Indonesia (Gramedia Pustaka Utama, September 2012). Obrolan akan banyak mengupas fenomena Entrepreneur 3000, […]
subhanallaah..menginspirasi agar saya bisa sabar dan tekun dalam menulis dan menghasilkan yang unik juga bermutu…moga barokah…aamin